Bab 4

1170 Words
Aku bekerja di sebuah restoran bebek yang sudah memiliki banyak cabang di banyak kota-kota besar di Indonesia. Baru sekitar sebulan aku bekerja di sini dan itu pun atas bantuan Retna—sepupuku yang berbaik hati mencarikanku pekerjaan. Restoran tempatku bekerja memang buka lebih awal dari restoran-restoran lainnya yakni pukul sembilan pagi. Biasanya aku berangkat setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Seperti pelayan restoran pada umumnya, tugasku adalah menyambut pelanggan, menawarkan menu yang tersedia, mengantar pesanan dan membereskan peralatan makan begitu pelanggan selesai menyantap hidangan mereka. Aku tidak malu bekerja sebagai pelayan. Karena bagiku saat ini, aku bisa memiliki pekerjaan halal. Dan yang terpenting, aku tidak menggantungkan hidupku dan anak-anak seluruhnya pada Pram. Pukul lima sore biasanya aku pulang. Sesekali lembur jika restoran sedang ramai pengunjung. Jarak tempuh antara rumah dan restoran hanya berkisar lima belas menit jika lalu lintas lancar. Sebelum tiba di rumah, aku menyempatkan membelikan camilan untuk Satria dan Elok. Aku sudah membayangkan wajah ceria ketika menerima camilan berupa kebab ini. Namun sayangnya, harapanku pupus. Karena begitu aku tiba, Satria dan Elok tidak berada di rumah. Aku hanya menemukan Mbak Narti yang tertidur di sofa ruang tamu seorang diri. “Maaf, Bu, saya ketiduran,” ujar Mbak Narti yang seketika terjaga dari tidurnya begitu aku mengucapkan salam. “Nggak apa-apa, Mbak. Pasti Mbak capek sekali seharian ngurusin Satria sama Elok,” kataku maklum. “Anak-anak nggak di rumah ya, Mbak?” terkaku, karena biasanya, begitu mendengar suara motorku terparkir di cartport, baik Satria maupun Elok, berlarian menghampiriku. “Anak-anak diajak Bapak dan Non Ayu ke rumah Omanya, Bu,” jawab Mbak Narti pelan. Ia pasti merasa tidak enak hati padaku. “Maaf, saya nggak mengabari Ibu, soalnya kata Pak Pram, Pak Pram sendiri yang akan mengabari ke Ibu.” Segera kuraih ponsel begitu mendapat penjelasan Mbak Narti. Namun tak kutemukan pesan Pram di ponsel yang saat ini masih kugenggam. Aku mengerti, Pram pasti berusaha menunjukkan kekuasaannya atas diriku, karena aku telah menolak kebaikannya. “Bapak juga nggak mengabari Ibu?” “Mungkin Pak Pram lupa, Mbak. Nggak apa-apa. Toh anak-anak juga pergi dengan papanya, bukan orang lain,” kataku, berusaha memaklumi tindakan Pram. Aku marah, tentu saja. Karena sesuai kesepakatan awal sebelum kami berpisah, siapa pun yang akan membawa anak-anak pergi maka harus saling mengabari. Mbak Narti akhirnya pamit untuk pulang. Dan akhirnya kuberikan dua bungkus kebab yang tadinya akan kuberikan pada Satria dan Elok padanya, karena kuyakin, Pram akan menahan Satria dan Elok di rumahnya. Aku segera mandi dan menyiapkan makan malam untukku sendiri. Kumasak bahan makanan seadanya yang tersedia di kulkas. Aku pun menikmati makan malamku seorang diri, untuk kesekian kali. Sepi. Rumah benar-benar sepi tanpa adanya Satria dan Elok. Meski aku bisa makan dengan tenang, tanpa harus direcoki oleh Elok yang masih harus kusiapi, namun aku lebih memilih direcoki oleh Elok sekarang. Kugelengkan kepala dan membuang jauh-jauh pemikiran buruk seandainya Pram nekat mengambil hak asuh Satria dan Elok. Kuputuskan untuk mempercepat makanku dan mulai mengerjakan hal-hal yang lebih bermanfaat dari sekadar melamun. Aku mencari-cari pekerjaan rumah yang bisa kukerjakan saat ini. Awalnya aku ingin menyetrika. Namun rupanya, Mbak Narti sudah menyetrika pakaianku dan anak-anak lebih dulu. Aku pun akhirnya membawa tumpukkan pakaian beraroma pelicin pakaian ke lantai dua untuk merapikannya ke dalam lemari. Selesai merapikan pakaianku dan anak-anak, aku merapikan kamar. Memilah beberapa alat make-up dan barang-barang yang sekiranya sudah terpakai lagi. Setelahnya, aku menuju lemari pakaian untuk merapikan baju-bajuku yang akhir-akhir ini tidak tertata rapi. Kususun pakaian sesuai jenisnya dan mengeluarkan pakaian yang sudah tidak pernah kupakai lagi agar tidak memenuhi lemari. Aku tertegun ketika mendapati barisan pakaian pesta yang berjajar rapi pada rak gantung. Pakaian itu semuanya dibelikan dan dipilihkan sendiri oleh Pram. Dulu kami memang kerap ke acara pesta kolega Pram atau keluarganya. Dan Pram membelikan pakaian pesta secara khusus agar aku bisa tampil lebih cantik. Kuraih gaun panjang berwarna marun yang ketika kupakai akan memamerkan kaki jenjangku. Ada getaran halus yang tiba-tiba saja menyelusup ke dadaku ketika menyentuh gaun berbahan satin ini. Karena gaun ini adalah salah satu gaun kesukaan Pram. “Aku suka sekali kalau kamu pakai gaun warna marun, Lin. Kamu terlihat seksi sekali.” Itu adalah sederet rayuan Pram ketika melihat diriku yang sudah berhias bersiap menuju pesta. Kutepuk pipi agar melupakan kenanganku dulu bersama Pram. Aku tidak boleh mengingatnya lagi, bukan? Aku harus mampu merelakannya, karena Pram sudah memiliki istri yang jauh lebih muda dariku. Aku tidak merasa minder dengan sosok Ayu. Secara sadar aku mengakui, aku tak kalah cantik dari istri baru Pram itu. Badanku masih langsing dan kulit putihku masih terawat cukup baik. Hanya saja memang setelah perpisahanku dengan Pram aku jarang merias diri, karena aku terlalu sibuk merawat anak-anak dan bekerja. Bahkan di dua bulan pertama perpisahanku dengan Pram, aku bahkan tak sempat memakai bedak karena terlalu stres tak kunjung mendapat pekerjaan. Suara langkah kaki yang tengah menaikki anak-anak tangga membuatku tersadar dari lamunan. Kusimpan kembali gaun yang telah membawaku ke masa lalu ke tempatnya semula. “Satria,” panggilku berjalan keluar kamar. Akan tetapi, yang kudapati bukan Satria. Melainkan Pram yang kini berada tepat di depan kamar yang dulu menjadi saksi bisu berbagai momen indah kami. “Kupikir Satria,” kataku menatap wajah datar Pram. “Anak-anak sudah tidur di rumah.” Pram memberitahu. “Ya sudah kalau begitu,” jawabku pasrah tak ingin memrotes tindakan Pram yang memboyong Satria dan Elok ke rumahnya, meski hari ini bukan jadwalnya mengasuh kedua bocah itu. “Aku ambilkan dulu pakaian dan tas sekolahnya.” Tanpa menunggu jawaban Pram, aku segera berbalik menuju kamar Satria dan Elok untuk mengambil perlengkapan sekolahnya. Tak membutuhkan waktu lama, aku sudah kembali di hadapan Pram yang masih berdiri di tempat semula. Kuserahkan perlengkapan sekolah kedua anak kami padanya. “Padahal kamu cukup chat aku saja, Pram. Aku bisa mengantar perlengkapan anak-anak ke rumah,” kataku. Karena sejujurnya aku merasa risi Pram terlalu sering memasuki rumah ini. Terlebih sekarang, hanya ada kami berdua di rumah ini. Aku tidak ingin tetangga maupun Ayu salah sangka pada kami. “Kenapa memangnya? Kamu nggak suka aku ke sini?” tanya Pram ketus. “Bukan begitu, Pram. Aku hanya nggak ingin tetangga maupun Ayu salah paham. Aku juga nggak mau nanti ada omongan yang tidak-tidak tentang aku. Ingat, Pram, statusku sekarang seorang janda, yang kadang bersikap baik pun, di mata mereka masih dianggap salah,” kataku menjelaskan dengan pelan. “Aku nggak peduli dengan omongan mereka,” jawab Pram terkesan masa bodoh, yang membuatku ingin rasanya menjewer telinganya. “Setidaknya kamu harus peduli dengan perasaan Ayu, Pram. Meskipun Ayu tidak pernah protes dengan seringnya kamu datang ke sini. Tapi aku yakin. Jauh di lubuk hatinya sana, dia memendam kekecewaan.” Pram tidak menjawab. Pria di hadapanku ini hanya menatapku dengan pandangan yang aku sendiri tak mampu mengartikannya. Setelah beberapa saat baik diriku dan Pram saling melempar kebisuan, Pram memutuskan berbalik lalu melangkah menuruni anak-anak tangga. Meninggalkanku dengan tanda tanya besar di kepala. Mengapa sikap Pram harus seperti ini? Sikapnya membuatku beranggapan jika pria itu belum sepenuhnya melupakanku sebagai istrinya. Buang pikiran itu jauh-jauh, Lin! Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD