7. Belah Semangka

1824 Words
Hari yang sangat panjang itu pun akhirnya berakhir, di mana setelahnya si raja dan ratu acara merasa kelelahan saat acara itu akhirnya telah selesai. Waktu yang ditunggu-tunggu baik bagi Nino maupun Sistaya, di mana akhirnya mereka bisa beristirahat tanpa harus berlelah-lelah diri menyalami tamu undangan lagi. Saat acara telah selesai, Nino diharuskan tinggal di rumah Sistaya malam ini karena besok mereka akan pindah ke apartemen Nino. Kalau boleh memilih, lebih baik Nino ikut pulang ke rumahnya saja ketimbang harus sekamar dengan garis bar-bar seperti Sistaya. Namun, dikarenakan ia sudah resmi menjadi suami Sistaya dan pernikahan mereka yang memang dilangsungkan di rumah gadis itu, maka mau tak mau Nino harus tinggal semalam bersama gadis itu di dalam satu kamar yang sama. Saat pertama kali memasuki kamar Sistaya, dapat Nino lihat kalau kamar Sistaya ini tidak seperti kamar seorang gadis melainkan seperti kamar seorang laki-laki. Di mana cat temboknya berwana hitam putih ditambah banyak sekali poster pahlawan super di setiap sudut dinding kamarnya, baik itu Iron Man, Power Rangers, Avengers, Batman, Spiderman dan lain sebaginya. Nino saja sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Menurut Nino, Sistaya tidak cocok menjadi seorang gadis, Sistaya lebih cocok jadi seorang laki-laki yang tulen. Mungkin saja saat hamil Sistaya dulu, kedua mertuanya itu sangat menginginkan sosok anak laki-laki sehingga kini lahirlah Sistaya yang seharusnya menjelma sebagai seorang perempuan yang cantik, manis dan juga lemah lembut, malah menjadi gadis yang memiliki perilaku seperti laki-laki. "Ngapain lo ngeliatin kamar gue segitunya, Om? Kamar gue bagus ya? Iya pasti bagus dong, keren gini. Kamar gue gitu loh," ujar Sistaya saat melihat Nino yang seakan meneliti kamarnya. "Iya, seperti kamar seorang laki-laki," balas Nino sambil melangkahkan kakinya lebih dalam lagi menuju kamar Sistaya. "Bilang aja lo iri 'kan, Om. Secara gue yang cewek aja bisa nih nyusunnya rapi banget gini, enggak kayak lo yang pastinya satu poster aja enggak punya," ujar Sistaya. "Kenapa juga saya harus iri? Saya sama sekali enggak tertarik dengan hal remeh seperti ini." "Oh iya gue lupa, lo 'kan udah tua, pasti kolot juga 'kan. Wajar aja enggak ngertiin yang kayak beginian, enggak seru lo, Om." Mata Nino melotot mendengarnya, sepertinya ia sudah menjamin kalau tiada hari tanpa hinaan yang keluar dari mulut gadis itu untuknya. "Selain kamu yang punya sikap bar-bar, kamu juga suka menghina orang lain ya," sindir Nino sambil melepaskan jas yang melekat di tubuhnya. "Enggak ke semua orang sih sebenarnya, Om, gue gini sama orang yang enggak gue suka aja." Ya jelas saja Nino tahu kalau Sistaya tidak menyukainya, tetapi apakah pantas gadis itu bersikap menyebalkan padanya yang sama sekali tidak salah apa-apa? "Terserah kamu saja. Saya pinjam kamar mandinya ya, saya mau membersihkan diri. Gerah banget," ujar Nino sambil membuka tiga kancing teratas kemejanya kemudian berjalan menuju kamar mandi Sistaya. "Iya, jangan lama-lama. Gue juga mau mandi soalnya, awas aja kalo lo lama-lama!" ancam Sistaya yang tak dihiraukan oleh Nino karena pria itu lebih memilih masuk ke dalam kamar mandi. Tidak butuh waktu lama untuk Nino membersihkan dirinya, hingga ia sadar kalau pria itu lupa membawa baju ganti. Hanya ada handuk putih yang menggantung di di dinding kamar mandi itu, hingga mau tak mau ketimbang télanjang, lebih baik Nino memakai handuk putih itu. Kemudian keluar dari kamar mandi dengan segera kalau tidak nanti si gadis bar-bar itu akan marah dan tubuhnya tidak akan selamat dari rasa sakit yang akan gadis itu berikan. "Ternyata tubuh lo enggak seburuk yang gue pikir, hmm lumayan juga." Nino tersentak saat mendengar suara itu, ia pikir Sistaya tidak ada di kamar ini karena saat ia menjelajahi kamar Sistaya dengan mata, gadis itu tidak ada di sini. "Sejak kapan kamu di situ?" tanya Nino terkejut melihat Sistaya yang berdiri di dekat lemari pakaian. Sontak, pria itu langsung menutup tubuh atasnya dengan kedua tangannya seperti seorang gadis yang tertangkap basah tengah tak memakai apapun di depan seorang pria. "Heh! Om! Enggak usah segitunya juga kali, lo pikir kalo lo enggak pakai baju gue akan tertarik? Tingkah lo udah kayak cewek perawan yang mau diperkosa tahu enggak sih?" ledek Sistaya tak dapat menahan tawanya saat melihat sikap dan ekspresi pria yang sudah resmi menjadi suaminya. "Lagian nih ya ...." Sistaya menggantung sejenak perkataannya, gadis itu berjalan menghampiri Nino hingga membuat pria itu waspada. "M-mau apa kamu?" tanya Nino galak. "Ckck, enggak usah galak-galak gitu kenapa sih, Om? Sama istri sendiri juga," ujar Sistaya setelah ia sudah berada tepat di hadapan Nino. Tatapan mata gadis itu mengarah tepat di mata Nino, kemudian turun sedikit hingga menatap dadà bidang dan perut kotak-kotak yang pria itu miliki. "Heh mau apa kamu!" teriak Nino saat Sistaya mengulurkan tangannya untuk menyentuh dàdanya. "Pegang dikit doang, Om, pelit banget sih lo!" ujar Sistaya sambil berdecak. "Gue tuh penasaran rasanya pegang dàda cowok tuh kayak gimana. Katanya keras-keras gimana gitu, gue 'kan cuma mastiin aja. Lagian lagak lo udah kayak cowok perjaka aja, Om," sambung Sistaya pedas. "Memangnya kamu pikir saya cowok gampangan yang di usia sekarang sudah lepas segel perjakanya!?" tanya Nino kesal dengan hinaan Sistaya. Gadis tukang menghina ini benar-benar menyebalkan, ingin sekali Nino tabok itu mulutnya yang asal bicara, tetapi takut kalau nanti dibalas lebih sadis lagi oleh si gadis bar-bar. "Oh masih perjaka, pantesan aja. Gue seakan lupa kalo gue nikah sama perjaka tua," ucap Sistaya. "Siapa yang kamu maksud perjaka tua!?" "Ya jelas lo lah, Om. Emangnya di sini selain kita siapa lagi? Gue 'kan cewek, mana mungkin disebut perjaka, lagian mana mungkin gue ngehina diri gue sendiri." "Saya juga lupa kalau ternyata saya menikah dengan gadis yang sama sekali tidak ada rasa bersalahnya setelah menghina seseorang," balas Nino menyindir Sistaya. "Itu lebih baik, biar enggak jadi cewek lemah. Males lah gue jadi cewek lemah, kerjaannya nangis mulu tiap hari. Kesannya alay banget dikit-dikit dinangisin, enggak, gue bukan cewek yang kayak gitu." Mata Sistaya terus menatap ke arah dàda dan perut Nino, agaknya gadis itu masih penasaran dengan rasanya memegang dua benda itu. "Om, gue izin pegang ya. Siapa tahu habis gue pegang, anu lo berdiri. Boleh lah kita main belah semangka kalo lo mau," ucap Sistaya sambil tersenyum tengil. "Kecil-kecil udah pinter bahas yang seperti itu kamu, ckckc." Nino menggelengkan kepalanya. "Gue udah gede, mana ada masih kecil. Lo enggak percaya, Om? Sini tangan lo!" Sistaya menarik paksa tangan Nino kemudian menempelkannya tepat di dàdanya, hal itu membuat Nino terkejut bukan main. Selain bar-bar, gadis ini ternyata cukup nekat dan gíla. "Gimana, Om? Gede 'kan? Udah terangsang belum lo?" tanya Sistaya menyadarkan Nino dari keterkejutannya. "Apa-apaan kamu!" teriak Nino yang langsung menarik tangannya lagi. "Cih, sok enggak suka lo, Om. Munafik amat," cibir Sistaya. Niat Sistaya sih hanya ingin menggoda Nino saja, ia mana rela segelnya terlepas karena seorang pria lembek seperti Nino. Dari ekspresi wajah Nino yang kelewat polos itu membuat Sistaya malah semakin menjadi dalam menggodanya karena menurutnya itu adalah hal yang menyenangkan. 'Dasar si Om Lembek ternyata masih polos juga, udah tua padahal ckckc.' Sistaya menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Saya memang enggak suka kamu, baik dari sikap kamu termasuk tubuh kamu. Saya enggak tertarik," ujar Nino sambil memalingkan wajahnya. Pria itu berjalan menuju kopernya berada untuk mengambil baju ganti. "Hari ini lo ngomong gitu, Om, awas aja ya kalo besok-besok lo terangsang karena ngeliat tubuh gue!" balas Sistaya. "Tidak akan!" Nino begitu percaya diri sekali mengatakan itu, ia lupa kalau Sistaya adalah gadis yang tidak akan pernah mau kalah dengan orang lain. Semakin orang itu melawan, maka Sistaya akan semakin bertingkah menjadi-jadi. "Lihat aja ya nanti, Om, gue kerjain habis-habisan lo," gumam Sistaya sambil tersenyum licik. "Ah udah ah, gerah gue lama-lama di sini. Badan gue udah lengket banget lagi." Sistaya melepaskan gaun ribet yang ia kenakan hingga hanya menyisakan tank top dan juga celana super duper pendek yang ketat. Hal itu membuat Nino melotot saat melihat lekuk-lekuk di tubuh Sistaya yang begitu nampak. Meskipun tingkah Sistaya seperti preman dan ia yang jago bela diri, tak dapat dipungkiri kalau tubuhnya benar-benar bagus. Seperti seorang gadis tulen yang begitu menjaga tubuhnya agar tetap indah, ditambah beberapa otot yang ada di lengan Sistaya menambah kadar kecantikan tubuhnya. "Ciee, ada yang mupeng ngeliat gue yang cuma pakai ginian doang." Sistaya sengaja meledek Nino, membuat pria itu langsung memalingkan wajahnya. Demi apapun! Biar bagaimanapun juga ia adalah seorang pria yang normal, melihat tubuh seorang gadis yang terpampang jelas di depan matanya tentu saja menimbulkan reaksi aneh dalam tubuhnya. Sistaya tersenyum nakal, ia sudah menduga kalau si Om Lembek akan bereaksi seperti ini. Itu berarti rencananya untuk mengerjai berhasil. Tanpa banyak kata, Sistaya langsung memasuki kamar mandi. Di dalam kamar mandi ia tertawa begitu puas sekali karena berhasil mengerjai Nino, benar-benar gadis yang jahil. Beberapa menit kemudian akhirnya Sistaya selesai juga membersihkan dirinya, gadis itu langsung mengambil jubah mandi miliknya yang menggantung di dinding kamar mandinya. Dengan langkah santainya ia berjalan keluar kamar, dapat ia lihat kalau Nino tengah duduk di sofa pojok kamarnya sambil memainkan ponselnya. Gadis itu pun langsung mengambil pakaian yang ada di lemarinya kemudian membawanya ke kamar mandi untuk ia pakai di sana. Tak lama kemudian, ia kembali keluar dari sana dan langsung duduk di samping Nino yang masih sibuk dengan ponselnya. "Om, kita belah semangka, yuk!" Sistaya berkata seperti itu tepat di samping telinga Nino hingga membuat pria itu bergidik. "Dengar ya, kamu itu masih kecil. Jangan ngajak yang aneh-aneh! Lagian saya enggak akan tergoda lagi walaupun kamu mau buka baju sekalipun sekarang!" ujar Nino membuat Sistaya menaikkan sebelah alisnya. "Maksud lo apaan sih, Om? Orang gue mau ngajakin lo ke dapur buat belah semangka, itu di dapur ada semangka yang gede banget. Malam-malam yang agak panas gini segar kali kalo makan semangka," balas Sistaya. Nino jadi malu sendiri saat mendengar maksud dari perkataan Sistaya, bisa-bisanya ia berpikiran kótor seperti tadi. Benar-benar memalukan. "A-ah itu, iya saya mau," ujar Nino gugup. "Ckck, parah lo, Om! Belum apa-apa pikiran lo udah kótor aja." Sistaya menggelengkan kepalanya kemudian keluar kamar terlebih dulu. "Ya gimana ya? Secara gue 'kan cowok normal, ngeliat dia yang ternyata punya tubuh bagus gitu, gimana enggak bikin gue jadi mikir aneh-aneh coba? Jangan salahin gue doang," gumam Nino tak mau disalahkan kemudian segera menyusul Sistaya menuju dapur. "Eh, Taya, Nino! Kalian pengantin baru gini ngapain keluar?" tanya Mama Rianti saat melihat putri serta menantunya keluar dari kamar. "Mau ke dapur, Ma," ujar Sistaya. "Kok ke dapur? Bukannya kalian harusnya segera belah semangka juga," protes Mama Rianti. "Ini juga mau belah semangka, Ma, di dapur," ujar Sistaya santai. "Ah beneran? Oke, kalo gitu, Mama, Papa sama adik kamu enggak akan ganggu. Puas-puasin aja ya main di dapurnya, Mama mau balik ke kamar." Tanpa menunggu jawaban Sistaya, Mama Rianti langsung pergi dari hadapan keduanya. "Aneh-aneh aja pasangan zaman sekarang, unik juga malam pertamanya di dapur hihihi." Mama Rianti terkikik geli, tanpa tahu kalau kenyataannya ia telah salah paham. Karena saat tiba di dapur, kejadian belah semangka tak seperti apa yang dipikirkan oleh Mama Rianti. Karena pada nyatanya, mereka memang benar-benar membelah semangka menjadi beberapa bagian untuk dimakan. Bukan belah semangka dalam artian lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD