Page 3

1291 Words
Paketnya datang beberapa saat kemudian. Gadis itu mendapat perintah lagi. Perintah untuk membersihkan dirinya dan berdandan. Alana tidak tahu apa yang berada pada pikiran pria ituㅡAlana pikir dia sudah tidak waras. Yang pasti, Alana tidak bisa menolak saat tiba-tiba segerombolan maids memasuki kamarnya dan mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk membantu gadis itu untuk bersiap. Alana mendengkus keras-keras. Dalam hati mencibir pria itu. Memangnya dia kira aku tidak bisa melakukan semua ini sendiri? "Bajingan." Tidak butuh waktu lama untuk Alana mempersiapkan diri. Kini gadis itu memandangi pantulan dirinya pada cermin. Bayangan yang balas memandangnya adalah seorang gadis akhir dua puluh dua tahun dengan rambut tergerai indah, memakai sebuah gaun merah darah yang ketat. Risih, itu hal yang Alana rasakan pertama kali. Gaun terkutuk itu terlalu memeluk tubuhnya dengan eratㅡAlana pikir dia tidak akan bisa bernapas, saking eratnya gaun itu. Alana tidak pernah tampil pada hadapan publik dengan keadaan seperti ini. Dia tidak pernah menyukai gaun, bersolek, dan pesta. Kecuali itu pesta darah, yang artinya pemakaman untuk musuh-musuhnya. "Hm, lumayan." Dua kata itu cukup membuat Alana yang masih mengeluh dalam hati tersentak. Terkejut karena tiba-tiba pria menyebalkan itu berada di sini. Memandang menilai dirinya, seolah dia adalah sebuah maha karya yang sedikit menarik perhatian seorang El. Lebih menyebalkan lagi karena, Alana tidak suka dan tidak akan pernah suka di perhatikan sedemikian rupa oleh seseorang. Bahkan ibunya saja tidak. Hal ini tidak hanya membuatnya risih, hal ini lebih membuat Alana ingin mencongkel bola mata mereka keluar. Apalagi mata hitam pria itu seperti menguliti Alana hidup-hidup. "Terserah. Tapi, aku tetap harus berterima kasih, ini jelas akan menjadi pelarianku. Hidup sebagai pelayan dengan diperlakukan sangat terhormat oleh orang lain, tentu membuatku nyaman. Tapi, pengecualian untuk di sini karena, hadirmu hanya merusak segalanya, Evil." Alana berkomentar pedas dengan duduk pada sisi ranjang. Hendak memakai heels lima sentinya yang berwarna keperakan. Tidak menyatu sekali dengan warna gaunnya. Tapi saat keduanya disandingkan, Alana benar-benar terlihat memukau. "Pelarian, ya? Hanya akan ada dalam mimpimu." El berjalan tegap menuju Alana. Merundukkan kepala, menatap pada kaki gadis itu. "Aku kemari, sedang berbaik hati untuk mengantarkan paket yang harusnya kau ambil. Beruntung kau sedang menjadi pasanganku jika tidak, mungkin kau sudah berada dalam kamar yang sering kau kutuk itu. Bukankah menarik untuk terikat di sana, Alana?" Bukannya merasa takut, Alana berdiri, bertepuk tangan kagum. El memandangnya penuh tanya, kotak persegi yang berukuran sedang masih tersodor, menggantung di udara. "Bravo! Bukankah itu adalah kalimat yang sangat panjang. Benar-benar gila, apakah aku sedang dianugerahi keberuntungan atau kesialan karena telah mendengar ucapanmu itu? Aku bahkan yakin ini adalah kalimatmu yang paling panjang, selama ini. Bravo, El! Bravo!" Pria itu mendengkus, tidak menanggapi ucapan Alana. Menarik kasar tangan gadis itu, meletakkan kota beludru berwarna biru gelap itu pada tangannya. Lalu, berjalan keluar dari kamar tersebut. Alana hanya tersenyum sejenak, tidak menyangka El yang dikatakan selalu dingin, kejam, dan tidak tersentuh, bisa begitu beremosi hanya karena sebuah kalimat sedikit menghina dari Alana. Lucu sekali. Alana ingin tertawa sampai mati rasanya. "Wah, wah, wah, bukankah ini terlihat terlalu romantis, El? Bukankah dia terlalu menghambur-hamburkan uang hanya untuk tawanan sepertiku?" Alana berkomentar sendiri saat mengetahui kotak apa yang sebenarnya dirinya pegang. Gadis itu kembali duduk menghadap cermin riasnya. Sedikit terkagum dengan perhiasan yang berada di depannya. Perhiasan ini terbuat dari rantai perak yang halus dengan liontin lingkaran kecil bertabur berlian putih, memantulkan cahaya keperakan yang indah saat terkena lampu kamar Alana. Sangat mahal. Gadis itu mengambil kalung dengan bentuk yang mengesankan, mencobanya dengan segera dan sedikit terkagum untuk beberapa detik. Namun, dia juga bertanya-tanya, apakah terlihat cocok dengan dirinya atau tidak?. Jujur saja, Alana adalah gadis pendiam yang memperhatikan segala perhiasan yang dimilikinya. Jika dia tidak suka dengan perhiasan itu, maka tidak akan pernah dia pakai, tidak peduli dengan harganya yang selangit atau bahkan orang terkasih yang ternyata membelikan. Alana tidak akan pernah memakainya. "Lumayan, setidaknya kalung ini bagus dengan warna kulitku." Pada akhirnya Alana memilih untuk masang kalung indah itu pada lehernya. Berulang kali mencoba mengaitkan pengaitnya, tetap saja gagal. Sudah sepuluh menit dia berusaha, kondisi kedua tangannya mulai terasa kebas. Tepat pada menit kesebelas, pintu kamarnya kembali terbuka. Alana bisa melihat pria b*****h itu berdiri pada ambang pintu, terlihat sangat jelas dari cerminnya. "Hanya karena sebuah kalung, kau menjadi begitu lambat? Ku kira kau tiba-tiba kehilangan nyawa." Alana tidak menjawab, memilih peduli pada kalungnya dulu. Seharusnya dia memang tidak memakai benda merepotkan seperti ini. Dengan begitu, El tidak akan datang merangsek masuk ke dalam kamarnya untuk ke dua kali, dan mengatakan kalimat hinaan yang membuat Alana kesal setengah mati. Dasar kalung sialan! Sama saja dengan pemberinya. "Hanya karena pengait kecil ini saja, kau tidak bisa mengatasinya dengan benar? Tidak mengherankan jika kerjamu tidak pernah benar." "Lebih baik membantuku saja, daripada berceletuk tidak jelas." Alana mencibir, mulutnya mengerucut kesal. El menatap tajam gadis itu melalui cermin. Dengan sebelah tangannya, menyibak rambut Alana yang tergerai. Kulit Alana meremang. Sentuhan tangan El yang hangat pada kulitnya, menghasilkan sensasi aneh pada perutnya. Dan gaun terkutuk itu mengekspos jelas bagian punggung atasnya hingga pinggang, itulah kenapa Alana memilih menggerai rambutnya. Dengan El menyibak rambutnya, punggungnya terasa dingin dan perutnya seperti ingin memuntahkan seluruh isinya. Alana bahkan hampir tidak bisa bernapas. Terlalu dekat. Iblis ini berbahaya. Salah-salah, aku mungkin terjerat. Atau aku sudah?. Alana langsung menggeleng. Mengenyahkan pikiran tidak jelas, yang tiba-tiha muncul itu. Dia yakin, dirinya sudah hilang akal. "Done." Sebuah bisikan yang El lakukan pada telinganya, membuat kulit Alana meremang berkali-kali lipat. Pria sialan itu tengah menunduk, memosisikan bibirnya tepat berada pada telinga gadis itu, lantas berbicara dengan sedikit menghembuskan napasnya. Sebenarnya El bukan pria yang akan melakukan semua hal itu, tapi selalu ada kali pertama. Bahkan baginya yang terjebak dalam dunia hitam dan putih. Lagi pula, pria itu sangat menikmati ekspresi memerah, penuh kekesalan, dan gurat malu pada wajah Alana. Sepertinya mengusili gadis itu menjadi hobinya sekarang. El mendesah singkat, menjauhkan wajahnya dari telinga, tengkuk, dan punggung gadis itu. Kembali berjalan menuju pintu keluar. "Lekas pergi ke bawah." Aku pasti hilang akal. Dia bukan candu. [ * * * ] [ * * * ] [ * * * ] [ * * * ] Tanpa menunggu waktu yang sangat lama, sebuah mobil hitam mulus terlihat memasuki sebuah kawasan dengan hiruk pikuk yang memadai. Nama tempat itu tertulis besar pada sebuah papan jalan yang khusus di tempatkan di sana. Alana menatap sekelilingnya, dia tidak pernah tahu tempat ini karena, memang dia tidak mungkin pernah kemari. Alana tumbuh dan berkembang jelas, bukan dari tempat ini. Jadi, dia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan yang setia mendera kepalanya. Di mana ini, kenapa membawanya, bukankah ini berbahaya, dan terlalu banyak hingga rasa-rasanya kepalanya ingin pecah saat ini juga. "Aku akan menunggu. Setelah wajah pucatmu itu berubah, kau boleh masuk. Atau kau bisa memilih untuk ikut atau tidak." Alana menoleh, menatap El yang memandang kosong pada jalanan. "Aku tidak pucat! Hanya merasa gugup karena, sudah lama tidak datang ke tempat ini." "Ku rasa memang tidak baik membawamu," gumam El, terdengar jelas sekali pada telinga gadis itu. Saat Alana hendak memerotes, tubuh El telah menghadap padanya secara sempurna. Menatap dalam pada kedua mata birunya. "Pertemuan ini bukan hal yang biasa saja, tidak pernah ada yang biasa saja dari pertemuan-pertemuan ini. Bisa jadi kau akan melihat pembunuhan dengan mudah atau jika posisinya tidak beruntung, mungkin saja kau yang akan menjadi sasaran." Alana yang masih terpesona pada mata hitam kelam itu menjawab sekenanya, "Pembunuhan adalah kawan lamaku. Darah dan segala hal-hal mengenai itu sudah menjadi makananku sepanjang masa kecil. Tak perlu mengatakan aku berasal dari mana, kau pasti sudah tahu segalanya. Aku terbiasa dan ini saat yang tepat juga untuk kabur dari Tuan menyebalkan seperti dirimu." El menghela napas dalam, "Baiklah ini permintaanmu, kita akan lihat seberapa tangguh dirimu. Kau tahu aturan-aturannya, bukan?" Alana menyunggingkan seringaiannya. "Tentu saja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD