II: Wawancara

1064 Words
II: Wawancara “Kapan terakhir kali kamu bertemu dengan Dena?” tanya seorang di balik meja di depan Adisti yang sekarang duduk dengan sedikit tidak nyaman. Adisti sebenarnya tidak tahu kenapa dirinya masuk ke ruangan ini untuk di introgasi oleh beberapa orang yang mengenal hukum. Adisti sendiri sebenarnya hanya lewat ke kampusnya setelah kampusnya membiarkan anak – anka semua fakultas untuk ebraktifitas bebas di luar kampus. Setelah Adisti terdiam cukup lama di depan gerbang fakultasnya, Adisti menerima pesan bahwa dia harus datang ke kampusnya untuk menjadi saksi yang bisa dianggap saksi kunci karena Adisti adalah orang terakhir bertemu dengan Dena sore kemarin sebelum paginya Dena dinyatakan meninggal dan menggantungkan dirinya di pohon tepat di kelas yang akan Adisti masuki hari itu. “Kamu dekat dengan Dena?” tanya orang yang sama untuk Adisti yang tidak mengerti harus menjawab apa. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Adisti ceritakan kepada mereka yang sekarang menatap Adisti dengan tatapan menunggu jawaban. Seakan jawaban Adisti sangat penting untuk penyeledikan yang diinginkan oleh orang tua Dena karena tidak mempercayai bahwa Dena itu bunuh diri dengan keinginanannya. Menurut orang tua dari Dena, Dena tidak mungkin melakukan hal itu. Semanja – manjanya Dena, orang tuanya tidak pernah mengeluh dengan alasan yang diberikan Dena ketika emminta uang ataupun pulang malam. Dena bukan orang yang nakal. Itu Dena di mata orang tuanya. Berbeda dengan Dena dimata anak – anak kampus. Apalagi di mata Adisti yang bahkan cukup membenci Dena karena perilakunya yang kurang pantas untk ada di kampus ini. Kampus yang terkenal dengan semua hal baik di fakultas ekonomi dan ilmu komunikasi ini adalah contoh untuk fakultas lain di kampusnya. Mungkin memang tidak disangka adanya kasus ini di fakutas terbaik di kampusnya ini. Hanya saja, ini memang baru. Tidak ada yang pernah mengalami kejadian ini selama fakultas ini berdiri. Adisti bisa dikatakan dekat dengan Dena karena Dena yang sering menggandengnya dengan paksa dan menariknya dengan paksa jika ada yang diinginkan olehnya. Banyak hal yang Dena berikan untuk Adisti. Namun, semuanya hanya untuk kesenangan sebelah pihak. Bukan dan tidak ada kesenangan sama sekali untuk Adisti. Dena sangat bergaul dengan teman sebayanya bernama Gita dan Dhanti. Mereka seumuran di angkatan yang sama dengan Dena. Adisti sendiri tidak ingin mengetahui bagaimana mereka bisa berteman. Namun, banyak yang mengatakan bahwa Gita dan Dhanti hanya memanfaatkan Dena sebagai bank berjalan. Sangat mudah untuk menginginkan baju dan tas yang bermerk dan tentu saja mahal. Dena bisa membeli semuanya. Orang tua Dena sangat membebaskan Dena dari segi keuangan dan pergaulan. Maka dari itu, Gita dan Dhanti sangat betah untuk bersama Dena. Lebih dalam mengenal Dena. Dena adalah ketua dari perkumpulan yang entah apa menyebutnya, yang Adisti tahu adalah Dena adalah otak dari segala macam bentuk periksakan dan juga pembullyan di kampus ini, khususnya, fakultas ilmu komunikasi. Lalu bertemu dengan Dhanti dan juga Gita di saat Dena menginginkan orang yang banyak berfikir rencana apa yang pantas untuk target berikutnya. Adisti adalah satu dari sekian banyak orang yang pernah dipaksa untuk datang ke perkumpulannya. Bukan nyaman yang dirasakan Adisti. Semuanya bagaikan siksaan. Adisti masih ingat bagaimana detail mereka mulai membully Adisti sebagai bentuk ‘pertemanan’ menurut Dena dan dua lainnya. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * -Flashback- Awal Dena mengenal Adisti adalah saat Adisti menunduk di kantin untuk membersihkan minuman yang tumpah di bawah meja. Saat itu, Dena sangat bersenang – senang menertawakan kejadian lucu yang di dapatnya dari target sebelumnya. Dena sendiri berjalan mundur sehingga tidak melihat Adisti di bawah sana dan menabrak Adisti sehingga dia jatuh terlentang di tengah kantin yang saat itu sedang ramai dengan orang – orang yang sedang beristirahat. Dua – duanya mengaduh. Adisti juga ikut terjatuh karena terdorong oleh Dena. Sedangkan Dena terjatuh dengan posisi terlentang dan di lihat oleh banyak mata di sana. Tidak ada yang berani menertawai apa yang sedang terjadi. Semua orang bungkam dan berpura – pura untuk tidak melihat apa yang sedang terjadi walaupun sebenarnya sudah banyak yang mengabadikan moment itu untuk mempermalukan Dena. Tetap saja, mereka yang ada di sana berniat untuk tidak berhubungan dengan Dena yang sudah terkenal sebagai senior yang bahkan tidak mengenal rasa kasihan. Banyak orang yang sudah pernah di bully dan tidak pernah ingin berurusan dengan Dena lagi. Jika Dena membutuhkan orang dan dia menunjuknya, maka orang yang ditunjuknya harus dan wajib mengikuti perintahnya. Tidak adil? Jelas tidak. Namun, dengan uang dari ayahnya, Dena pantas dan bisa melakukan hal itu sesukanya. Walaupn ada yang melawan dan berakhir untuk menyingkir dari hadapan Dena setelah masa pembullyan itu selesai. “Wah, lo gapapa, Den?” tanya Dhanti pelan. Selanjutnya dengan cepat Dena beranjak dari sana di susul oleh Adisti yang masih meringis merasakan tulang ekornya sedikit ngilu. “Lo ngapain sih di sana?!” tanya Dena dengan membentak. Adisti memdesah, “gue lagi bersiin minuman yang tumpah, kak.” Jawab Adisti pelan sedikit takut. Waktu itu sudah jelas Adisti tahu siapa yang sedang berhadapan dengannya. Seorang Dena yang mungkin seharusnya tidak berurusan dengannya. Namun, jika sudah seperti ini, mungkin yang lebih baik adalah Adisti meminta maaf dan melakukan apa saja untuk Dena. “Lo mau tanggung jawab kalo kepala Dena kena lantai terus gegar otak?!” ucap orang di samping kanan dari Dena. Adisti tentu saja mengenal siapa orang itu. Ghita. Orang yang biasanya paling encer dalam merencanakan pembullyan apa yang cocok untuk orang yang bahkan baru saja di lihat oleh dia. “Maaf kak.” Kata Adisti lebih pelan dari tadi. Tangannya memelintirr bagian baju kemeja di depan tubuhnya, Gugup tentu saja. Adisti tentu saja lebih memilih untuk tetap diam harusnya jika minuman tumpahnya membasahi lantai itu. Namun, rasa tanggung jawab Adisti lebih besar daripada rasa cueknya. Adisti hanya berniat untuk membantu pekerjaan pekerja di kantin. Dia membawa lap pel dan hanya mendapatkan lap tangan yang bisa digunkan untuk mengelap lantai biasanya. Adisti hanya tidak ingin orang terpeleset karena lantai basah itu. Namun sekarang rasanya makin rumit. Jika tahu akan begini apda akhirnya, Adisti akan bersikap cuek tadinya. “Kalau sampai ada orang yang mempermalukan gue, lo yang harus tanggung jawab.” Kata Dena pelan namun penuh dengan tekanan kemudian pergi sambil mebersihkan baju. Adisti hanya bisa mengangguk kecil, “gue usahakan, kak.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD