The Hunter and the Dragon

2567 Words
Menginjak usia sembilas tahun, aku pikir akan ada banyak hal yang berubah dariku. Ternyata, jawaban dari keingintahuanku adalah tidak! Tinggi badanku sejak usia tujuh belas tahun sudah tidak bertambah lagi, dan aku harus puas dengan seratus lima puluh delapan sentimeter yang kudapatkan. Aku juga tidak bisa berharap kaki jenjang indah itu lagi. Bayangan mengenai wanita Indonesia yang tinggi semampai pun lenyap. Aku tidak bisa mewujudkan impian terpendamku. Payah! s**u kalsium tidak terlalu bermanfaat. Sudah tak terhitung berapa banyak kaleng s**u yang kuhabiskan untuk menambah tinggi badan. Untungnya rambut hitamku lumayan cantik dibandingkan teman-temanku. Aku memiliki rambut lurus sebahu yang selalu kuikat ekor kuda. Begitulah, aku gadis biasa dengan kehidupan normal yang tengah menikmati masa-masa remaja yang menyenangkan. Hidup dalam drama romansa, menikmati tugas-tugas sekolah, dan dipenuhi dengan rasa ingin tahu. Semuanya akan terlihat sempurna andai saja masalah hidupku dan oknum yang memicu penyakit migren di kepalaku bisa sedikit lebih mengerti keadaanku. Ya, tentu saja. meskipun kehidupanku bisa dibilang "sempurna", tetap saja sebagai manusia biasa aku pun memiliki masalah. Ada satu hal yang mulai membuatku sedikit merasa tertekan: Ayah. Semenjak kejadian yang menimpa Ibu, dia menjadi terlalu protektif. Tidak pernah mengizinkan pulang malam, tidak pernah memperbolehkanku bermain dengan teman laki-laki, tidak boleh pergi ke tempat ramai sendirian (harusnya tidak boleh pergi ke tempat sepi sendirian), tidak boleh tidur di rumah teman, tidak boleh pergi ke bioskop, tidak boleh bicara pada orang asing (semisal orang dari negara Inggris, Jepang, Cina, atau India, yang aku jamin mereka juga tidak berkeinginan berbicara denganku), tidak boleh ikut darmawisata (yang akhirnya membuatku dipanggil dengan sebutan anak manja oleh teman-teman SMP-ku), tidak boleh ini, tidak boleh itu. Argh, merepotkan! Aku paham dengan rasa cemas yang Ayah miliki, tapi aku sudah berumur sembilan belas tahun, artinya aku sudah dewasa dan mampu menentukan pilihan sendiri. Ayah memang mudah cemas apabila menyangkut putri semata wayangnya. Setiap satu jam, Ayah selalu menelepon (percaya atau tidak begitulah kenyataanya). Memastikan keadaanku dalam kondisi aman, meskipun sebenarnya aku sangat risih dengan sikapnya. Tak terbayang jika tiba hari di mana Ayah harus merelakanku pada seorang pemuda untuk dipersunting, mungkinkah hari itu akan tiba? Atau, Ayah akan memberi plang yang bertuliskan "dilarang menikah"? Mungkinkah hari indah itu bisa kunikmati? Aku ingin menikmati masa mudaku! Aku ingin menikmati kehidupanku! Kehidupan yang wajar. Kehidupan yang normal. Kehidupan yang bahagia. Kehidupan yang .... Bagaimana caraku mendeskripsikan kehidupan? Asalkan aku hidup bahagia bersama keluargaku itu sudah lebih dari cukup. Hanya saja, aku tidak bisa menjelaskan perasaan kosong yang ada di hati. Sakit, setiap kali aku mengingat Ibu. Ada bagian dalam diriku yang hilang, dan aku tahu penyebab dari kekosonganku. Apa Ayah juga merasakan kekosongan yang saat ini kurasa? Atau mungkin saat ini Ayah diam-diam menangis sambil menatap foto Ibu ketika diriku tak ada? Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk melanjutkan study di salah satu kampus di Semarang. Aku memilih jurusan seni rupa dibanding jurusan lain yang ditawarkan. Ayah bilang, dulu Ibu juga mengambil jurusan serupa sewaktu kuliah. Yah, setidaknya ada satu hal yang sama dengan Ibu. Itu membuatku merasa memiliki sebuah ikatan dengan Ibu—membuatku selalu merasa dekat dengannya. Awal memasuki bangku perkuliahan dalam hati sudah kubulatkan tekad bahwa apa pun harus kulakukan dengan sepenuh hati. Setidaknya, kali ini aku harus menikmati masa-masa kuliahku dengan nyaman. Aku mulai memperhatikan suasana sekitar, dan baru kusadari ada hal penting yang kulupakan: sosialisasi. Selama ini karena terlalu sering berganti sekolah, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara memulai percakapan dengan orang lain. Kalau dulu waktu SMP atau SMA, gurulah yang memperkenalkan diriku kepada teman-teman (sisanya kuhabiskan dengan menyendiri di kantin. Mengapa? Itu karena aku tidak bisa berbincang dengan satu murid pun, dan hingga saat ini aku tidak tahu alasan mereka berbuat demikian). Tapi kini, jangankan memulai percakapan dengan mahasiswa lain, tubuhku sudah gemetar, dan perutku melilit, serasa seluruh makanan yang ada dalam perutku akan naik kembali menuju tenggorokkan. Ugh, aku tidak suka dengan suasana ini. Segera kulangkahkan kaki memasuki kelas perdanaku dengan keyakinan bahwa aku mungkin saja bisa berbincang dengan salah satu mahasiswa. Sengaja kupilih deretan bangku di bagian tengah yang posisinya menurutku paling nyaman. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung duduk dan membuka novel yang sejak tadi menemaniku. Bruakk. Seorang cowok lewat tanpa peduli ada orang yang tengah duduk di hadapannya (dan orang itu adalah aku. Dia benar-benar menganggap keberadaanku seperti udara tipis). Kutatap lekat-lekat wajah cowok yang kurang ajar itu. Penasaran seperti apa rupa manusia yang berani mengusik kedamaianku. "Apa-apaan—" Ucapanku terhenti seketika saat melihat si pengusik kedamaianku. Ternyata yang berani mengusikku seorang cowok keren. Mungkin dia saudara kembar dari Jacob di serial Twillight Saga. Sebelas dua belas, hampir tidak ada bedanya dengan Jacob asli. Wajah super keren dengan rambut hitam yang berkilau. Belum lagi tatapan mematikan yang dimilikinya, dijamin sanggup meluluhkan setiap cewek yang melihatnya. Satu lagi, tubuhnya yang tinggi dan atlettis. Mana mungkin aku berpaling dari makhluk Tuhan yang seksi ini. Tiba-tiba sepenggal bait lagu dari Mulan Jamilah mulai terlintas di kepalaku. Kamulah makhluk Tuhan yang tercipta yang paling seksi. "Sorry, nggak keliatan," ucap cowok itu dengan santainya. Okay, end of story. "Apa?" Kalimat yang dilontarkannya berhasil membinasakan imajinasiku. Lamunanku langsung hancur berserakan menjadi debu. "Kan aku bilang tadi nggak keliatan." Ini pertama kalinya aku berjumpa manusia yang membuatku jengkel. Wajah rupawannya sama sekali tidak menunjukkan guratan penyesalan. Aliran darahku serasa naik menuju kepala. Lupakan pikiran mengenai Jacob. Pujianku tentang dia juga harus di delete. Hapus saja pemikiran mengenai cuci mata dan penghilang pengap dalam kelas. Apanya yang Jacob, dia tak lebih dari cowok angkuh yang tidak berperasaan. Alih-alih minta maaf, si Jacob paslsu malah langsung duduk bersila di meja. Berlagak seakan-akan dia adalah sang bos gangster yang bebas memperlakukan setiap orang sesuka hatinya. Dari cara bicaranya, jelas sudah dia termasuk kelompok manusia yang suka menindas. Betapa beruntungnya diriku bisa berjumpa dengan salah satu spesies langka ini. Aku berani bersumpah bahwa dia cowok paling menyebalkan yang pernah kutemui dalam hidup. Aku tak berharap besar mempunyai hubungan perteman dengan si Jacob palsu. Meskipun wajahnya bisa dikategorikan cowok keren, tapi dilihat dari attitude-nya, bisa dibilang jauh dari manusia bijak dan baik hati. "Em, maaf. Lupakan saja. Memang aku yang salah." Segera kuambil novel yang berjudul The Vampire Lestat yang tergeletak tak berdaya di lantai dan pergi ke sisi lain. Mungkin nasibku hari ini memang kurang beruntung. *** Terlalu asik di perpustakaan kampus membuatku pulang kemalaman. Bisa kupastikan reaksi Ayah yang hiperbola itu ketika pulang nanti. Aku hanya bisa menghela napas membayangkan omelan yang akan kudapat sesampainya di rumah. Ironisnya, malam ini tak ada satu pun transportasi yang lewat. Jangankan taksi, abang-abang ojek yang biasa mangkal di jalan pun tidak menampakan keberadaannya—jalanan begitu sepi dan dingin. Udara semakin dingin, kugosok-gosokkan kedua telapak tangan, dan itu sama sekali tidak membuatku menjadi hangat. Kulihat suasana di kanan dan kiri, jalanan benar-benar sunyi. Aneh, tak biasanya suasana begitu sepi. Bahkan aku bisa mendengar bunyi langkah kakiku sendiri. Tak lama kemudian aku merasakan ada sosok selain diriku. Terbayang adegan film horror, di mana seorang gadis tengah diikuti oleh sosok asing berbaju hitam. Segera kutepis imajinasi negatif yang mulai meracuni pikiran, di jalanan yang sepi akan lebih baik jika berpikir yang bagus-bagus dan memusatkan perhatian agar tetap fokus. Baru beberapa detik aku berkata untuk mengenyahkan pikiran jelek, tiba-tiba sorot lampu di sekitar jalan mulai padam seperti lilin yang tertiup angin—satu demi satu lampu jalanan kehilangan daya hidupnya. Aku mulai khawatir dengan fenomena aneh ini. Merasa tak enak, aku pun segera mempercepat langkah, berharap menemukan angkutan umum yang lewat malam ini. Hawa dingin semakin menjalar di sekujur tubuhku. Cahaya kecil seperti kunang-kunang mulai bermunculan dari setiap tempat. Cahaya-cahaya itu mulai membentuk sebuah gugus. Awalnya terang kekuning-kuningan lalu dari inti cahaya keluar sulur-sulur hitam yang begitu pekat. Sulur itu meliuk-liuk seperti seekor ular, perlahan sulur-sulur tersebut mulai membentuk sebuah wujud setinggi tiga kaki. Aku tak percaya dengan apa yang muncul di hadapanku. Makhluk bengis itu tersenyum seram kepadaku sambil memamerkan barisan gigi yang tampak runcing. Aku bisa membayangkan ketajaman gigi makhluk tiu ketika mengoyak daging. Cakar dan lengannya mirip kaki komodo. Matanya memancarkan sinar kuning terang, seperti sepasang mata kucing. Tubuhnya dipenuhi dengan sisik. Akhirnya aku sadar makhluk apa yang berada tepat di depanku. Aku mulai mengeja sebuah kata yang muncul di benakku N-A-G-A. "Naga", senang pertanyaanku terjawab. Tapi, bagaimana bisa makhluk itu ada di dunia nyata? Aku kira hanya karangan para novelis dan sutradara Hollywood saja. Makhluk fiktif ini hanya ada dalam Eragon. Lalu, kenapa saat ini aku berjumpa dengan salah satu kerabat buaya? Sisi terdalam diriku berkata, ini bukan saatnya terkagum-kagum. Sepertinya makhluk itu lapar, terlihat jelas dari derasnya air liur yang menetes melalui rahangnya, dan dilihat dari kondisi yang kualami saat ini: tidak ada makhluk hidup berdaging di sekitar sini selain aku. Makhluk yang ada di depanku bertaring dan berbadan kekar. Itu artinya dia adalah hewan karnivora, dengan kata lain, sseekor pemangsa. Terlebih lagi, dilihat dari pelajaran IPA dasar mengenai rantai makanan, jelas akulah yang kemungkinan besar dilahapnya! Aku langsung membalikkan badan dan berusaha lari secepat mungkin, namun sialnya aku malah terpeleset. Jatuh tersungkur di atas aspal, bisa kurasakan kulitku yang menggesek permukaan jalan. Perasaan panik mulai menguasaiku saat kulihat makhluk itu semakin mendekat. Bisa kudengar raunganya yang menakutkan. Jantungku berdegub kencang seiring dengan rasa takut yang mulai menyerang. Aku berusaha bangkit namun terlambat, mahluk itu bersiap menerkam. Hawa berat menekan dadaku, mulai kupejamkan kedua mata sambil berpikir, mungkin inilah saat terakhir hidupku. Jantungku berdegub kencang, tubuhku membatu karena rasa takut bercampur teror. Aku bisa merasakan diriku akan menjadi bagian dari makhluk tersebut. Aku akan dimakan dan langsung meluncur ke dalam perutnya. Bayangan dagingku yang dicabik-cabik tanpa ampun semakin membuatku mati rasa. Aku benci ketika otakku mulai berimajinasi. Prang! Terdengar suara raungan serta dentuman besi. Kualihkan pandangan dan kaget bukan kepalang mendapati kejutan yang terpampang di depanku. "Nice to meet you," sapa si penolong. "Sudah kukira." Cowok yang aku jumpai di kampus pagi ini. Dia mampu menahan serangan naga hanya dengan menggunakan sebuah pedang perak. Tangan naga yang dipenuhi dengan cakar melengkung—tangannya meremas bilah pipih yang digenggam oleh si cowok. Sang naga jelas kelihatan tak senang dengan kedatangan si pengganggu makan malamnya. Seakan-akan dia berkata, “Mau apa kau? Dia mangsaku, cepat enyah dari hadapanku!” Naga itu menggeram jengkel. Cowok itu mulai menarik bilah pedang dari genggaman si naga, kemudian dengan gerakan anggun, dia pun mengayunkan pedang. Si naga mundur menghindari tebasan pedang. Pantang menyerah, cowok itu mulai membuat ancang-ancang, memperhitungkan jarak antara dirinya dan musuh sebelum memutuskan untuk mengayunkan pedang ke arah naga. Desisan udara mulai tercipta di sekitar kakinya, membuat udara di sekitar terasa panas. Lalu, angin pun muncul dan menghantam badan naga. Meski tak paham dengan situasi yang terjadi, namun bisa kupastikan bahwa cowok itu berhasil melakukan sesuatu yang membuat naga terempas. "Kamu?" katanya kepadaku. Aku masih tak percaya si Jacob palsu datang menolong. Cowok itu berbalik dan tersenyum sinis. Ternyata, dalam keadaan seperti ini pun dia masih suka mengintimidasi orang. Mungkin sifat sadis sudah mengalir dalam tubuhnya sejak dalam kandungan. Astaga, tadi pagi aku sempat terpesona dan terkagum-kagum. Aku tidak ingin mengakui itu. Hati nuraniku tidak bisa menerima kenyataan ini. Pelangi wake up! This is a nightmare. Mungkinkah aku tengah bermimpi buruk? Ayo bangun! Berkali-kali aku memukul pipi—memastikan bahwa yang tengah kualami ini hanyalah mimpi. Melihat reaksiku (yang mungkin baginya aneh), si cowok sadis mulai mengacungkan pedang yang digunakanya menghajar naga tepat di depan wajahku. "If you can't defend yourself at least can you say thank you for saving your life?" Aha! Sudah kuduga, dia tidak ikhlas menolong. Bisa-bisanya berkata seperti itu. Dalam keadaan seperti ini, sudah selayaknya orang yang kuat melindungi yang lemah. Tapi ini, seumur hidup mana ada orang yang dengan PD-nya serta-merta meminta ucapan terima kasih pada orang yang diselamatkan? Aku ini korban, kenapa cowok ini malah berperilaku sangat tidak menyenangkan? Naga dan cowok itu sama buruknya. Graoo! Graoo! Sang naga kembali meraung, jelas ia sangat jengkel dengan manusia yang berani menghajarnya. Kenapa naganya tidak dihabisi sekalian, sih? Bukannya langsung menuntaskan tugas melenyapkan naga, Jacob palsu malah lebih tertarik menindasku. Jengkel karena si naga merasa diabaikan oleh penyerangnya, naga itu bangkit dan mulai menyerang kami berdua. "Sepertinya belum kapok juga, ya?" Ketika naga itu hendak menerkam kami, tiba-tiba muncul rantai yang melilit seluruh tubuh naga. Semakin keras usaha si naga untuk melepaskan diri, maka semakin erat rantai membelit tubuhnya. Dari rantai, keluarlah cahaya terang. Perlahan-lahan tubuh sang naga berubah menjadi kabut hitam lalu hilang bersama angin malam. "Aku yakin bisa mengalahkan makhluk itu sendirian," protes sang cowok. "Aku tidak suka caramu, menurutku itu hanya membuang-buang tenaga saja." Sesosok cowok muncul dari balik pohon Asam. Tingginya kira-kira seratus tujuh puluhan, aku tak yakin. Wajahnya memang tak sekeren cowok angkuh itu, namun dia tampak lebih manis dan ramah. Rantai-rantai yang tadinya memanjang tak beraturan kini meliuk-liuk menjadi sebuah gelang yang melingkar di tangan kanan cowok itu. "Awan, kenapa kau suka bersikap menyebalkan? Kalau kau terus-terusan seperti ini, aku yakin tak akan ada satu orang gadis di dunia yang mau jadi pacarmu." "Aku bukan player." Pedang yang digenggamnya berubah menjadi cahaya lalu lenyap. Dalam hati, aku menyugesti diriku sendiri: Satu: naga itu tidak ada. Dua: aku sedang tidak berada di dunia sihir. Tiga: tidak ada manusia yang bisa mengeluarkan pedang sihir. Empat: tidak ada rantai ajaib penghilang naga. Lima: ini mimpi! Mimpi! Aku ingin bangun! "Dan aku," tambah si Jacob palsu, "bukan jenis pemuda penebar harapan palsu." Si cowok hanya terkekeh mendengar celoteh si Jacob palsu. Diliriknya diriku yang masih dalam kondisi kaget, berantakan, acak-acakkan, apa pun itu kondisiku jelas terlihat sangat buruk. Aku sangat yakin. "Jadi, apakah nona manis ini orangnya?" Dia bilang aku manis? Dia bilang aku manis? Akhirnya ada juga manusia berselera tinggi. "Aku rasa begitu." Cowok manis itu menghampiriku dan membantuku berdiri. "Are you okay?" Tatapannya membuat kedua pipiku merona. Ya Tuhan! Mengapa lama sekali Engkau mengirimkan pangeran ini kepadaku? Ngumpet di mana saja dirimu selama ini? Rasanya seperti berada di taman bunga. Sepintas ada tanda love berputar mengelilingiku, dan sepasang malaikat kecil yang tengah menyanyikan balada cinta untukku. Untuk pertama kalinya jantungku bernyanyi tidak keruan. Betapa sempurnanya malam ini jika saja .... "Terdengar ... suara jantung seperti genderang perang," ejek cowok angkuh itu kepadaku. Lenyap sudah malaikat dan bunga-bunga yang tadinya mengitariku. Untuk sekali saja, tolong jangan ganggu kesenangan yang tengah kurasakan. Aku hanya bisa menatap sinis ke arahnya yang dibalas dengan pandangan dua kali lebih tajam. Baiklah ide menatapnya itu buruk. Segera kupalingkan wajah, dan berusaha menyusun kalimat terima kasih sewajar mungkin pada pangeran super ramah di hadapanku. "Terima kasih, aku baik-baik saja." "Syukurlah. By the way, my name is Johan dan cowok itu adalah Awan. Semoga Awan tidak pernah merepotkanmu." Johan tersenyum padaku. Demi apa pun yang ada di dunia ini, senyumnya membuatku meleleh. Seperti salju yang terkena panas matahari. Ternyata nama cowok angkuh itu adalah Awan. Sebenarnya aku tidak perlu tahu namanya dan satu lagi, Johan memang benar: Awan sangat mengganggu dan menyusahkan. "Dan kami berdua adalah seorang Hunter. " "Hunter?" Baiklah, aku mulai bingung. Johan meremas kedua pundakku. "Tenanglah, kami berdua adalah orang baik yang akan menolongmu. Hunter adalah sebutan untuk seorang pembasmi Immortal yang berkeliaran menebarkan kegelapan pada manusia. Pelangi, kami sangat ingin berjumpa dengan ayahmu: Tuan Prayoga." Bagaimana ceritanya hingga Johan mengenal Ayah? Dan yang lebih mengherankan, dia tahu namaku. Mungkinkah mereka bisa memberi jawaban tentang hilangnya Ibu, atau yang lebih baik lagi? Mereka bisa membawaku berjumpa lagi dengan Ibu yang kurindukan. Mempertemukan kami bertiga kembali menjadi keluarga yang utuh. Aku, Ayah, dan Ibu. Sejenak kenangan masa kecilku muncul kembali di dalam diriku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD