Bab 9

1175 Words
Bagi para orang tua, sedewasa apapun anak mereka, para orang tua akan tetap menganggap dan memperlakukan anak-anak mereka layaknya anak kecil. Hal ini yang masih aku rasakan hingga kini. Kedua orang tuaku yang tak pernah absen menanyakan kabarku dan anak-anak setiap hari. Seperti hari ini, baru beberapa saat lalu aku menutup panggilan dari Bapak dan Ibu di kampung ketika aku tengah sibuk mengemas camilan daganganku. Tentu saja, hal ini adalah sebuah anugerah di tengah kesakitanku meratapi kehancuran rumah tanggaku. Bapak dan Ibu tahu dengan keadaanku sekarang yang masih menempati rumah Pram bahkan bertetangga dengan mantan suamiku ini. Bapak dan Ibu yang pada dasarnya memang memiliki sifat yang kelewat legowo hanya mengingatkanku untuk lebih sabar lagi. Mereka pun siap menerimaku pulang kembali ke rumah mereka, kapan pun aku ingin pulang. Aku sempat menangis mengingat aku belum bisa membalas jasa kedua orang tuaku, namun kini aku justru menjadi beban pikiran mereka. Bakso goreng yang telah dibumbui sebanyak lima puluh bungkus selesai kukemas. Kulirik jam dinding yang rupanya telah menunjuk pukul setengah dua belas malam. Kuhela napas panjang dan meregangkan tubuh yang benar-benar terasa letih. Sepulang bekerja tadi aku belum sempat beristirahat barang sebentar. Aku segera memandikan anak-anak, menyiapkan makan malam mereka, menemani mereka belajar dan bermain sebentar sebelum kuantar mereka ke tempat tidur. Mbak Narti izin pulang siang, karena ada keperluan. Tadinya Ayu menawarkan diri untuk menemani Satria dan Elok belajar, namun kutolak karena aku tahu, dia sendiri cukup kuwalahan mengurus Kiano. Sementara Pram kulihat belum pulang, karena mobil pria itu belum terlihat di garasi rumahnya. Kususul Satria dan Elok ke tempat tidur pukul satu dini hari, setelah kucuci semua peralatan dapur yang kugunakan untuk membuat camilan. Bertepatan dengan suara mobil Pram yang baru saja tiba di rumah. Memastikan itu benar-benar Pram, aku melihat dari jendela kamar yang memang mengarah langsung ke halaman rumah pria itu. Ada perasaan lega ketika memang itu adalah Pram—ayah dari kedua buah hatiku. Mungkin Pram memang sedang banyak pekerjaan hingga pulang begitu larut. Sayangnya, keingintahuanku justru menjadi bumerang, karena aku harus menyaksikan pemandangan yang sama sekali tak ingin kulihat. Dengan jelas kulihat dari kamar ini, aku menyaksikan Pram begitu rakus mencium Ayu begitu pintu rumah terbuka. Aku segera membalikkan badan agar tak melihat pemandangan menyakitkan itu lebih lama lagi. Berkali-kali aku bergumam, mengingatkan diriku, jika aku sudah tak berhak cemburu pada kemesraan Pram dan Ayu. Aku pun merebahkan tubuh di samping Elok, setelah perasaanku sudah kembali tenang. Pagi hari tak kusangka, Pram sendiri yang menjemput anak-anak ke rumah untuk diantar ke sekolah ketika kami bertiga masih sarapan bersama. Padahal semingguan hidup terasa damai tanpa gangguannya. “Papa nggak mau sarapan dulu? Hari ini Mama masak nasi goreng kesukaan Papa lho,” ucap Satria yang membuat baik aku dan Pram termangu beberapa saat. Nasi goreng yang dimaksud Satria adalah nasi goreng dengan bumbu minimalis. Bumbu-bumbunya kuiris dengan tambahan sedikit kecap. Sedangkan Pram sendiri lebih suka yang tanpa kecap dengan bumbu yang diulek kasar dan tentu dengan rasa pedas yang lebih dominan. Namun Pram memang selalu memakan habis apa pun makanan yang kumasak, sehingga Satria beranggapan nasi goreng pagi ini adalah menu kesukaan papanya. “Mau sarapan, Pram?” tawarku akhirnya. “Ayo, Pa, sarapan dulu. Sudah lama kita nggak makan bareng lagi,” bujuk Satria cerewet. Sementara Elok hanya memandangi Pram penuh harap. Kulihat Pram menghela napas, sebelum mengambil tempat di kursi sampingku. Aku pun beranjak ke dapur untuk mengambilkan piring bersih untuk Pram. Dengan canggung kuambilkan nasi goreng untuk mantan suamiku ini. “Sudah cukup, Lin,” ucap Pram setelah aku menuangkan dua centong nasi goreng ke piringnya. Aku yang terlalu canggung dengan siatuasi ini, memutuskan untuk menyudahi sarapanku, meski nasi goreng di piringku masih tersisa banyak. Namun ketika aku sudah berdiri dengan membawa serta piring makanku, Pram menahan lenganku. “Mau ke mana?” tanyanya dingin dengan maniknya yang juga menyorot tajam padaku. “Aku sudah kenyang,” kataku berbohong. “Duduk. Habiskan makananmu, Lin!” perintah Pram dingin. Aku menatap balik Pram. Aku ingin menangis rasanya. Aku benci situasi ini. Aku benci ketika Pram dengan seenaknya masih mengaturku seperti ini. Aku tahu mungkin dia tidak bermaksud sepeduli ini padaku. Namun aku membenci sisi batinku yang lain yang masih menganggap Pram memang benar-benar masih peduli padaku. Aku duduk kembali, setelah mendengar perkataan Satria dan Elok yang memintaku untuk menghabiskan makananku. Karena aku sendiri tak ingin mendebat Pram tepat di hadapan Satria dan Elok. Lima belas menit kemudian, aku mengantar Satria dan Elok ke halaman rumah. Mereka bersiap berangkat menaiki mobil papanya. Mbak Narti datang tepat ketika mobil Pram meninggalkan area perumahan. “Maaf ya, Bu, saya terlambat,” ucap Mbak Narti begitu berdiri di hadapanku, setelah memarkirkan sepedanya. “Nggak apa-apa, Mbak,” sahutku tak masalah. Karena Mbak Narti hanya terlambat tiga pulug menit dari jam kerja yang aku tentukan. “Meja makan tolong dirapikan ya, Mbak. Sebelum ke sekolah. Saya mau langsung berangkat, mau mampir ke warung dulu soalnya, mau titip dagangan,” pesanku pada Mbak Narti. “Baik, Bu.” Kami memasuki rumah beriringan. Aku menuju kamarku lebih dulu untuk mengambil kaus kaki. Setelah memastikan penampilanku sudah rapi, aku kembali turun ke bawah untuk mengambil tas kerjaku yang tadi kusimpan di sofa ruang tamu. Namun ketika melewati ruang tengah yang berdampingan dengan dapur langkahku terhenti mendengar pertanyaan Mbak Narti. “Bu, kok tumben sekali piringnya ada empat?” tanya Mbak Narti menatapku penasaran. Aku tahu Mbak Narti bertanya bukan karena ingin tahu urusan orang. Dia hanya penasaran karena memang biasanya hanya ada tiga piring bekas makanku dan anak-anak. “Tadi Pak Pram yang ikut sarapan di sini, Mbak,” jawabku. Mbak Narti menganggukkan kepala. “Ya, Bu. Saya pikir ada tamu siapa. Maaf kalau saya lancang bertanya.” “Nggak apa-apa, Mbak. Saya juga tadi sebenarnya canggung Pak Pram ikut makan di sini. Apalagi baru dua hari lalu Mama Nungki kemari dan menuduh yang enggak-enggak ke saya.” Akhirnya kuluapkan juga unek-unek mengenai Mama Nungki yang menuduhku mengundang Pram untuk datang ke rumah ini. “Maaf sebelumnya kalau saya ikut campur, Bu.” Mbak Narti yang awalnya tengah membersihkan meja makan, berjalan mendekatiku. Tatapannya lembut seperti tatapan orang tua pada anak kandungnya sendiri. “Maaf sebelumnya, tapi saya sendiri kasihan melihat Bu Lin. Sudah berpisah dengan Pak Pram karena diselingkuhi, tapi masih harus bertemu setiap hari. Bahkan Pak Pram masih seenaknya datang kemari. Apa Bu Lin tidak ingin pindah dari sini saja, Bu? Biar kehidupan Bu Lin lebih tenang,” tanya Mbak Narti. “Seandainya bisa, Mbak,” jawabku lirih karena seketika dadaku sesak jika harus tinggal terpisah dengan anak-anak. “Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik lagi, Bu? Saya sendiri risi melihatnya, Pak Pram dengan seenaknya masuk-masuk ke rumah ini. Meskipun rumah ini memang rumah beliau,” kata Mbak Narti yang sedikit emosi. “Saya belum sanggup, Mbak. Kalau saya pindah dari sini, dan Pak Pram benar-benar membuktikan omongannya untuk mengambil hak asuh anak-anak. Saya pikir, lebih baik saya tetap di sini meski harus menahan kekesalan saya pada Pak Pram. Yang terpenting saya bisa terus dekat sama anak-anak,” kataku sembari menahan agar tangisku tak pecah. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD