IV: Adisti Sekarang
Sampai saat ini, Adisti masih ingat. Sangat ingat apa yang terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Adisti masih sering dibayang-bayangi kejadian itu. Namun, setelah dirinya beranjak dewasa bayangan itu memudar. Walau sekali-kali Adisti selalu teringat akan detail kejadian pagi hari itu.
“Makan yang banyak, jangan belajar terus. Otakmu itu udah ngebul.” Kata Neneknya begitu Adisti sampai di meja untuk makan bersama.
Adisti lantas mengangguk kemudian tersenyum, “nenek juga makan yang banyak, biar jadi gendut lagi.”
Kakeknya yang sedari tadi diam hanya tertawa mendengar guyonan dari dua orang wanita yang dia punya di dunia ini sekarang. Kakeknya sangat berwibawa. Tidak ada yang berani menegurnya kecuali Adisti sekarang ketika kakeknya salah. Kakeknya juga sering mengomel jika wibawanya akan hilang ketika bersama Adisti.
Sebenernya, Adisti tidak berniat utnuk menghilangkan kewibawaan seorang kakeknya itu. Hanya saja Adisti tidak suka sesuatu yang terlalu sempurna. Kakeknya yang pada awalnya menuntut Adisti harus juara kini tidak ada lagi. Adisti menjelaskan jika papa dan mamanya sudah menjelaskan hal tentang nilai.
‘Tidak terlalu pintar tidak masalah bagi dunia, namun juka sudah tidak pintar dan banyak masalah, itulah yang tidak baik untuk dunia.’
Adisti tentu saja bukan orang yang gemar mengumpulkan nilai yang bagus di kampusnya. Adisti sendiri bukan orang yang harus sempurna di kehidupannya. Cukup untuk tidak mendapat masalah selama hidupnya, Adisti cukup bahagia dengan hal itu. Setidaknya, janji dirinya akan menjadi orang baik di kehidupan ini sudah terlaksana.
Kampusnya berjalan lancar-lancar saja. Setiap harinya, Adisti pulang dengan perasaan senang dan tidak ada masalah di harinya. Adisti cenderung untuk tetap berusaha menjadi yang terbaik. Selalu menjadi orang yang baru dan lebih baik lagi setiap harinya.
“Gimana kampus hari ini, Dis?”
Tentu saja pertanyaan itu membuat harinya semakin lengkap. Tidak banyak yang perlu di utarakan. Namun, rasanya lengkap saja jika sore hari di meja makan dan bersiap untuk makan neneknya bertanya demikian. Selalu. Setiap hari dan tidak pernah terlewat barang satu haripun.
Adisti tersenyum kemudian mengangguk, “cukup baik dari kemarin. Aku mendapat beberapa nilai yang bagus untuk kuis dadakan yang diadakan oleh dosen matematika. Tidak terlalu buruk.”
Neneknya ikut tersenyum menatap Adisti yang lambat laun sudah bisa bersikap dewasa untuk kehidupannya.
“Bagus, kamu melakukannya dengan baik.”
Kehidupannya benar-benar sempurna. Walau tanpa ibu dan ayah, Adisti merasa lengkap. Ada nenek dan kakeknya yang menggantikan kedua orang tua Adisti dari kecil. Adisti juga jarang mengeluh. Terkadang, Adisti mengeluh karena hidupnya tidak sama dengan hal-hal yang orang lain lakukan.
Dijemput ayah, di sayang ibu dan tentu saja kehangatan keluarga mereka lengkap karena ada ibu dan ayahnya. Kadang Adisti mengeluh kenapa ibu dan ayahnya cepat sekali untuk meninggalkannya. Adisti juga kadang bertanya apakah terlalu berat untuk hidup dengan Adisti sehingga ayah dan ibunya dengan cepat meninggalkan Adisti. Apa jadinya jika ibu dan ayahnya masih ada?
Mungkin kehangatan yang mereka semua ceritakan pada Adisti secara tidak langsung akan di dapatkan juga oleh Adisti. Mungkin jika orang tuanya masih hidup, Adisti menjadi orang dengan membanggakan kedua orang tuanya.
Namun, setelah menjalani hidupnya sampai sekarang, Adisti merasa itu saja sudah cukup. Adisti merasa semuanya sama lengkapnya walau hanya di temani kakek dan nenek dari kecil. Mereka bisa menjadi orang tua bagi Adisti dan itu cukup.
Rengekkan dan keluh kesah Adisti saat itu menghilang begitu saja ketika kakek dan neneknya membesarkan dirinya seperti membesarkan anak-anaknya sendiri. Adisti juga merasa jika kakek dan neneknya sangat menyayanginya.
“Kalo perlu apa-apa, kamu bisa bilang, Adisti.”
Kakeknya sebenarnya jarang sekali bicara dalam seperti itu. Namun, hari ini mungkin kakeknya mendapat satu masalah di kampusnya sehingga berbicara seperti itu pada Adisti.
Adisti mengangguk kemudian tersenyum, “aku akan menjauhi masalah masa-masa kampus. Aku tidak akan berbuat masalah.” Ucap Adisti, “aku akan mencoba untuk tidak membebani kalian lebih dari hidupku sekarang ini.”
Kakeknya itu mengangguk, “bagus. Jauhi masalah dan jadilah berguna.”
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Meskipun Adisti tahu jika di dunia ini tidak ada orang yang bisa menghindari masalah dalam hidupnya. Yang pasti Adisti berusaha untuk tidak terlibat dalam hal apapun yang bisa membuat dirinya kecewa sendiri karena mengingkari janji yang sudah ia ucapkan kepada kakek dan nenenknya waktu itu.
Setidaknya, Adisti sudah mencoba untuk tidak mendapatkan masalah di dalam hidupnya. Setidaknya, dia sudah mencoba. Meskipun masalah nantinya akan datang sendiri dan juga pergi begitu sudah di selesaikan dengan baik olehnya.
“Setidaknya berusaha dulu.” Kata Adisti dalam hatinya.
Tentu saja tekadnya yang bulat itu benar – benar berhasil membuat Adisti menghindari masalahnya sendiri. Terkadang juga Adisti merasa jika dirinya jahat untuk dirinya sendiri ataupun orang lain.
Rasa bersalah itu terkadang muncul ketika Adisti teringat kejadian dimana dirinya menyaksikan adanya kecelakaan yang melibatkan sepeda motor dan juga mobil. Supir dari mobil yang merasa tidak bersalah menghardik dan menghakimi si pesepeda motor itu dan mengatakan hal yang sangat tidak benar bagi Adisti.
Padahal dengan sangat jelas, di mata Adisti pengendara mobillah yang salah waktu itu. Namun, Adisti memilih terus berjalan tanpa perduli akan pertengkaran itu. Jika Adisti yang pasalnya tidak ingin ada masalah dikehidupannya terlibat dengan kecelakaan itu dan diminta menjadi saksi. Itulah masalah yang Adisti tidak ingin ikut campuri.
Biarkan saja. Toh menang atau tidak sang pesepeda motor atau bahkan pengendara mobil yang terus menerus menekan pesepeda motor itu dan memenangkan perdebatan, tidak menguntungkan sama sekali bagi Adisti.
Setidaknya itu sedikit mengibur dan mengubur rasa bersalah yang Adisti biasanya rasakan beberapa kali jika teringat kejadian semacam itu.
Setidaknya pula, Adisti adalah orang dan manusia biasa yang bisa merasa bersalah namun tidak bisa berbuat apa - apa lagi selain merutuki dirinya sendiri setelah lama melamun dan membayangkan kejadian yang baru saja terjadi. Adisti juga bukan orang yang sempurna tanpa rasa bersalah.
Ada kalanya sepeti itu.
Namun, sekali lagi. Apa yang bisa Adisti perbuat? Dia hanya menghindar dari masalah. Apakah salah?