Bab 6

1312 Words
Setelah melewati makan siang dengan suasana yang begitu kaku, aku berpamitan pada anak-anak dan Ayu untuk pulang ke rumah. Aku sama sekali tak berkeinginan berpamitan pada Pram, karena malas jika harus berdebat lagi dengannya. Sejujurnya, ada beberapa hal yang ingin kubicarakan pada Ayu. Ini mengenai sikap Pram yang menurutku terlalu berlebihan padaku sebagai mantan istrinya. Bukan karena aku terlalu percaya diri, jika Pram masih menginginkanku. Tetapi aku memang masih merasakan, jika Pram benar-benar belum sepenuhnya melepasku. Dan aku hanya ingin meminta Ayu untuk lebih bisa mengontrol Pram. Bukan padaku saja. Tetapi pada perempuan lainnya. Aku memang sempat membenci Ayu. Tetapi setelah pengakuannya jika ia awalnya tidak mengetahui Pram sudah beristri. Pintu maafku pun terbuka untuk perempuan berusia dua puluh dua tahun itu. Karena Ayu tidak sepenuhnya salah. Justru Pram lah yang memiliki andil besar karena sempat menyembunyikan statusnya dari Ayu. Dan aku tidak ingin kisahku terulang pada Ayu. Cukup aku saja yang menjadi korban kebejadan Pram. Aku sudah masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu, ketika suara Satria dan Elok memanggilku. Akhirnya kubuka pintu kembali dan menemukan kedua anakku juga Pram berdiri di sana. “Mereka minta pulang,” beritahu Pram tanpa repot-repot aku bertanya lebih dulu. Aku hanya mengangguk dan membuka pintu lebih lebar agar mereka leluasa masuk. Maksudku Satria dan Elok. “Bilang apa sama Papa, karena udah jagain Satria dan Elok?” tanyaku begitu Satria dan Elok sudah berdiri di samping kanan kiriku. “Terima kasih, Papa,” ucap mereka bersamaan. “Sama-sama, Sayang,” jawab Pram membelai rambut kedua buah hati kami dengan kedua telapak tangannya yang membuat tubuh kami menjadi lebih dekat. Samar, aku bisa mencium wangi parfumnya yang masih sama seperti saat dia masih menjadi suamiku. Parfum keluaran Dior yang kala itu menjadi kado ulang tahunnya dariku. Aku mencoba mengenyahkan pemikiran betapa menggiurkannya tubuh Pram ketika ia baru saja selesai mandi. Aku tak ingin terus menerus terlena dalam arus perasaan yang kini tak seharusnya ada. “Kamu sebaiknya pulang, Pram,” usirku ketika mendapati Pram seperti tak ada niatan ingin meninggalkan rumah ini. Namun Pram tak mengindahkan perkataanku. Ia justru menuntun anak-anak ke kamar. Kamar yang menjadi saksi betapa bergeloranya hasrat kami dulu. Lupakan, Lin, lupakan! Sekarang, kamar yang memiliki ukuran paling besar di rumah ini tersebut, menjadi kamar tidurku dan anak-anak. Aku berdiri di ambang pintu menyaksikan Pram yang mengomando anak-anak untuk mencuci kaki sebelum menuntun keduanya menaiki tempat tidur dan memimpin doa sebelum tidur. Sekarang memang jadwal tidur siang Satria dan Elok. Dan tanpa sadar air mataku menetes menyaksikan pemandangan di depan sana. Terlepas dari kesalahannya yang telah mengkhianati pernikahan kami, Pram adalah sosok ayah yang luar biasa. Aku tak bisa menampik fakta itu. Dan menjadi semakin tak tega jika harus membawa anak-anak pergi jauh dari ayah kandungnya. Kuputuskan untuk turun ke dapur karena tak ingin terpergok tengah menangis oleh Pram. Mencari kesibukkan, kuputuskan untuk memasukkan piring-piring yang telah ditiriskan usai dicuci ke dalam lemari penyimpanan. Beberapa menit tak terdengar suara apapun, hingga akhirnya aku mendengar langkah kaki Pram yang menuruni tangga. Aku memutuskan bergeming dan berharap Pram segera meninggalkan rumah ini. Namun harapanku sepertinya tidak terkabul. Karena selanjutnya indera penciumanku kembali menghidu wangi parfum Pram. Kupegang erat piring yang tengah kugenggam sejak tadi. Aku mencoba bernapas senormal mungkin. Tujuh setengah tahun, mungkin bukan waktu terlalu lama, tapi juga bukan waktu singkat dalam menjalani sebuah pernikahan. Terlebih sebelum aku menerima pinangan Pram, kami sudah berpacaran lebih dulu selama dua tahun. Jika digabungkan, itu artinya aku sudah mengenal Pram hampir sepuluh tahun lamanya. Untuk aku sendiri, waktu satu dekade sangat cukup untuk membuatku mencintai seseorang seutuhnya. Sayangnya di sini, hanya aku yang mencintai sempurna. Karena Pram tidak. “Lin.” Pram memanggilku. Aku tahu dia sudah berdiri begitu dekat di belakangku, dan itu membuatku takut. Aku takut hanyut. Hanyut oleh perasaan yang tak seharusnya masih kusimpan untuknya. “Pergi, Pram!” usirku dengan suara pelan dan bergetar. Aku ingin menangis rasanya. Menangisi ketidakmampuanku pergi dari sini. Jika aku pergi tentu Pram tidak akan seenaknya memasuki rumah yang kutempati seperti sekarang. “Aku hanya ingin bicara.” Pram kembali berbicara. Suaranya pelan tanpa ada emosi di dalamnya. Namun aku tidak bisa melihat bagaimana air mukanya, karena aku masih setia memunggungi. “Kamu bisa kirim pesan begitu sampai di rumah, Pram. Tolong jaga perasaan Ayu. Dia pasti cemburu kamu sering mengunjungi rumah ini.” “Aku ke rumah ini untuk mengunjungi anak-anakku.” Pram berdalih. Mungkin ini yang dulu sering dia lakukan. Berbohong ada urusan pekerjaan demi bisa menemui Ayu. Apakah sekarang dia juga tengah berbohong pada Ayu demi bisa berbicaraku dengan berasalan menemani anak-anak? Lintang, jangan mengada-ada! “Anak-anak sudah berada di kamar dan mungkin sekarang sudah tidur. Jadi sebaiknya kamu pulang, Pram.” Lagi-lagi entah mengapa suaraku terdengar bergetar. Aku bahkan sudah menghentikan kegiatanku merapikan peralatan makan ke dalam lemari penyimpanan. Kudengar Pram menghela napas dalam, lalu kembali berbicara, “kamu nggak seharusnya berjualan camilan untuk menambah pendapatanmu, Lin. Aku masih sanggup dan bersedia memberikanmu uang ….” Seketika aku membalikkan badan mendengar kalimat Pram. Apa katanya tadi? Dia masih sanggup dan bersedia memberiku uang? Pram memang benar-benar gila! “Pram, aku capek terus menerus membahas masalah uang dan uang denganmu. Tolong, biarkan aku melakukan apapun yang ingin kulakukan. Jangan campuri lagi kehidupanku, karena kita sudah bukan suami istri lagi.” “Kamu yang membuat semuanya jadi begini, Lin! Kamu yang lebih dulu menggugat cerai aku,” sahut Pram menaikkan volume suaranya. “Hari di mana ketika aku tahu telah berbuat hal terlarang dengan Ayu, aku kecewa pada diri sendiri. Aku mengaku salah. Sejak awal, aku nggak menginginkan perceraian ini. Kamu yang bersikeras ingin kita berpisah, meski aku sudah berulang kali memohon ampun padamu.” Seketika, tawaku mengudara begitu mendengar sederet kalimat Pram yang justru menyalahkanku atas perpisahan kami. Benar kata Teh Retna, Pram berdrama. Berperan seolah dirinya yang tersakiti atas perpisahan kami. Padahal ia sendiri yang membuat segalanya menjadi begini. Dia yang sudah merusak janji pernikahan kami. Menghancurkan tidak hanya hatiku, tapi juga hati kedua orang tuaku dan anak-anak. Dia memang mengaku salah dan berkali-kali meminta pengampunan dariku setelah kunjungan Ayu ke rumah ini. Aku masih ingat dengan jelas Pram bersujud di kakiku sembari menangis. Namun aku dengan dukungan penuh dari keluargaku, memutuskan untuk menggugat cerai Pram. Dan saat persidangan, Pram sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Hal itu memuluskan jalanku untuk berpisah dengannya. Gugatanku diterima Majelis Hakim dengan kealpaan Pram dalam persidangan. Kuhunuskan tatapan tajamku padanya. Pram pun demikian. Bahkan pria di depanku ini terlihat sekali ingin memuntahkan amarahnya padaku. Padahal Pram tidak memiliki hak untuk marah padaku. Semua ini salahnya. Andai dia bisa mengontrol nafsunya, maka Ayu tidak akan mengandung benihnya. “Dengar ya, Pram!” kataku dengan nada penuh peringatan. “Kalau kamu terus-terusan datang ke rumah ini dan mengganggu kehidupanku, aku dan anak-anak akan pindah dari ini,” ancamku kemudian. “Silakan. Selanjutnya, aku hanya butuh waktu satu bulan untuk merebut hak asuh anak-anak dari tanganmu.” Tentu saja Pram tidak ingin kalah denganku jika menyangkut tentang Satria dan Elok. Aku. Aku jelas sedikit gentar dengan ancamannya. Kehilangan hak asuh Satria dan Elok bagiku adalah sebuah mimpi buruk. Tetapi, demi menghindari pria di depanku ini, dan juga demi menghapus segala perasaan yang kupunya pada Pram, aku akan berusaha menerimanya. Meski sulit. Namun benar kata Teh Retna, anak-anakku tidak mungkin melupakanku begitu saja, meski mereka nantinya diasuh oleh Pram. “Silakan, Pram. Aku tidak peduli,” jawabku berusaha mengontrol suaraku agar tidak terdengar ragu-ragu. “Aku yakin, jika nantinya hak asuh Satria dan Elok jatuh ketanganmu, ketika mereka besar nanti, dengan sendirinya mereka akan mencariku.” Setelah mengatakan itu, kulajukan tungkai berniat untuk meninggalkan area dapur. Namun langkahku tertahan beberapa saat oleh kalimat Pram selanjutnya. “Aku masih mencintaimu, Lin,” ucap Pram pelan. Namun sangat berhasil membuatku menahan napas sepersekian detik. Bukan karena aku berbunga-bungan akan pengakuannya. Namun aku justru terpikir tentang Ayu. Dasar Pram bodoh. Makiku dalam hati. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD