Bab 5

1507 Words
Hari liburku kugunakan untuk bereksperimen membuat camilan basreng yang kuharap nantinya bisa kujual. Terinspirasi dari video yang tak sengaja kulihat dari salah satu platform video musik seminggu lalu, hari ini aku pun ingin membuatnya. Selagi anak-anak masih tinggal di rumah papanya, sehingga fokusku tidak terpecah. Aku tak ingin mempermasalahkan lagi mengenai Pram yang seenaknya melanggar jadwal pengasuhan Satria dan Elok. Seharusnya jatah Pram mengasuh anak-anak masih minggu depan. Namun karena ia kesal padaku, sehingga ia mengambil alih pengasuhan anak-anak untuk melampiaskan kekesalannya. Mungkin Pram berharap aku akan mengiba dan menerima saja uang pemberiannya. Tapi aku tak akan melakukannya. Aku tak akan mengemis bantuan pada pria yang telah merobek-robek hatiku. Aku tak sudi. Meski rumah benar-benar terasa sepi tanpa kehadiran Satria dan Elok. Kuhela napas sebelum kembali mengiris bakso ikan seukuran jari kelingking. Setelah bakso ikan selesai kuiris, kusiapkan penggorengan yang telah kuberi minyak. Lantas kunyalakan kompor dan menunggu minyak panas. Setelahnya baru kugoreng irisan bakso secara bertahap. Dua hari sebelumnya aku telah membeli cabai bubuk dan juga telah menggoreng irisan daun jeruk yang nantinya sebagai bumbu basreng. Hampir satu jam kemudian basreng pedas jeruk sudah selesai kubuat. Aku tersenyum penuh optimis ketika mencobanya. Rasanya tak kalah jauh dengan basreng yang beredar di pasaran sekarang. Sembari menunggu uap panas pada basreng berkurang, aku merapikan dapur. Mencuci peralatan masak yang baru saja kugunakan, dan menyimpan kembali wadah bumbu ke tempat semula. Ketika aku tengah beristirahat di meja makan sembari menikmati segelas jus sayur, terdengar seseorang mengucap salam dari arah depan rumah. Kujawab salam tersebut sembari berjalan ke pintu depan. “Teh Retna,” seruku mendapati sepupuku di depan rumah. Kupeluk Teh Retna yang selama ini menjadi tempatku mengadu. “Kangen,” kataku semakin memeluknya erat-erat. Padahal baru dua minggu kami tidak bertemu karena Teh Retna baru saja pulang ke kampung halaman suaminya di Yogyakarta. “Kangen kamu juga, Dek.” Teh Retna tersenyum dan membelai wajahku. “Kamu jadi bikin basreng?” tanyanya. Meski dua minggu kami tidak berjumpa, tetapi aku tak pernah absen bercerita padanya. Termasuk rencanaku yang ingin berjualan camilan. “Jadi, Teh. Baru saja selesai. Sekarang tinggal dibungkus,” jawabku penuh semangat. Aku pun menggandeng Teh Retna memasuki rumah. Perempuan berpenampilan modis ini membawakan banyak oleh-oleh untukku dan juga anak-anak berupa pakaian dan makanan khas dari kota yang terkenal dengan sebutan Kota Pelajar. “Kamu nggak makan apa gimana, Lin? Jadi kurus begini. Masa size M dikamu gombrong begini,” komentar Teh Retna ketika aku mencoba daster batik yang dibawakannya. “Memang dasternya yang ukurannya M besar, Teh. Aku mah, makan ya makan aja. Rugi amat nggak makan. Lapar tau,” sahutku berasalan. Memang semenjak berpisah dengan Pram porsi makanku semakin sedikit. Terlebih sejak seminggu lalu Satria dan Elok tinggal bersama papanya, aku bahkan hanya makan ketika di tempat kerja saja. “Nggak usah berasalan, Lin. Aku tahu kamu pasti kepikiran anak-anak yang sekarang tinggal sama si Pram berengsek itu, makanya kamu nggak berselera makan,” suara Teh Rina terdengar begitu nyaring dan cukup kencang. Aku khawatir Pram atau Ayu akan mendengar umpatannya pada pria itu. “Teh, pelan-pelang ngomongnya.” “Kenapa memangnya? Kamu takut sama si Pram kunyuk itu? Sini! Biar aku sunatin dia.” Teh Retna justru semakin menggebu memaki Pram. Teh Retna memang menjadi sosok paling vokal begitu tahu Pram berselingkuh. Lima bulan lalu, sehari setelah aku bercerita mengenai kedatangan Ayu, Teh Retna bahkan melabrak Pram dengan berbagai umpatannya. Hingga aku kuwalahan menghalau Teh Retna supaya tidak memukuli Pram berkali-kali. Beruntung Pram segera pergi dan sama sekali tidak membalas pukulan Retna. “Si Pram kunyuk ini sudah kelewatan, Lin. Dia yang berselingkuh tapi dia juga yang drama. Maksudnya apa coba ngajak tinggal si Ayu di rumah depan? Pasti dia ingin manas-manasin kamu kan? Ingin bikin sakit hati kamu lebih dalam lagi.” “Teh ….” “Dengar dulu.” Teh Retna ngotot tak ingin disela. “Kamu jangan mau diinjek terus-terusan sama si Kunyuk itu, Lin. Kalau memang kamu nggak betah tinggal di sini, ya pindah. Jangan hanya karna anak-anak, kamu mengorbankan perasaanmu. Meskipun seandainya Pram nekat mengambil alih hak asuk Satria dan Elok, aku yakin kedua anakmu itu akan tetap mencarimu begitu mereka besar. Pikirkan kesehatan mentalmu, Lin.” “Ada apa memangnya dengan kesehatan mental Lintang?” Entah kapan Pram memasuki rumah ini. Tiba-tiba saja Pram sudah berada di ruang makan dan menghunuskan tatapan tajamnya pada Teh Retna juga padaku. Aku hanya berharap, tak terjadi keributan setelah ini. “Kamu Pram, yang sudah merusak kesehatan mental sepupuku!” tuding Teh Retna tanpa ragu. “Kamu yang sudah merenggut masa muda Lintang. Menghancurkan mimpinya menjadi bidan ….” “Aku sudah minta maaf,” potong Pram cepat. Ia menatapku lekat. Jika tak salah terka, aku melihat masih ada sebuah penyesalan dalam manik hitam miliknya. Tapi entahlah. “Teh, sudah.” Erat kupegangi Teh Retna yang hendak memburu Pram. “Kamu pikir minta maaf saja cukup untuk mengobati sakit hati Lintang, Pram? Enggak sama sekali!” Teh Retna masih belum puas memuntahkan amarahnya. “Lepas, Lin. Aku mau kasih dia pelajaran lagi. Dasar si Kunyuk kegatelan.” Ia lantas meronta meminta dilepaskan. “Sini kamu, Pram!” Kulihat Pram menghela napas panjang sebelum berbicara. “Aku kemari bukan ingin ribut denganmu, Retna. Aku hanya ingin mengajak Lintang makan siang bersama. Satria dan Elok sudah menunggu di rumah,” kata Pram dengan pelan. Kuyakin mantan suamiku ini tengah menahan amarah. “Jangan mau, Lin. Buat apa kamu ke rumahnya. Paling itu hanya akal-akalan dia saja yang mau bikin kamu tambah sakit hati lagi.” Teh Retna jelas melarangku, namun kuabaikan. “Harus sekarang ya, Pram? Aku sedang lumayan sibuk soalnya.” Aku tak keberatan makan siang bersama Pram juga Ayu, karena anak-anakku juga di sana. Aku akan berusaha mengabaikan kemesraan Pram dan Ayu demi anak-anak tentunya. “Bukannya kamu libur hari ini?” Kening Pram berkerut ketika bertanya. “Lintang sedang buat camilan untuk dititip ke warung-warung kalau itu yang mau kamu tahu, Pram.” Teh Retna mendahuluiku menjawab. Tetap dengan intonasi tinggi yang sama sekali tidak ramah di pendengaran. Pram kembali menatapku dengan pandangan bertanya. “Iya, Pram. Aku hanya ingin waktu liburku nggak terbuang sia-sia, jadi aku buat camilan. Selagi anak-anak di rumahmu,” jelasku padanya. “Ya, sudah. Aku tunggu di rumah setengah jam lagi kalau begitu,” ucap Pram sebelum meninggalkan rumah ini. “Kamu kenapa nurut banget sama si Kunyuk itu sih, Lintang?” Teh Retna bertanya gemas. Aku sudah melepaskan cengkeramanku dari lenganya, dan mulai meloloskan daster yang baru saja kucoba. “Bukan nurut sama Pram, Teh. Tapi demi anak-anak,” kataku pelan. Ya, semua yang kulakukan memang untuk anak-anakku. Aku masih sanggup mengesampingkan rasa sakit hatiku, agar Satria dan Elok bisa tetap dekat dengan papanya. “Terserah kamu lah, Lin.” Teh Retna menyerah dan duduk kembali. Aku pun meyakinkan Teh Retna jika aku tidak akan terpuruk lagi, meski kerap melihat perlakuan manis Pram pada Ayu. Aku akan berusaha bangkit, bekerja semampuku demi bisa memberikan kehidupan yang layak pada Satria dan Elok di kemudian hari. Tak ingin membuat kedua buah hatiku menunggu, dengan dibantu Teh Retna, aku mulai mengemas basreng pada plastik khusus makanan. “Pokoknya kalau ada apa-apa kamu jangan sungkan cerita ke aku ya, Lin.” Teh Retna kembali mengingatkan. “Kamu harus kuat. Jangan cengeng. Dan jangan mau dikasihani sama si Kunyuk itu.” “Namanya Pram, Teh. Jangan begitu lah. Aku yang nggak enak sama Pram jadinya. Apalagi kalau sampai didengar anak-anak nanti.” “Iya, iya.” Kami pun berpisah begitu aku selesai mengemas basreng. Sekali lagi kupeluk kakak sepupuku sebelum dia benar-benar pulang ke rumah. Begitu mobil milik Teh Retna tak kelihatan lagi, aku kembali masuk ke dalam rumah. Kuambil dua bungkus basreng yang kukemas pada standing pouch dan beberapa oleh-oleh dari Teh Retna. Akan kuberikan ini untuk Ayu. Setelah mengunci pintu aku menyeberang jalan menuju rumah Pram. Komplek perumahan ini memang senantiasa sepi, baik saat hari kerja maupun hari libur. Jika saat hari kerja para penguninya sibuk bekerja, sedangkan hari libur biasanya mereka gunakan untuk bepergian dengan keluarga. Namun kekompakkan warga di sini masih patut diacungi jempol. Jika ada salah satu warga tengah sakit atau berduka. Para warganya dengan kompak menjenguk dan berbela sungkawa. Kuucapkan salam setelah menekan bel begitu berhadapan dengan pintu rumah Pram dan Ayu. Selanjutnya kudengar suara Satria dan Elok yang berlarian berebut ingin membukakan pintu untukku. “Mamaaaa.” Keduanya berseru dan berebut memelukku. “Oouh, Mama kangen banget sama kalian.” Aku berjongkok dan memeluk keduanya erat. Baru seminggu Satria dan Elok menginap di rumah papanya, dan aku sudah sangat merindukannya. Padahal setiap hari, ketika Satria dan Elok akan berangkat sekolah, aku masih sempat menciumi mereka. “Makanya Mama nginap di sini aja nanti. Papa aja boleh nginap di rumah Tante Ayu, masa Mama nggak boleh,” celetuk Elok dengan polosnya. Yang memberikan efek luar biasa bagiku, Ayu dan Pram yang berdiri di belakang Satria dan Elok. Hingga kami para orang dewasa memutuskan mengunci bibir. Sebelum akhirnya Satria yang memecah keheningan lebih dulu dan mengajak kami semua untuk segera menyantap makan siang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD