Bab 10

1448 Words
Pada minggu berikutnya aku kedatangan tamu, Bahtiar—adik kandungku. Adikku ini bekerja di sebuah perusahaan otomotif sebagai salah satu karyawan produksi di sebuah Kawasan Industri di kabupaten Karawang. Bahtiar adalah pribadi pendiam seperti kedua orang tuaku, terutama Bapak. Bapak adalah orang paling pendiam dan legowo dari orang-orang yang kukenal. Saat aku memberitahukan Pram berselingkuh, Bapak hanya mengatakan jika semua keputusan ada di tanganku. Bapak mendukung semua keputusanku, termasuk jika aku ingin berpisah. Bapak sama sekali tidak menampakkan kemarahannya saat itu. Namun aku tahu, beliau sangat sedih dan kecewa pada Pram. Kami berempat berbincang hangat di ruang keluarga. Elok yang biasanya lebih pendiam, sekarang tak henti-hentinya bergurau dengan Bahtiar. Gadis kecilku itu bahkan sejak tadi duduk di pangkuan Omnya dan bergelayut manja. “Sayang, Om Tiarnya capek dong, mangku Elok terus. Elok duduk sendiri ya,” pintaku pada sang puteri. Aku yang sudah menghidangkan empek-empek dan minuman sari lemon sama sekali belum disentuh Bahtiar, karena adik lelakiku itu sejak tadi sibuk berbincang dengan Satria dan Elok. “Memangnya Om Tiar capek mangku Elok?” tanya Elok pada Bahtiar. “Nggak kok, Om nggak capek,” jawab Bahtiar seraya tersenyum. “Jangan begitu, Dek, kamu belum nyicipin empek-empek buatan Teteh, lho. Malah udah dingin sekarang pasti jadi kurang enak. Elok dipangku Mama dulu sini. Biar Om Tiar makan dulu. Nanti habis Om Tiar makan, kita jalan-jalan pakai mobil Om Tiar,” kataku membujuk. “Asyiik!” Satria berseru dengan cepat. “Benar Om, kita mau jalan-jalan?” tanyanya pada Bahtiar memastikan, seolah-olah aku berkata bohong saja. “Iya dong. Satria sama Elok maunya jalan-jalan ke mana?” “Mau ke kebun binatang,” jawab Satria dengan lantang. “Kalau Elok mau ke mana?” “Elok mau beli es krim yang besar sama mainan,” jawab Elok malu-malu. “Ya sudah ayo, Elok turun dulu, biar Om Tiar bisa makan,” pintuku lagi pada puteri bungsuku. Elok tak berbicara, namun segera turun dari pangkuan Bahtiar lalu mengajak Satria untuk bermain bersama. “Mau dipanaskan lagi empek-empeknya, Dek?” tanyaku pada Bahtiar yang baru selesai menyesap minumannya. “Nggak usah, Teh. Nanti Teteh tambah capek,” tolak Bahtiar yang lantas meraih mangkuk berisi kuah empek-empek, lalu memasukkan potongan empek-empek ke dalam mangkuk berisi kuah berwarna cokelat itu. “Enak, Teh,” komentar Bahtiar, begitu memasukkan satu suapan, mengunyahnya pelan lalu menelannya. Aku mengamati adik lelakiku ini sembari tersenyum. Umur kami berjarak empat tahun. Dulu sewaktu Bahtiar masih duduk di kelas tiga SMA, aku sudah menjadi istri Pram. Pram lah yang lantas membiayai kuliah Bahtiar hingga Bahtiar menamatkan S1-nya. “Nambah, Dek. Masih banyak di dapur. Teteh sengaja bikin banyak, buat stok. Mumpung lagi rajin,” ucapku begitu melihat isi mangkuk Bahtiar kosong. “Nanti lagi gampang, Kak.” Bahtiar menghabiskan minumannya lalu kembali bicara, “Jadi kita mau ajak Satria dan Elok jalan-jalan ke mana hari ini?” “Kalau ke kebun binatang jauh, Dek. Kita sama saja mudik ke Bogor. Ke mal dekat sini saja, ke playground,” saranku. Bahtiar menilik jam tangannya. “Setengah jam lagi kita berangkat ya, Teh. Pas banget malnya sudah buka.” “Makasih ya, Dek. Sudah jauh-jauh ke sini nengokin Teteh dan anak-anak,” ucapku tersenyum haru. Aku dan Bahtiar memang jarang berinteraksi. Hanya sesekali saja kami bertukar pesan bertanya kabar, itu pun aku yang lebih dulu mengirim pesan atau menelepon. “Seandainya Teteh mau pindah ke rumah Tiar juga Tiar senang sekali, Teh. Dari pada di sini terus-terusan. Nggak enak juga ketemu mantan setiap hari.” “Teteh belum siap berpisah dengan anak-anak, Dek,” kataki sendu, setelah menarik napas, agar dadaku tidak terlalu sesak. Ya jika menyangkut Satria dan Elok, jujur saja aku lemah. “Kita bisa mengajukan banding seandainya Bang Pram benar-benar membuktikan ucapannya, Teh. InsyaAllah tabunganku cukup untuk menyewa pengacara.” “Jangan, Dek. Tabunganmu untuk biaya nikahmu nanti. Dan untuk dana darurat jika sewaktu-waktu Bapak atau Ibu sakit. Kalau bukan kamu, siapa lagi, karena kita hanya dua bersaudara,” tolakku pelan. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun termasuk adikku sendiri. Bahkan Teh Retna yang bisa dibilang kaya saja, kutolak mentah-mentah ketika beliau menawarkan bantuan untuk menyewa pengacara. Aku sudah cukup merepotkan Bahtiar dan Teh Retna yang rutin tiap bulan mentransfer sejumlah uang untuk keperluan Satria dan Elok. Bahtiar menghela napas, “Tapi kalau Teteh benar-benar butuh bantuan, jangan segan hubungi Tiar ya, Teh. Tiar nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi dengan Teteh,” tukas Bahtiar pelan yang membuatku semakin terharu. Aku mengangguk dan berjanji akan selalu mengabarinya, apapun yang terjadi denganku di kemudian hari. … Aku tak henti-hentinya tersenyum melihat tingkah lucu Satria dan Elok. Sesekoli mereka berebut menaiki perosotan, namun seringkali Satria membantu Elok menaiki satu per satu wahana permainan. Kami akhirnya mengunjungi mal terdekat untuk menghemat waktu, mengingat Bahtiar harus pulang siang ini juga, karena malam nanti dia harus bekerja. Cukup begini saja dan aku sudah sangat gembira. Seusai bermain di playgroud yang meski Satria dan Elok entah berapa kali sudah berkunjung ke sini, namun mereka tak pernah merasa bosan, kami menuju sebuah restoran. Kami menikmati makan siang bersama dan menikmati es krim kesukaan Elok. Di sela waktu makan kami, Bahtiar menghubungi Bapak dan Ibu. Satria dan Elok tentu saja berebut bicara dengan kakek neneknya. Setelah menyelesaikan makan siang kami, Bahtiar mengajak kami ke toko mainan. Satria dan Elok seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan langka ini, memborong banyak mainan yang membuatku geleng-geleng kepala. Aku sudah melarang keduany, bahkan meminta Satria untuk mengembalikan beberapa mainan, tetapi Bahtiar menolak tegas. “Tidak apa-apa, Teh. Sesekali aku juga ingin nyenengin keponakanku,” ucap Bahtiar yang membuatku mengalah, membiarkan Satria dan Elok tersenyum penuh kemenangan. Dalam perjalanan pulang, Satria dan Elok tertidur. Keduanya jelas kelelahan setelah berjam-jam berlarian di dalam mal. Setelah menurunkan mainan milik Satria dan Elok, Bahtiat berpamitan pulang. Bahtiar memelukku erat dan kembali mengingatkanku untuk selalu berkabar dengannya. Aku yang merasa lelah akhirnya memutuskan masuk ke dalam. Masih pukul setengah tiga sore, aku ingin merebahkan tubuh barang sebentar sebelum menyiapkan makan malam untukku dan anak-anak. Sayangnya, rencanaku digagalkan oleh Pram. Baru saja tiga langkah aku menjauh dari pintu depan, aku mendengar suara sang mantan yang mengetuk pintu rumah. “Buka pintunya, Lin!” perintahnya cukup keras. Kuhela napas dan memutuskan melanjutkan langkah. Namun kemudian kuhentikan lagi langkahku, ketika mendengar kata-katanya lagi yang sangat amat menjengkelkanku. “Lin, buka pintunya atau aku akan dobrak pintu ini!” Kuhela napas lagi berusaha mengontrol emosiku. Tidak salah Teh Retna menyebut Pram dengan sebutan si Kunyuk, karena memang benar-benar Kunyuk pria satu ini. Dengan kasar kubuka pintu depan. “Apa-apaan si kamu, Pram?” Sentakku begitu pintu terbuka. “Rumahmu bukan di sini lagi, kenapa kamu harus repot-repot berkunjung ke sini sih?!” Pram berdecak, lalu menampilkan wajah tak bersalahnya. Seolah-olah datang ke rumah ini adalah hal wajar. Wajar jika ingin menemui anak-anak memang. Tapi ini, pakai mengancam akan mendobrak pintu segala. Dasar Kunyuk! “Bahtiar kemari, kenapa nggak beritahu aku?” tanyanya kemudian. “Apa pentingnya buatmu dengan kedatangan adikku,” jawabku jutek. “Kita sudah bercerai kalau kamu lupa, Pram. Jadi antara kamu dan Bahtiar sudah nggak ada urusan apa-apa lagi. Dia bukan lagi adik iparmu,” terangku sengit. “Galak banget sih kamu, Lin! Mau datang bulan ya?” “Bukan urusanmu!” semprotku lagi. Mataku menjelajah ke jalanan depan rumah yang memang pada jam-jam seperti ini sepi. Matahari masih sangat terik hingga membuat para penghuni komplek perumahan ini tentu lebih memilih berada di kamar, di bawah dinginnya AC. “Apa salahnya memang kalau aku ingin tetap menjalin silaturahmi dengan mantan adik iparku?” “Ya ampun, Pram. Jadi kamu gedor-gedor pintu barusan, hanya karena ingin nanyain soal Bahtiar?!” tanyaku frustrasi dengan sikap Pram yang makin hari semakin menyebalkan, kadang justru kekanakkan. “Apa salahnya?” “Terserah, kamu sajalah Pram, aku capek.” Aku hendak menutup pintu kembali, namun Pram dengan mudah menahan dengan lengannya. “Aku belum selesai bicara, Lin.” “Dengar baik-baik, ya, Bapak Pramono Agung yang terhormat. Untuk hal-hal sepele seperti menanyakan kedatangan Bahtiar, lebih baik kita bicarakan di telepon. Karena apa? Karena aku nggak ingin Mama Nungki semakin salah paham mendengar betapa seringnya kamu berkunjung ke rumah ini,” kataku penuh penekanan. “Mama Nungki bicara apa sama kamu, Lin?” suara Pram berubah dalam dan serius, terdengar seperti menahan marah. “Nggak penting Mama Nungki bicara apa ke aku. Satu yang pasti, kalau kamu terus-terusan dengan seenaknya datang ke rumah ini, aku akan nekat bawa anak-anak pergi dari sini.” “Coba saja kalau berani!” “Jangan meremehkanku, Pram. Aku bahkan rela jual ginjalku demi mempertahankan hak asuh Satria dan Elok,” tandasku tanpa ragu. “Jangan sembarangan bicara, Lin!” “Aku nggak main-main, Pram!” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD