III: Awal
“Sialan anak itu.” Kata Dena menatap madding yang ada di fakultasnya.
Ada foto – foto Dena yang sedang trelentang di lantai kotor dan juga bajunya tidak enak dipandan. Posisinya juga memalukan. Hampir mengangkangg karena paha dan kaki lainnya ada di atas kepala Adisti.
Tentu saja waktu itu Dena pergi dengan mecak – mecak dan bersungut – sungut mengomeli Adisti sepanjang jalan menuju loker untuk emmbawa baju ganti.
“Lo ga akan biarin dia gitu aja, ‘kan, Den?” tanya Dhanti yang sudah gatal untuk membalas apa yang sudah diperbuat oleh Adisti kepada baju Dena.
Dena tersenyum sinis, “lo pernah ngeliat gue ngebebasin anak kayak begituan?” tanya balik seorang Dena untuk Dhanti, “gue agak ga nyaman aja pake baju basah ini. Gue bakal pikirin cara yang cocok untuk ngebalas orang itu.” Lanjut Dena.
Perkataan Dena kemarin itu bagaikan bongkahan kayu yang dengan sulutan api kecil saja bisa terbakar.
Pada akhirnya, hari ini, sulutan itu ada. Banyak foto – foto dirinya yang tertempel di madding fakultasnya. Tentu saja, membuat Dena terbakar emosi.
“Jika bukan karena dia, mungkin foto lo ga mungkin ada di sini.” Kata Gita yang makin meyulut api untuk Dena.
Tangan Dena dan tangan Gita mengambil satu persatu foto yang ada di madiing. Semua orang mundur begitu Dena mengatakan minggir. Orang – orang yang tadi mengerumuni madiing itu perlahan eprgi dari sana.
Tidak mau berurusan dengan seorang Dena. Apalagi ini adalah aib untuk seorang Dena. Mereka tidak ingin mengambil resikonya. Mungkin saja Dena akan menargetkan diri mereka karena melihat foto itu dan menertawainya.
“Kali ini mungkin lo harus lebih keras sama orang kayakn orang ini.” Ucap Gita lagi mengompori Dena.
Dena mengangguk, “tentu saja.” Katanya, “gue bakal liatin bahwa dia berurusan sama orang yang salah.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Adisti adalah orang yang cukup pendiam sebenarnya. Tidak banyak yang mengenal dirinya. Di kampusnya, Adisti hanya dikenal sebagai orang yang pintar dalam segi teori dan tidak terlalu baik di kasus praktek. Padahal, dalam ilmu komunikasi sangat diharuskan untuk bisa menguasai beberapa ilmu.
Misalkan ilmu dalam berkomunikasi sesame murid yang lain. Berbicara di depan smeua orang bukanlah Adisti. Dia selalu saja tidak bernai tampil sendiri dan tidak bisa untuk berbicara di depan banyak orang.
Belum terlatih, Adisti masih harus berlatih dengan hal – hal seperti itu. Padahal, Adisti sudah sangat percaya diri untuk melakukan apapun itu di depan cermin. Namun, semuanya gagal jika Adisti menatap mata orang – orang yang menatapnya.
Seakan semua orang seperti menerkamnya dalam satu rangkulan. Adisti tidak bisa melakukannya jika dia hanya berdiri sendiri di hadapan banyak psang mata di kelasnya. Untuk yang satu itu, Adisti tidak menguasainya.
Adisti ini terkesan seperti orang yang bahkan tidak ingin menunjukkan apapun di dalam dirinya. Adisti hanya ingin belajar, lulus dengan mendapatkan nilai baik dan tidak terlalu tinggi. Lalu bekerja dengan baik tanpa harus banyak bicara banyak.
Ayahnya pernah berpesan jika Adisti harus menghindari masalah setidaknya jika ia tidak bisa menjadi yang terbaik di kelas. Ayahnya pernah berkata, “jika tidak terlalu pintar bukan masalah, namun jika sudah tidak pintar dan menjalani hiudp yang tidak baik, maka itu adalah masalahnya.”
Dari sana, Adisti lebih sering mengindari masalah. Tidak ikut campur dalam urusan apapun yang melibatkan orang lain dan tentu saja menghindari masalah bukan berate masalah tidak selalu sepi dalam kehidupannya.
Masalah yang awal dirasakan oleh Adisti adalah ditinggalkan kedua orang tuanya. Adisti sekarang tinggal bersama orang tua dari ayah dan ibunya dulu. Dengan kata lain, Adisti menumpang di tempat nenek dan kakeknya.
Sudah tidak pernah merepotkan hal mengenai sekolah adalah hal terbaik untuk Adisti. Maka dari itu, Adisti tidak ingin mebuat nenek dan kakeknya dalam masalah, maka dari itu, Adisti benar – benar tidak ingin mengalami masalah yang lain lagi.
Dia tinggal di salah satu rumah di Kawasan yang tidak terlalu megah di pusat kota Jakarta, tinggal bersama kakek dan neneknya. Kakeknya seorang pekerja keras dulunya, sekarang kakeknya masih terlihat bugar dan masih terus mengajar di salah satu universitas yang ada di Jakarta. Sedangkan neneknya selalu ada di rumah.
Selain kakeknya yang seorang pekerja keras, neneknya juga adalah salah satu orang tertegas di keluarga Adisti. Setiap harinya, nenek Adisti selalu mengulang apa yang sudah diperbuatnya kemarin. Jadwal makan pagi, siang/sore dan malam sudah terjadwal dengan baik. Beberapa orang di sekitar neneknya itu sudah terbiasa dengan management waktu yang neneknya buat. Termasuk Adisti.
Orang tua Adisti meninggalkan dirinya ketika Adisti masih berseragam putih dengan rok merah dan dasi panjang sampai ke pusat perutnya. Kemudian sepatu masih hitam dan rambutnya terikat dua yang sangat manis dan lucu. Adisti sendiri sekarang sudah dewasa. Tidak ada masalah selama ini. Adisti benar-benar ingin belajar dengan baik seperti kakeknya.
Nilai yang rendah tidak pernah Adisti dapatkan, hanya saja nilai Adisti juga tidak terlalu jauh dari standar nilai di kampusnya. Itu sudah Adisti usahakan tidak sampai turun dan tentu saja harus naik signifikan.
“Dis, sarapan.”
Setiap pagi, setelah Adisti mandi dan berseragam kampus menengah atas itulah yang terdengar sambil membunyikan pintu kamarnya. Di ketuk dengan lembut.
“Iya, nek.”
Berbicara tentang pagi-pagi seperti ini, Adisti jadi ingat hari menyeramkan itu terjadi pagi-pagi sekali. Saat Adisti masih tidur dan dibangunkan dengan suara ribut di rumahnya yang dulu. Adisti terbangun ketika berada di gendongan pamannya. Dia lantas bertanya pada pamannya, apa yang sedang terjadi. Namun, pamannya saat itu hanya menguatkan diri dan mengusap punggung kecil Adisti.
“Mama sama Papa kecelakaan. Disti tunggu di sini sama kakek dan nenek dulu. Paman bakal segera jemput Disti lagi.”
Adisti yang tidak mengerti apa-apa saat itu mengangguk. Ketika mendengar kedua orang tuanya kecelakaan, Adisti mengira bahwa kecelakaannya kecil dan tidak akan sampai membuat Mama dan Papanya pergi untuk selamanya.
Pagi harinya, waktunya sarapan dan berangkat ke kampus, Adisti melihat neneknya yang tersenyum pilu kepadanya. Kemudian beringsut memeluk Adisti dan tersedu di bahu Adisti.
“Disti tinggal sama nenek aja. Kalo kangen Mama sama Papa bilang.”
Dari sana, Adisti benar-benar tidak mengatakan apa-apa. Pikirannya penuh dengan memory yang bahkan tidak banyak tentang mama dan papanya itu.