"Tu - tugas apa kak?" Tanya Adisti pelan. Dia masih dengan ringgisan kecil di pergelangan tangannya. Dengan sedikit mengeluarkan desisan itu, Gita sama sekali tidak perduli.
Gita masih saja menariknya dengan keras. Mencengkramnya dengan kuat dan menyeretnya dengan cepat. Bahkan Adisti tidak perrnah mendapatkan cengkraman seeras dan sekuat itu.
Adisti mungkin memang bukan orang yang kuat. Dia masih sering menangis jika nerindukan orangtuanya. Dia masih sering mengigir bibirnya ketika gugup. Yang dia bisa hanya menghindari masalah selama ini. Dia tidak bisa melakukan apapun ketika sedang dalam masalah karena dirinya terlatih untuk menghindarinya daripada menghadapinya dan memikirkan caranyanya untuk menyelesaikan masalah.
"Nanti lo sendiri bakal tau." Kata Gita kemudian membuka pintu sebuah ruangan.
Adisti mengerutkan keningnya. Dia bahkan hanya tau jika ruangan itu adalah gudang penyimpanan alat yang digunakan kampus untuk menyimpan alat - alat atau bangku yang sudah koyak dan sudah tidak terpakai.
Pertanyaan tidak jelas muncul di dalam otaknya. Apa yang sedang dilakukan Gita dan Dena di sini? Kenapa harus di sini? Emang disini masih ada yang layak pakai?
Banyak sekali.
Namun, saat dirinya melangkah masuk, dia benar - benar terkejut dengan apa yang ada di dalamnya. Cukup rapi dan cukup bersih. Hanya saja baunya yang menusuk hidung dan asing untuk Adisti sangat mengganggu. Jadi, dia menutup hidungnya sebelum menyisir apa yang ada di sana dengan mata telanjaangnya.
Betapa terkejutnya ketika Adisti berhenti di salah satu sudut ruangan itu. Ada sofa yang mungkin sudah lama di sana namun masih terlihat koko dan bisa digunakan. Bisa menampung lebih dari dua orang. Yang membuat Adisti terkejut bukan hanya sofanya. Namun, ada orang di atasnya. Tengah bercumbuu. Tengah saling merabaaa dan saling merasakan apa yang mereka sentuh dan disentuh.
Gita menyeretnya ke arah sudut lain di sana. Membiarkannya duduk dan melihat dengan jelas.
Rambut panjang Dena kini milik Dena kini dikesampingkan oleh orang yang ada di depannya. Dena mendesaah dikala leher putih jenjang dan mulusnya dihisap, dijilat bahkan di tandai sebagai milik orang di depannya.
Dena seperti merasa tidak tahu malu. Dia sudah setengah telanjanggg hanya tinggal pakaian dalam yang ada di tubuhnya. Kebawahnya masih utuh namun terbuka sedikit.
Adisti anya bisa duuk dan menyaksikannya. Dia tidak bisa mengalihkan ke sana ke sini akrena jika ia melihat ka kanannya, disana ada Gita juga yang sudah bercanda gurau dengan satu laki – laki yang entah, Adisti sendiri tidak mau mengenalnya.
Jika ke sebelah kirinya, Adisti akna melihat Dhanti yang bahkan sudah mungkin telanjaang penuh. Entah, Adisti tidak bisa melihatnya lebih jauh. Adisti tidak bisa membuat dirinya malu. Entahlah, padahal dirinya sendiri masih utuh dengan pakaiannya dan dia merasa malu ketika pakaian orang lain yang terbuka.
Ketiga orang itu seperti mengabaikan Adisti hanya untuk pasangannya. Adisti bahkan hanya diam dan dipaksa untuk menontonnya saja. Tidak melakukan apa – apa. Jiak saja Adisti tahu akan begini, dirinya mungkin akan lebih memilih untuk diam di perpustakaan. Mengerjakan beberapa materi untuk tugas mereka dan tentu saja dirinya akan terhindar dari dosa yang bahkan tidak ingin dia lihat sama sekali.
Tidak sengaja.
Tidak enak juga dilihat.
Adisti berdeham kemudian melihat Dena yang tertarik dengan bunyi dehaman Adisti yang menurut Adisti biasa saja. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu dalam. Adisti hanya memberikan kode kepada Dena dan teman – temannya yang lain. Bukan untuk mengganggu mereka.
Dia hanya ingin diketahui keberadaannya saja, bukan berniat menganggu.
Setelah mereka mengetahui keberadaannya, mereka harus memantaskan diri. Maksudnya memantaskan diri di sini adalah ada Adisti yang dipaksa untuk datang ke sini dan malah di cuekkin. Tidak ada respon dan tidak ada tugas –yang kata Gita harus dikerjakan oleh Adisti- dari seorang Dena.