Pertemuan

1945 Words
POV Author           Gara kembali ke Jakarta dengan perasaan bingung, setelah sempat mampir ke panti asuhan milik Ayahnya--yang sekarang sudah berpindah tangan menjadi miliknya, gara langsung bertolak kembali ke Jakarta.          Kenapa?           Satu kata yang membuat Gara bertanya-tanya tentang gadis itu. Gadis yang sudah menjadi temannya dan beberapa hari yang lalu mereka berteman lagi. Selama tidak bertemu, apa yang sebenarnya terjadi kepada gadis itu. Tidak ada yang berubah dari dirinya, ya walaupun penampilannya kini hanya berbeda dari rambutnya. Yang sebelumnya di kepang dua, sekarang menjadi diikat satu ditengah.          "Pak, satu berkas sudah saya selesaikan." Rian--sekeretaris Gara menyadarkan dari lamunannya.           Dengan cepat Gara mengambil alih berkas yang dibawa Rian lalu mendatangani beberapa yang harus ditanda tandangani. Rian menunggu cukup lama untuk mendengar perintah selanjutnya dari atasannya itu.          "Semua sudah stabil disini, para colega sudah mendapatkan apa yang mereka mau." Rian hanya mengangguk berulang.           "Baiklah, sepertinya aku perlu berlibur." Gara menyandarkan tubuhnya.            "Maksud bapak?"             "Saya akan berlibur sebentar, mungkin sebulan saya akan di Bandung dulu untuk mengurus sesuatu." lelaki itu mengucapkan apa yang sudah dipikirkan matang-matang.             Gara berencana akan menetap sementara di Bandung untuk melihat semua aktifitas yang dilakukan Alya dan menjadikan pertemanan mereka lebih dekat lagi. Lelaki itu berfikir bahwa Alya mungkin seorang gadis yang pelupa, maka dari itu Gara ingin benar-benar gadis itu mengenal Gara dan tidak melupakannya lagi. Satu yang belum lelaki itu sadari bahwa Alya pernah mengatakan sesuatu padanya. Hanya sekali, tapi apa itu?               Teman?                    Ya, Gara ingin mengenal sosok gadis yang sudah menjadi temannya. Teman satu-satu nya yang ia miliki dan ia yakini bahwa gadis itu tulus berteman dengannya.               "Terus disini?"               "Kamu yang pegang untuk sementara, nanti saya akan beritahu seluruh karyawan disini. Saya juga pasti akan pulang pergi ke Jakarta untung memantau perusahaan." Gara meyakinkan sekretaris itu.                 Walaupun ragu, tapi Rian akhirnya menyetujui. Gara sangat mempercayai Rian, yang dulu pernah jadi salah satu kepercayaan Ayahnya. Bahkan Gara dan Rian hampir seumuran. Lelaki itu yakin, Rian tidak akan mengkhianati nya.            "Kalau boleh tahu, bapak ada keperluan apa ke Bandung?"                "Saya hanya ingin bertemu dan mengenal teman saya."                    Sekretaris itu bingung namun tidak berani bertanya lagi. Selebihnya Rian pamit ke luar yang diangguki oleh Gara.                 Lelaki itu menghela napas, menurutnya ini memang harus dilakukan. Selain untuk mengenal lebih sosok gadis itu, Gara juga ingin menenangkan diri dari sekelumit pekerjaan yang kemarin-kemarin sedikit kacau namun berhasil di perbaiki dengan bantuan Rama--sahabat kecilnya.                   "Halo?"                "Gue butuh lo." tanpa basa basi lelaki itu langsung mengatakan tujuannya. "Gue mau ke Bandung, nitip perusahaan."                   "Ada kerjaan apa di Bandung?"                "Gue mau ketemu teman."                  "Teman?"                "Gadis berkepang dua itu. Mungkin agak lama gue di Bandung. Sebulan."                 "Hah? Sebulan? Cuma ketemu temen?"                  "Ini bukan temen biasa." Gara menghembuskan nafas pelan. "Pokonya gue titip perusahaan ke lo satu bulan aja, disini juga udah gue titipin sama Rian. Tapi ya, untuk jaga-jaga aja. Lo pantau aja."                      "Lo mau ngasih apa sama gue?"                   Tanpa menjawab, Gara langsung mematikan telepon sepihak. Gara tahu, temannya itu memang sedikit-sedikit minta ini minta itu, setiap Gara meminta bantuan. Tapi tidak pernah lelaki itu turuti, Gara tahu kalau Rama memang suka bercanda. Sekarang saja pasti Rama sedang mentertawai nya. Rama tahu kalau Gara tidak pernah dekat dengan siapa-siapa. Ini baru kenal langsung dengan perempuan, Rama berpikir kalau Gara sedang mendekati nya karena maksud lain dengan artian kalau Gara menyukai gadis itu.                Tapi Gara tetaplah Gara, lelaki itu tidak akan mudah jatuh cinta seperti yang dulu. Gara pernah jatuh cinta kepada Rara, namun berakhir dengan bertepuk sebelah tangan. Untuk Alya, Gara tidak mempunyai perasaan apa-apa. Baginya Alya adalah teman baik yang tulus berteman dengannya, tidak lebih.               Mungkin untuk saat ini.              *****            "Neng, ngelamunin apaan?" Pak Maman selaku satpam dilingkungan itu bertanya kepada Gadis yang tengah duduk di teras pos penjaga.               Gadis itu tersentak mendapati pundaknya di tepuk pelan oleh pak Maman.               "Eh, Pak. Gak ngelamun, lagi liatin nunggu motor orang lain. Takut ilang, entar aku yang harus ganti rugi."                   "Ah si Neng mah, bukan itu. Pasti lagi mikirin pemuda tampan yang kemarin nyanyi." pak Maman tidak tahan untuk tidak tertawa mengingat kejadian beberapa hari lalu saat Gara bernyanyi dengan lantang di parkiran.             Alya diam, gadis itu memang sedang melamunkan lelaki itu. Ada sesuatu di benaknya yang gadis itu juga penasaran kepada Gara. Siapa dia? Apakah lelaki itu benar mengenal dirinya? Tapi kenapa Alya tidak mengenalnya. Dilihat dari sorot mata lelaki itu, Alya menemukan tidak ada kebohongan dalam dirinya, sampai gadis itu menyangkal pun, Gara bersikeras untuk tetap berteman dengannya. Bahkan dengan rela lelaki itu menuruti syarat yang Alya berikan walaupun gadis itu tidak benar-benar serius melakukannya.              Ah kenapa dirinya jadi memikirkan lelaki itu. Tampan sih, Alya tidak menolak untuk berteman dengannya. Kaya pasti, dilihat dari penampilan lelaki itu bahwa dia bukanlah lelaki pengangguran. Tapi, kenapa lelaki itu mau dengannya? Apalah Alya, dia hanyalah gadis biasa yang tidak cantik-cantik amat. Eh tapi menurutnya dia cantik sih, cantik alami tanpa polesan make up. Dipoles sedikit saja, pasti banyak lelaki yang mengantri. Tapi dengan keadaan nya yang serba kekurangan terutama dalam hal ekonomi, mana ada lelaki yang mau dengannya.               "Eh Pak, kira-kira siapa ya dia?" Akhirnya gadis itu mengaku.                 "Bapak juga tidak tahu, Neng. Neng lupa? Pemuda itu bilang kalau dia temen Neng."              "Tapi aku gak ingat sama sekali, Pak. Apa dia pernah kesini sebelumnya?"                   Pak Maman duduk disamping Alya dengan membawa secangkir kopi hitam. "Seingat bapak, pemuda itu juga baru pertama kali kesini."                    "Alya takut, Pak. Mungkin dia orang jahat yang ingin membawa Alya ke Jakarta terus dijadiin babu atau pekerja s**s gitu, Pak."                 "Huss, Neng. Jangan dulu suudzon, mungkin dia memang teman Neng dari kampung atau teman kecil mungkin. Atau jangan-jangan mantan Neng?"                   Lisa tertawa mendengar ucapan pak Maman yang terakhir. "Mana ada mantan, kalau tidak pernah pacaran. Neng dari dulu belum pernah pacaran, Pak." menatap pak Maman dengan wajah memelas.                Kasihan sekali hidupanya.               "Bapak doakan semoga pemuda itu jadi pacar Neng."               "Ah mana mungkin, Pak."            "Mungkin, Neng. Sikat aja, sayang lelaki tampan seperti dia, Neng anggurin."                  "Mimpi kali ah, si bapak mah aya-aya wae."             Dan obrolan pun mulai mengalir kemana-mana. Lisa sudah setahun bekerja disini sebagai juru parkir. Pekerjaan pertama saat dirinya mulai diizinkan untuk bekerja oleh orangtuanya. Ya, dulu pun Alya sudah ingin mencari pekerjaan tapi hal itu selalu dilarang oleh Ayahnya dengan alasan mereka masih sanggup memberi nafkah. Bukan itu yang Alya ingin, justru dirinyalah yang harus berhenti membebani orangtua nya. Setidaknya, setiap bulan Alya selalu ingin memberi orangtuanya hadiah atas hasil kerja kerasnya. Dan disinilah dia bekerja dan izinkan, karena ada pak Maman, beliau yang juga teman dekat Ayahnya.               Dari kejauhan, ada motor gede berwarna hitam yang Alya sebut itu adalah motor ninja. Menuju ke arahnya, Alya dengan sigap berdiri dan memberikan intruksi untuk menempati lahan parkir yang kosong. Pemuda itu lantas membuka helm saat Alya menyodorkan satu karcis dan nomor untuk diselipkan dibagian motor.                   Ekspresi terkejutnya langsung keluar, Alya mendapati lelaki yang sudah membuka helm itu tersenyum padanya.                  "Lo?" pekik Alya.               Lelaki itu merapihkan poni ke belakang sehingga ketampanannya kembali sempurna. "Hai, Alya."                 "Gara?"                   Lelaki itu berdehem, "kirain lo bakal lupa lagi sama gue."                   "Heh, kemarin-kemarin kita kan ketemu disini dan gue ingat lo nyanyi."               "Dan pertemuan sebulan yang lalu, lo ingat juga?" Gara mulai menatapnya serius.             Namun Alya hanya menggeleng, "Gue kan baru ketemu lo nya kemarin. Gimana sih, ni laki yang pikun. Bukan gue."                         Gara tidak menanggapi, ia turun dari motornya dan membuka resleting jaket kulit yang ia pakai. Alya terpana membayangkan Gara membuka nya dengan gerakan slowmotion, dan itu membuat Alya menarik napas cepat. Sadar, lalu berbalik badan. Yang diperhatikan tidak sadar sama sekali.                "L-lo kesini mau apa?" masih memalingkan wajah, seakan Gara akan membuka baju nya.             "Ketemu lo," jawab Gara cepat. "Gue ingin ngajak lo jalan-jalan."                 Seketika Alya berbalik dan melotot tajam. "Pake motor itu?"                      Bukan itu yang seharusnya Alya tanya, gadis itu seharusnya bilang kalau dia tidak bisa dan masih bekerja. Juga untuk apa mengajaknya jalan?              Hellow, emang gue siapanya elo? Harusnya Alya berbicara seperti itu. Namun saking kaget dan terpana nya, ucapannya pun jadi ngelantur.              Gara ikut melirik ke arah motor ninja nya yang baru terpakir sempurna. "Memangnya kenapa?"                   Ya, memangnya kenapa dengan motornya? Sementara Alya mulai berpikiran ke arah yang lain.               "Nanti, kalau pake motor itu. Entar d**a gue bersentuhan dengan punggung lo." Seraya menyentuh b*******a nya refleks.                  Alya selalu memperhatikan setuap ada sepasang kekasih yang naik motor ninja seperti itu, pasti si wanita dibelakangnya menempel dengan sempurna. Tentu saja d**a si wanita itu pun bersentuhan dengan punggung si lelaki nya. Dan itu membuat Alya yang melihatnya entahlah, risih atau mungkin iri.               Sedangkan Gara hanya mengkerut tidak mengerti dengan ucapannya.                "Maksudnya?"                "d**a gue?" teriak Alya membuat dirinya juga tersadar. "Astaga!" reflek menutup mulutnya.               Gadis itu merutuki kecerobohan ucapannya. Bisa-bisanya disaat seperti ini dirinya melamun dan mengatakan sesuatu yang tidak nyambung.              Lihatlah! Bahkan ekspresi lelaki itu sedikit mengkerut namun tetap dengan wajah datar nya. Semoga saja, otak lelaki di depannya ini tidak encer dan tidak langsung mengerti maksud ucapan Alya tadi.                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD