Pelangi's Secret

1135 Words
Awalnya aku tak yakin dengan ucapan Johan. Mengingat apa yang kualami malam ini, rasanya sah-sah saja jika aku membawa mereka berdua menemui Ayah. Hitung-hitung, ada bodyguard gratis yang mengawalku. Sesuai dugaanku, Ayah masih terjaga. Padahal ini sudah hampir jam dua belas malam. Ayah tengah duduk di kursi taman, sekali lihat saja sudah jelas kalau Ayah khawatir. Aku jadi merasa bersalah karena membuatnya khawatir seperti ini. "Ayah!" "Pelangi!" Ayah terlihat lega begitu melihat kepulanganku. Namun di saat yang sama dia juga terlihat kaget melihat dua orang cowok yang mengikutiku. "Kalian ...." Wajah Ayah memucat. Aku bisa membaca kecemasan yang melandanya. Johan melangkah dan memberi salam pada Ayah. "Bapak Prayoga, sudah lama sekali kami mencari keberadaan Anda." *** Benakku dipenuhi dengan ribuan pertanyaan yang berdenyut di kepala. Selama ini, aku tak berani bertanya langsung pada Ayah mengenai Ibu. Setiap kali aku menyebut nama Ibu, wajah Ayah menjadi lesu dan muram seperti setangkai bunga yang layu. Jelas sekali kalau Ayah tidak ingin mengingat tragedi yang menimpa kami di malam itu. "Jadi selama ini Anda berpindah tempat untuk melindungi Pelangi? Kami begitu kesulitan menemukan keberadaan Anda." Johan nampak sangat dewasa, kebalikan dari Awan yang arogan, sinis, dan suka mengintimidasi orang lain, Johan malah lebih terlihat mature. Pembawaannya tenang dan lebih paham keadaan yang ada di sekitarnya. Aku heran bagaimana Johan bisa berteman dengan cowok sekasar Awan? Seolah-olah Awan tahu apa yang tengah kupikirkan, dia menatapku dengan pandangan sinis yang berarti "aku tahu apa yang sedang kaupikirkan". Bulu kudukku berdiri, aku tidak suka dengan caranya melihatku. Tatapannya itu sangat membuatku tidak nyaman. "Bukan begitu, Pelangi adalah putriku satu-satunya. Rebecca begitu menyayangi Pelangi. Aku sudah berjanji untuk melindungi Pelangi." Selama ini sikap overprotektif Ayah memang bukan tanpa alasan, dia khawatir sepenuhnya terhadap keselamatanku. "Para Immortal sudah tahu keberadaan Pelangi, dan malam ini mereka menyerang Pelangi menggunakan Phantom." Jadi, makhluk yang menyerangku tadi adalah Phantom. "Apakah Anda ingin melarikan diri terus-menerus tanpa memberitahukan kebenarannya pada Pelangi?" tukas Johan. "Pelangi berhak mengetahui kebenarannya." Kebenaran? Sebenarnya apa maksud ucapan Johan? Ayah menghela napas dan mulai menegakkan posisi duduknya. Ayah memandang cangkir teh yang ada di hadapannya. Sejenak, dia mengaduk teh hingga menciptakan arus dalam cangkir kecil itu. "Pelangi, seharusnya kau tahu betapa berharganya dirimu bagi kami berdua. Ayah sangat bahagia mempunyai putri yang ceria sepertimu." Garis-garis kesedihan mulai menghiasi kening Ayah yang dipenuhi keriput. Bisa kulihat kedua mata Ayah yang memancarkan penyesalan. Meskipun begitu, Ayah tetap berusaha terlihat kuat di depanku. "Ibumu," lanjutnya, "dia wanita yang luar biasa. Ibumu wanita yang ceria, ramah, dan baik hati. Selain itu, dia juga seorang Hunter, sama seperti Johan dan Awan. Rebecca melindungi manusia dari serangan Immortal. Itu dulu sekali, sebelum dia berjumpa denganku dan memutuskan untuk menikah dan keluar dari Ordo. Melepas kehidupan lamanya demi bersama seorang manusia biasa, yaitu aku." Ayah meremas ujung taplak yang ada di dekatnya. "Aku pikir, kami berdua akan hidup bahagia selamanya, namun kenyataan berkata lain." Suara Ayah bergetar, pandangannya menerawang. "Pasukan Immortal malam itu menyerang dan aku tidak bisa menyelamatkan Rebecca ... ibumu." Setetes air mata mengalir turun dari kedua mata Ayah. Aku pun tak lagi bisa menahan perasaan haru di batinku. "Tapi, mengapa?" Tubuhku seperti terkena aliran listrik. Jari-jari bergetar, dadaku sesak, dan aku tak mampu berucap sepatah kata. "Oracle," sela Awan. "Mereka datang menyerangmu karena Oracle." Awan mengambil secangkir teh lalu memutar-mutar cangkir yang ada di hadapannya. "Oracle? Apa maksudmu?" tanyaku pada Awan. "Menurut ramalan Madam Eline, salah satu anggota Hunter di Ordo yang juga mempunyai kemampuan untuk memperkirakan masa depan, dia mengatakan bahwa salah satu dari keturunan bangsa Irilian akan membinasakan kaum Immortal dan mengirim para Phantom kembali ke jurang kegelapan, tempat di mana mereka pertama kali berasal." Aku semakin bingung dengan ucapan Awan, jika Irilian yang dimaksud akan membinasakan para Immortal dan Phantom mengapa mereka .... "Pelangi," ucap Ayah. "Ibumu bernama Rebbecca Dessdemona. Dessdemona sendiri merupakan keturunan dari bangsa Irilian." "Jadi?" Aku benar-benar kaget dengan kenyataan yang diungkapkan Ayah. Selama ini mereka ingin memusnahkan seluruh keturunan bangsa Irilian serta membunuh Ibu hanya karena ramalan perempuan bernama Madam Eline? Johan menatapku dan berkata, "Semua keturunan bangsa Irilian kini telah lenyap diserang Immortal ataupun berakhir mengenaskan karena Phantom. Dan keturunan terakhir yang masih tersisa tinggal dirimu seorang, Pelangi." Luar biasa, rasanya aku harus senang atau harus sedih? Ternyata diriku adalah keturunan terakhir dari kaum yang akan menyelamatkan seluruh umat manusia. Di sisi lain, kata terakhir yang tersisa itu semakin menguatkan posisiku yang selalu sendirian. Diriku dinanti namun sekaligus tak diinginkan. Diriku diharapkan oleh para Hunter untuk membantu mereka melindungi manusia. Sedangkan para Immortal, membenci kehadiranku yang akan melenyapkan keberadaan mereka. Sungguh ironis sekali kehidupanku. Tahu apa aku mengenai dunia beserta isinya? Aku merasa sakit, tapi tak tahu bagian mana yang tengah terluka sebenarnya. Ngilu yang kurasa di jantung semakin tajam. Bermacam perasaan mulai datang menyerang-aku bimbang. "Tidak ada jalan lain, Pelangi akan ikut bersama kami menemui Ordo demi keselamatannya." Aku kaget mendengar ucapan Johan. Bila aku harus ikut bersama Ordo, maka itu artinya aku harus berpisah dengan Ayah. Kehilangan Ibu sudah cukup menyakitkan bagiku tapi yang ini, keterlaluan aku tidak bisa menerima keputusan ini. Siapa yang melindungi Ayah dan menemaninya di kala dia merasa kesepian? Aku akan sangat merasa bersalah pada Ibu apabila aku harus berpisah dengan Ayah. "Aku tahu ini berat bagimu, tapi apa kau ingin Phantom menyerang ayahmu juga seperti malam ini?" ujar Johan. Badai yang ada dalam pikiranku mulai menghilang akibat perkataan Johan. Benar juga, jika hal buruk yang menimpa Ibu disebabkan olehku, maka sebaiknya aku harus menemui Ordo demi keselamatan Ayah. Aku tidak ingin orang yang kusayangi terluka karena diriku lagi. Mungkin Ibu juga akan melakukan hal yang sama denganku. "Ayah, mungkin yang dikatakan oleh mereka berdua benar." Meskipun ragu, aku memberanikan diri untuk mengucapkan hal yang sebenarnya berat. "Izinkan Pelangi pergi bersama mereka." "Tapi!" Ayah jelas tak setuju dengan keputusan yang kuambil. Aku berusaha meyakinkan Ayah mengenai keputusanku. "Ayah," ucapku. "Pelangi ingin Ayah bahagia seperti dulu lagi." "Kebahagiaan seorang ayah adalah ketika melihat putrinya bahagia di sampingnya." Ayah menatapku penuh harap-bahwa aku akan segera mengubah keputusan. "Ayah tidak ingin Pelangi pergi, ibumu pasti akan sangat kecewa pada Ayah." Ayah menatap foto Ibu yang tergantung di ruang tamu. "Kecewa karena Ayah gagal melindungimu." Hatiku pilu mendengar ucapan Ayah, namun jika aku terus di samping Ayah, mungkin saja mereka juga akan datang menyerangnya. Dan aku tidak ingin hal itu sampai terjadi pada Ayah yang kusayangi. "Ayah tidak gagal. Hanya saja, Pelangi harus pergi. Ini semua demi kebaikan kita." Kutatap Ayah sebelum berucap, "Pelangi pasti pulang." Entah mengapa aku yakin bahwa aku pasti kembali bersama Ayah. "Makanya Ayah jaga diri baik-baik, percaya deh sama Pelangi." Kuacungkan kedua ibu jariku pada Ayah sambil tersenyum penuh kemenangan. "Kami berdua juga akan melindunginya, Pak." Johan berucap mantap, meskipun Awan sepertinya tidak setuju dengan apa yang Johan ucapkan, pada akhirnya dia hanya pasrah mengikuti kemauan Johan. "Ayah ... aku pasti pulang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD