Bab 8

1364 Words
Aku masih termenung di sofa ruang keluarga meski Mama Nugki sudah meninggalkan rumah ini sejak sepuluh menit yang lalu. Aku masih tak habis pikir dengan pemikiran mantan mertuaku itu yang menuduhku mengundang Pram untuk datang ke rumah ini. Jujur saja, aku memang masih mencintai Pram, tetapi aku juga bukan perempuan gila yang akan mengundang pria beristri untuk datang ke tempat tinggalku. Aku masih waras. Dan tentu saja aku tidak semurahan apa yang dipikirkan Mama Nungki padaku. Kedatangan Satria dan Elok akhirnya membuyarkan lamunanku mengenai Mama Nungki. Melihat kedua buah hatiku yang sudah siap pergi, akhirnya aku pun beranjak untuk bersiap-siap. Aku tidak mungkin mengingkari janjiku pada Satria dan Elok meski sejujurnya saat ini aku lebih ingin di rumah saja dibanding bepergian. Kupesan Grab agar Satria dan Elok lebih nyaman dalam perjalanan menuju pusat perbelanjaan. Aku memang belum bisa menghidupi Satria dan Elok dengan menggunakan penghasilanku sendiri. Namun aku akan berusaha untuk mencari rezeki halal agar suatu hari aku bisa menghidupi Satria dan Elok dengan seluruh pendapatanku. Tanpa mengandalkan sepenuhnya pada Pram. Jarak dari rumah ke pusat perbelanjaan hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit. Begitu memasuki lobi mal, Satria dan Elok berseru riang. Mereka berebut usul ingin mengunjungi arena permainan mana lebih dulu. Hingga akhirnya, aku memberi pengertian jika uangku hanya cukup untuk mengunjungi satu arena permainan. Bersyukur aku dikaruniani anak-anak baik yang selalu mengerti kondisiku. Satria dan Elok patuh menuruti ucapanku. Setelah lelah bermain, aku mengajak mereka ke sebuah restoran pizza. Aku hanya memesan pizza berukuran medium dan dua minuman untuk Satria dan Elok. Sedangkan aku sendiri tidak memesan apa-apa, karena aku akan menghabiskan makanan Satria dan Elok jika mereka tidak menghabiskan makanan mereka. Namun rupanya Satria dan Elok makan dengan lahap. Pizza yang kupesan tandas tak tersisa oleh mereka. Aku terpaksa menahan lapar agar tak memesan makanan lagi di restoran ini, karena harga makanan di sini yang bagiku sangat mahal. Kami pulang setelah membeli mainan untuk Satria dan Elok. Satria membeli sebuah lego, sedangkan Elok membeli sebuah boneka. Tiba di rumah, aku segera menggiring Satria dan Elok untuk bersih-bersih, setelahnya membimbing mereka ke tempat tidur. Aku hanya membacakan buku bacaan selama lima menit dan mereka sudah tertidur lelap. Setelah memastikan kedua buah hatiku tidur dengan nyenyak, aku pun keluar kamar berniat untuk menyiapkan sayuran yang akan kumasak besok. Sekaligus mengisi perutku yang sedari tadi sudah kelaparan. Namun kemudian langkahku kuarahkan menuju ruangan depan begitu kudengar suara Ayu yang mengucap salam. “Wa’alaikumsalam.” Aku bergegas membuka pintu rumah. Lalu tampak lah Ayu yang berdiri di depan pintu dengan menenteng sebuah bingkisan. “Yu,” sapaku. “Sudah tidur ya, Kak? Maaf ganggu ya.” “Aku belum tidur. Anak-anak yang sudah tidur. Kayanya mereka kecapaian,” jawabku sembari tersenyum. “Ada apa, Yu?” “Ini ada oleh-oleh dari Mas Pram untuk Satria dan Elok.” Ayu memberikan bingkisan yang sejak tadi di genggamnya. “Oh, Pram sudah pulang ya?” Aku pun menerimanya dengan senang hati. Satria dan Elok pasti senang papanya sudah kembali dari luar kota. Tapi tumben sekali kok bukan Pram sendiri yang mengantar oleh-oleh ke sini? “Satu jam lalu sampai, Kak. Katanya capek jadi minta aku yang mengantar oleh-oleh itu.” “Makasih, Yu. Padahal diantar besok juga nggak apa-apa.” “Nggak apa-apa, Kak. Aku juga kebetulan belum tidur. Kianonya masih ingin mainan,” ujar Ayu yang nampak begitu lelah. “Jangan capek-capek kamunya, Yu. Kalau memang kamu kuwalahan, bicarakan dengan Pram. Minta dicarikan baby sitter untuk bantu mengurus Kiano,” saranku. Aku hanya bersimpati melihat Ayu yang seharusnya masih main-main menikmati masa mudanya, kini harus berkutat menjadi ibu rumah tangga. Bukan berarti menjadi ibu rumah tangga adalah hal yang nista. Tetapi melihat Ayu seperti melihat diriku di masa muda dulu. Dulu aku rela meninggalkan pekerjaanku demi menikah dengan Pram, karena kupikir memang sudah waktunya aku menikah. Dan Pram adalah jodohku hingga akhir khayat. Sayangnya, lima bulan lalu aku seperti ditampar oleh kenyataan, jika mimpi masa mudaku menjadi satu-satunya wanita yang dipuja Pram, kandas. Aku kehilangan Pram, setelah tujuh setengah tahun pernikahan kami. Meski sejujurnya aku membenci Ayu, namun aku tetap berharap, nasib Ayu tidak berakhir sepertiku. Aku berharap, kekhilafan Pram tidak terulang lagi di pernikahan keduanya. Ayu berpamitan setelah mengatakan akan berbicara pada Pram mengenai saranku. Lantas aku kembali masuk ke dalam rumah. Setelah menyimpan oleh-oleh yang diberikan Pram di sofa ruang TV, aku menuju dapur, mencari makanan yang bisa kumakan untuk mengganjal perut. Akhirnya kuputuskan untuk menggoreng nugget sebagai lauk. Setelah mengisi perut, aku membuka lemari pendingin dan mengambil stok sayuran yang tadi siang dibeli Mbak Narti. Aku mulai menyiangi sayuran dan bumbu dapur yang akan kumasak esok pagi. Sejak dulu, aku selalu menikmati kegiatanku sebagai ibu rumah tangga. Aku pun selalu berusaha mencoba resep-resep baru agar anak dan suamiku tidak bosan dengan olahan masakanku yang monoton. Dan kini meski siangnya aku harus bekerja, aku akan tetap memastikan anak-anakku menyantap makanan bergizi hasil olahan tanganku atau Mbak Narti, jika aku benar-benar sedang tak bisa memasak. Esok paginya aku baru melihat sosok Pram. Pria itu berdiri di samping mobilnya dengan wajah tertekuk muram. Aku yang tengah bersiap mengantar anak-anak dihampiri oleh Ayu. Istri kedua Pram ini mengatakan padaku jika Pram yang akan mengantar anak-anak ke sekolah. “Asyik, kita berangkat ke sekolah naik mobil!” Anak-anak tentu saja berseru ceria. Mereka segera menyalamiku dan Ayu, lantas berlari menuju mobil ayah mereka. “Sepertinya Mas Pram sedang banyak pikiran, Kak,” ujar Ayu pelan begitu Satria dan Elok sudah masuk ke dalam mobil. “Dari semenjak pulang semalam, Mas Pram cemberut terus. Nggak tahu kenapa,” terang Ayu dengan wajah sendu. Tak berapa lama, mobil Pram bergerak meninggalkan halaman rumah. Aku dan Ayu melambaikan tangan pada Satria dan Elok yang juga melambaikan dari dalam mobi. Setelahnya, aku kembali fokus pada Ayu. “Kamu nggak coba tanya ke orangnya, Yu?” tanyaku yang juga penasaran dengan sikap Pram pagi ini yang tidak merecokiku. Ayu menggeleng lemah. “Aku nggak berani, Kak.” “Nggak berani?!” tanyaku terkejut yang digelengi kembali oleh Ayu. “Kamu ini istrinya, Yu. Kalau kamu merasa ada yang mengganjal dengan sikap atau apa pun itu dengan Pram, kamu berhak bertanya,” kataku gemas. Bisa-bisanya Ayu bilang tidak berani bertanya pada Pram, padahal dia istri sahnya. Melihat Ayu yang hanya terdiam dengan manik berkaca-kaca, akhirnya aku kembali berbicara, “Sebenarnya bagaimana hubungan pernikahan kalian sih, Yu? Kamu juga terlihat santai saja meski Pram sering berkunjung ke rumahku. Jujur saja aku bingung, Yu. Sebaik-baiknya orang pasti ada sisi cemburunya, ketika tahu pasangannya sering mengunjungi rumah mantan. Meskipun, kedatangan Pram ke rumah, memang benar untuk urusan anak-anak. Tapi aku merasa aneh dengan sikap kamu yang sama sekali nggak cemburu itu,” tukasku panjang lebar. “Aku takut kalau aku banyak nuntut, Mas Pram bakal ninggalin aku, Kak,” ucap Ayu dengan wajah putus asa yang membuatku semakin terheran-heran. “Kenapa kamu bisa berpikiran begitu? Aku lihat Pram sayang sekali sama kamu kok, Yu.” “Nggak tahu ini perasaanku aja atau bagaimana, tapi ….” “Tapi apa, Yu?” tekanku penasaran. “Tapi yang aku rasakan, rasa sayang Mas Pram jauh lebih besar pada Kak Lintang,” ujar Ayu yang membuatku tercengang. “Yu, bisa-bisanya kamu punya pemikiran begini. Aku sama Pram benar-benar sudah berakhir. Dan sudah jelas, dia memilihmu menjadi istrinya, Yu.” Ayu kembali menggeleng. “Aku juga nggak tahu, Kak. Tapi yang aku rasakan memang seperti ini. Mas Pram justru lebih memikirkan Kak Lintang, Satria dan Elok ketika di rumah. Dari pada memikirkan aku dan Kiano.” “Yu ….” Bibirku mendadak kelu. Aku terlalu bingung harus menanggapi bagaimana. Karena semua yang dikatakan Ayu benar-benar diluar dugaanku. Jika memang benar adanya, aku bukannya senang, namun aku justru semakin membenci Pram karena lagi-lagi ia tak bisa menjaga perasaan wanita berstatus istrinya. Ayu akhirnya berpamitan kembali ke rumah, ketika ART di rumahnya, memberitahu jika Kiano terbangun. Aku yang masih terkejut dengan penuturan Ayu masih berdiri di teras rumah memandangi bangunan yang ditempati Ayu dan Pram selama beberapa saat. Tentu saja aku tak menuduh Ayu berdusta. Namun aku masih tak habis pikir dengan Pram, jika semuanya yang dikatakan Ayu memang sebuah kebenaran. Karena lagi-lagi, Pram mengulang kebodohannya. Dasar bodoh kamu, Pram! Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD