VI: TUGAS

1226 Words
VI: TUGAS Tidak ada yang menyangka bahwa Adisti akan mengerjakan tugas ini sendirian. Apalagi tugasnya cukup banyak dan harus di kumpulkan tiga hari lagi. Cukup memang. Hanya saja, Adisti tidak pernah menyangka. Lingkungan yang dibuat oleh Dena adalah lingkungan yang tidak baik menurut Adisti. Oleh karena itu, dia akan tetap duduk diam daripada mencari masalah yang lebih dari sekarang. Keesokan harinya, Adsiti masih terus mencari referensi diperpustakaan sendirian untuk tugasnya. Tugasnya memang tidak sulit hanya saja referensinya tidak mudah. Harus benar – benar dari jurnal dan harus mencari sumber yang tepat. Jika dilkaukan dengan orang – orang dalam kelompoknya mungkin saja jauh lebih mudah dan lebih menghemat waktunya. Lagi – lagi Adisti bertanya dalam hati apa yang bisa ia lakukan jika Sudha seperti ini. Masalahnya, Adisti tidak mungkin langsung meminta bantuan dari Dena. Dia saja tidak berani menatap Dena dengan matanya. Dia hanya bisa iya iya saja ketika Dena mengatakan satu hal yang bisa saja sulit untuk Adisti lakukan. “Dis?” Adisti mengangkat wajahnya ketika ada satu orang dan satu suara yang memanggilnya. Tidak terlalu percaya diri, hanya saja yang dilihat Adisti di sini adalah orang – orang yang cukup Adisti kenal karena sering berpapasan di perpustakaan. Berkenalan hanya sebatas mengetahui nama dan kelas, setelahnya tidak ada lagi obrolan. Mereka hanya saling mengangguk, tersenyum, menyapa dan selesai. Adisti juga merasa jika dirinya cukup merasa namanya agak sedikit langka. Maka dari itu, wajahnya ia tampakkan ke sumber suara yang didengar oleh telinganya tadi. Selanjutnya, benar saja. Ada yang memanggilnya. Gita. Anak buah dari Dena. “Ke – kenapa, kak?” tanya Adisti sedikit gugup. Setahu Adisti, orang ini dengan Dena dan juga kawan – kawannya jarang sekali ke perpustakaan. Atau bahkan Adisti sama sekali belum melihat mereka ke perpustakaan semenjak Adisti sering mengunjungi tempat ini. Gita tersenyum kecil dan duduk di bangku di depan Adisti, “ngerjain tugasnya nanti aja. Bisa ga lo ikut gue?” tanya Gita kemudian tangannya menutup buku yang sedang di buka oleh Adisti sejak tadi. Selanjutnya, Adisti diam menatap Gita. “Kemana kak?” tanyanya pelan. Dia benar – benar tidak ingin berurusan dengan orang – orang ini. Dia benar – benar tidak bisa mendekati masalah lagi setelah ada di dalam lingkungan Dena di salah satu mata kuliahnya. Dia juga tidak pernah ingin mendekati Dena jika bukan karena paksaan seperti tugas yang saat ini Adisti kerjakan. Tugas Adisti untuk kelompoknya juga belum selesai. Adisti ingin sekali mengerjakannya dengan cepat karena masih ada tugas mata kuliah lain yang menunggu untuk Adisti kerjakan. Tapi sekarang, kenyataannya, Adisti di tarik paksa oleh Gita. “Ikut ajalah.” Kata Gita sambil menarik tangan Adisti. Adisti buru – buru membereskan apa yang ada di mejanya dan mengikuti langkah Gita setelahnya. Lalu dia tidak pernah ditarik dengan keras oleh orang. Pergelangan tangannya sedikit sakit. Langkahnya berhenti ketika Gita menghentikan langkahnya di depan orang yang sekarang tengah menghadangnya. Adisti menatap orang itu kemudian mengingat apakah dia pernah bertemu dengannya atau tidak. Namun, ternyata Adisti yang hanya diam di kampus dan tidak pernah menonjolkan dirinya itu untuk siapa – siapa tapi cukup mengenal banyak orang di dalam diamnya. Namanya Rizal. Dia ada di fakultas akutansi. Tingkat tiga dan pernah berpacaran dengan Dena. Sampai saat ini, tidak ada yang tahu apa yang terjadi terhadap Rizal dan Dena sehingga mereka berdua di gosipkan putus. Tapi, yang Adisti tahu juga jika Dena masih saja mengejar Rizal yang mempunyai tatapan dingin kepada wanita – wanita di kampusnya. Mempunyai badan tinggi dan juga wajah sangat mempesona. Bentukkan wajahnya sangat sempurna jika bisa dikatakan tampan, ya, wajah Rizal adalah yang paling tepat untuk dikatakan tampan. Memiliki iris mata yang sangat menawan, hidung mancung dan bibir tipis yang sering sekali di rapatkan. Tidak banyak yang bisa mendengar suaranya, hanya beberapa orang yang pernah mendengarnya dengan kata – kata yang panjang dan kata – kata yang pedas juga dingin. Yang pasti, Adisti bukan orang yang pernah mengobrol dan mendengar langsung suara dari si dingin Rizal. “Zal?” sapa Gita. Rizal menatap Gita dengan tatapan yang tidak bisa dimengerti bahkan oleh Adisti yang kadang – kadang bisa membaca orang dari tatapannya. Adisti lebih banyak diam dan memperhatikannya. Dia bahkan tidak pernah bicara kepada orang yang membuatnya tidak nyaman. Termasuk teman – teman sekelasnya sendiri. Jika tidak nyaman, Adisti tidak pernah bicara. Dia hanya menunjukkan gesturenya dan juga berpendapat setelah semua orang membuat kesepakatan. Kebiasaan yang buruk. Namun, Adisti menyukainya dan melakukan hal itu dengan baik sampai saat ini. Seakan tahu pertanyaan di kepala Rizal, Gita meneruskan perkataannya, “gue mau ke tempatnya Dena, nih.” Kata Gita, “lo mau ikut ga?” tanya Gita. Rizal sebenarnya tidak ingin menjawab apa yang sudah ditanyaan oleh Gita. Hanya saja, Gita sedang membawa orang di belakangnya. Dengan cengraman yang cukup keras di pergelangan tangannya. “Sama dia?” Adisti benar- benar tidak percaya. Walaupun bukan berkata langsung kepadanya, ia berhasil mendengar suara Rizal tepat di depannya. Sangat jarang orang – orang yang beruntung mendengar suara Rizal. Terkadang, senyuam Rizal juga sangat langka. Walaupun sekarang – sekarang Rizal sering sekali menunjukkan senyumannya ketika mencetak gol di lapangan futsalnya. Gita menatap Adisti di sudut matanya, “iya, di suruh Dena.” Jawab Gita sambil tersenyum canggung. “Dia masih ngelakuin itu?” tanya Rizal lagi untuk Gita. Sebenarnya, ada beberapa point yang bisa diartikan dari kata ‘itu’ yang ada di dalam kalimat Rizal. Pertama, itu adalah hal yang baru saja dilihat Adisti kemarin a . k . a . ‘mesuum’ dalam tanda kutip. Kedua, mempekerjakan orang, dan yang terakhir adalah pembullyaan kepada orang – orang yang lemah. Salah satu targetnya mungkin saja Adisti sendiri. Jujur saja, Adisti sendiri adalah orang yang paling bisa dikatakan menjadi sasaran empuk untuk point terakhir. Dimana Adisti pernah membuat permasalahan yang bahkan masih diingat dengan jelas jika Dena yang jatuh di kantin. Bukan kesalahannya murni. Jadi Adisti merasa bahwa dia tidak seratus persen salah. Mungkin sekitar lima puluh lima persen? Masih banyak. Hanya saja, resikonya tidak akan seburuk itu juga kali. Gita tersenyum canggung, “enggak kok.” Kata Gita, “kita satu kelompok buat satu mata kuliah. Dia adalah orang yang paling pinter di kelompok Dena, jadi Dena minta bantuan dia buat ngerjain tugasnya.” Kata Gita. Sebagian dari Gita adalah hal yang benar. Namun, kenapa hanya Dena yang disebut? Kenapa Gita tidak mengatakan ‘kami’ atau ‘kita’ yang minta bantuan kepada Adisti untuk mengerjakan tugas itu. Rizal kemudian menatap Adisti yang tidak menatapnya. Adisti masih sibuk dengan pikirannya sehingga tidak tahu bahwa Rizal ini memperhatikan dari bawah sampai atas tubuh Adisti. “Iya ‘kan, Dis?” tanya Gita kepada Adisti sambil menggerakkan tangannya untuk membuat Adisti sadar jika dia tengah diperhatikan Rizal sekarang. Adisti yang merasakan goyangan dilengannya kini menatap ke depan. Dimana mata Rizal dan matanya bertemu. Cukup lama sampai Adisti mengangguk dan mengatakan ‘iya’ dengan suara yang sangat buruk keluar dari mulutnya. Cukup memalukan tapi itu bukan masalah untuk Adisti. Yang menjadi masalah adalah kini Rizal masih menatapnya lalu mengangguk, “jangan macem – macem lagi.” Katanya lalu matanya menatap Gita di samping depan Adisti. Gita kemudian mengangguk dan menatap kepergian Rizal yang melewatinya. Dia menghembuskan nafasnya seperti merasa lega akan satu hal yang tidak Adisti mengerti. “Kita telat.” Kata Gita kemudian melangkahkan lagi kakinya dengan cepat sambil menuntun Adisti. Lebih tepatnya menyeret Adisti. “Lo harus ngerjain tugas lo dari Dena nanti.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD