V: MANUSIA BIASA

1106 Words
V: MANUSIA BIASA Kesalahan yang pernah dibuat oleh Adisti kepada Dena waktu itu sama sekali bukan masalah besar ketika Adisti sudah meinta maaf kepada Dena dengan iklas dalam hatinya. Namun, sayangnya, itu hanya menurut Adisti. Tidak dan bukan menurut Dena. Hari ini, Adisti ada jadwal mata kuliahyang di dalamnya ada Dena dan teman – temannya. Pada intinya Dena dan teman – temannya tidak lulus mata kuliah ini ketika ada di tingkatan yang sama dengan Adisti. Jadi, mereka mengulang mata kuliah ini untuk persyaratan kelulusan dan bisa wisuda nantinya. Mungin kesialan Adisti bertambah ketika Adisti benar – benar tidak ingin membuat masalah dengan Dena. Namun, dosennya ini seperti tidak menginginkan Adisti lulus dengan mudah. Dia satu kelompok dengan Dena dan teman – temannya. Entah kenapa, Adisti seperti mengetahui jika dosen itu snegaja menempatkan Adisti di lingkungan yang bahkan membuatnya tidak nyaman. Ada di lingkungan Dena dan teman – temannya itu benar – benar membuat Adisti tidak bisa berkutik apapun. Dalam hati Adisti, dia sedikit berteriak. Kenapa dia harus ada di lingkaran ini? Di lingkaran dan zona yang bahkan Adisti sendiri tidak ingin dengan sengaja masuk ke dalamnya. Ini adalah situasai yang tidak baik untuk Adisti. Sebaliknya. Untuk Dena dan teman – temannya ini justru kesempatan untuk mengerjai Adisti akibat kesalahannya waktu itu. “Hai, Dis.” Kata Dena dengan senyuman yang bahkan menurut Adisti seperti senyuman setaan, menyeringai seperti mendapatkan target untuk ditakut – takuti. “Mohon kerjasamanya, Dis.” Kata teman Dena yang Adisti kenal sebagai Dhanti. Adisti tersenyum canggung dan mengangguk ringan tanpa berbicara. Rambutnya dibelai sampai ke pundak oleh Dhanti, “jangan canggung seperti itu, lo buat kita – kita seakan satu – satunya yang senang satu kelompok sama lo.” Ucapnya lalu sedikit menekan pundak Adisti dengan sedikit keras. Lagi – lagi yang dilakukan Adisti hanya mengangguk dan tersenyum canggung. “Pulang sekolah mau ngerjain langsung?” kata Dena lalu menaik turunkan alisnya kepada Adisti menunggu persetujuan Adisti. Tapi belum juga Adisti setuju dengan apa yang sudah dikatakan Dena tiba – tiba Dena berdiri dari tempat duduknya. “Okay, temuin kita semua di taman belakang ya?” sahutnya kemudian. Adisti benar – benar menghela nafas dan bernafas dengan lega setelah kepergian Dena dan tentu saja mendesah pelan. Gawat. Dia sudah masuk ke dalam masalah di kehidupannya. Berada di lingkunagn Dena. Itulah masalahnya. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Taman belakang adalah tempat yang baisanya digunakan untuk orang – orang yang bahkan tidak tahu apa yang disebut biografi. Artinya adalah tempat ini biasanya digunakan untuk orang – orang yang tidak pergi untuk belajar di kampus. Tapi untuk beberapa kemungkinan berjalan – jlaan, bermain- main atau bahkan melakukan tindakan yang bahkan tidak pantas untuk usia mereka. Di Indonesia tentu saja. Jika di luar negeri. Umur tujuh belas tahun mungkin orang tuanya sudah mempebolehkan atau membekali anak – anak laki – laki atau perempuannya sebuah pengaman dan membiarkan mereka membuka auratnya dimana – mana. Di sini, kebiasaan seperti itu juga sudah terjadi. Beberapa orang membawa pengaman ke kampus. Bukan untuk praktek dalam pelajaran reprosuksii melainkan untuk kesenangannya sendiri. Setiap kali Adisti pergi ke sini, ah tidak, ini pertama kalinya dia pergi ke sini. Memasuki lebih dalam lorong menuju taman belakang. Selama ini, Adisti hanya mendengar dari orang – orang yang pernah ke sini atau bahkan pernah ‘bermain’ di sini. Sehutan – sahutan yang di dengar Adisti ketika berjalan di sana sangat membuat risih telinganya. Kerap sekali Adisti di tabrak orang – orang yang tengah bercumbuu mesra. Sampai tidak memperhatikan sekelilingnya. “Kenapa juga harus belajar di sini?” kata Adisti bermonolog. Dengusan keras dari Adisti sama sekali tidak mengganggu orang – orang di sekelilingnya. Mereka banar – benar menikmati masa – masa seperti ini. Adisti benar – benar ingin segera pergi dari sini apabila tidak melihat teman – temannya Dena yang melambaikan tangannya kepada Adisti. Selanjutnya yang dilakukan Adisti hanya melangkah pelan menuju ruangan yang tertutup di belakang teman – temannya Dena. “Sudah sampai?” kata Dhanti. Kemudian Adisti di rangkul oleh Gita dan berusaha membawanya duduk di bangku yang bahkan di sediakan di sana. Kosong. Mungkin sengaja dikosongkan karena Adisti akan datang ke sini. Setelah duduk belum lama di sana sendiri, Adisti dengan matanya melihat Dena yang keluar dari ruangan yang seperti dijaga tadi. Keluar dengan baju berantakan dan sedang membenarkan rok mini di atas lututnya. Jauh sekali diatas lutut. Bahkan jika menunggingg, mungkin saja celana dalamm milik Dena akan terlihat. Dia mengikat rambutnya lalu duduk di sebelah Adisti. Kursi yang ada di sana, yang sedang di duduki oleh Adisti adalah kursi kayu panjang yang mungkin bisa di duduki skeitar tiga orang. Adisti dan Dena ebrada di ujung kursi itu. Dena mengeluarkan sebatang dokok dari tasnya kemudian menyulutkan api ke sana. “Gue sebenernya ga berniat buat ngerjain tugas di sini.” Kata Dena, “bisa ga lo aja yang ngerjain?” tanya Dena kepada Adisti sambil menghembuskan asap rokoknya kepada Adisti yang ada di sebelahnya. Adisti mengipas – ngipaskan telapak tangannya di depan wajahnya untuk menghalau asap rokok yang berhembus ke wajahnya. “Tapi ini ‘kan tugas kelompok.” Kata Adisti pelan. Sebenarnya, Adisti memang ingin mengerjakannya sendiri. Namun, tugasnya sangat banyak. Mungkin jika berbagi sedikit dengan teman sekelompoknya, itu akan menjadi ringan. Dan kali ini, Adsiti salah menilai anggota kelompoknya yang lain. “Gue bayar lo deh.” Kata Dena dengan mendekatkan wajahnya ke wajah Adisti. Sangat jelas tercium oleh hidungnya Dena adalah orang yang benar – benar perokok aktif. Sampai – sampai hembusan nafas dari mulutnya, berbau rokok. “Oke.” Kata Adisti lalu pergi dari sana, “kalo gitu, aku pergi duluan.” Kata Adisti lalu pergi dari sana. Setelah kepergian Adisti, Dena menyesap lagi rokoknya kemudian menghembuskan lagi asapnya ke udara. Dia tersenyum. Dalam pikirannya bahwa dia akan lulus mata kuliah ini dengan mudah tentu saja. Ada Adisti yang bisa ia manfaatkan. “Setimpal dengan apa yang udah lo perbuat ke gus, Dis.” Kata Dena sebelum menyesap lagi rokoknya dan menghembuskan asapnya dengan tenang sambil tersenyum. Sedangkan Adisti. Pundaknya kini mulai berat. Belum lagi menyelesaikan tugasnya, namun, harinya sudah berat ketika bnayka sekali orang – orang mendesahh dan terus mendengar bunyi aneh sepanjang perjalanan tadi. Lari saja tidak banyak membantu tenyata. Rasanya lorong itu panjang sekali untuk Adisti. “Mereka ga punya modal buat ke hotel aja gitu?” tanya Adisti untuk dirinya sendiri setelah keluar dari lorong yang bisa dianggap terkutuk itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD