Gara merebahkan diri di tempat tidur empuk di apartemen yang baru saja dia beli. Siang tadi, setelah mengantar Alya kembali ke tempat dimana dia bekerja karena gadis itu tidak ingin langsung pulang, dia masih ada tanggung jawab untuk kembali ke sana. Menemui pak Maman dan menyelesaikan tugasnya sebelum jam lima sore. Setelah itu Gara mengunjungi sebentar panti miliknya dan juga kenangan mereka dulu saat berada di sana. Ibu Santi menjadi pengelola di panti senang melihat Gara kembali.
Semua anak yatim disana sudah bertambah beberapa, dan lelaki itu akan rutin memberinya uang per bulan untuk membiayai mereka bahkan menyekolahkan mereka sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Ibu Santi menawari Gara untuk menginap disana, tapi lelaki itu urungkan. Ia lebih baik tinggal di apartemen dengan tujuan utamanya. Dekat dengan tempat Alya bekerja dan lebih tenang untuk menyendiri.
Matanya menerawang langit-langit kamar. Memikirkan gadis yang tadi siang bersamanya. Baru kali ini dan sedekat ini dirinya berbicara dengan perempuan. Dan baru kali ini dirinya yang berusaha untuk mendekati seorang gadis. Yang aslinya memang Gara selalu cuek dengan mereka para gadis yang selalu mencari perhatian padanya. Dan lelaki itu sama sekali acuh dan tidak tertarik. Namun sekarang, hanya pada seorang gadis yang sudah di anggapnya teman, Gara mulai penasaran dan ingin mencari tahu.
"Besok, gue akan menemuinya lagi." Gara bergumam masih dengan posisi rebahan. Lalu seketika berdecak kesal. "Ah s**l, gue belum punya nomor ponselnya. Besok gue harus dapat."
Gara tidak akan melepaskan satu orang teman yang kini sudah ia dapatkan. Gara akan benar-benar menjaganya. Seperti hal nya pertemanan antara Gara, Rama dan Alexa juga almarhumah Rara. Gara akan menjaga setia pertemanan mereka. Satu orang lagi, yaitu gadis itu Alya. Gara tahu Alya tidak seperti gadis lainnya, dia berbeda. Berbeda seperti apa? Entahlah, hanya Gara yang tahu. Teman yang pernah menolongnya, teman yang pernah membantunya memecahkan masalah. Teman yang keras kepala yang tidak pantang menyerah untuk mendekatinya. Dan itu sebulan yang lalu, saat Alya yang sekarang adalah gadis pelupa yang tidak ingat dirinya.
Sebuah dering telepon menyadarkan lamunan Gara. Dilihat nama yang tertera di layar ponsel adalah sahabatnya.
"Apa?"
"Lo udah di Bandung?" Suara Rama di sebrang telepon seperti terkejut dan marah. "Kenapa gak ngasih tau?"
"Gue buru-buru." Gara hanya menjawab santai.
"Ck, takut cewek lo di rebut orang?"
"Cuma temen biasa."
"Temen apa teman?" Rama mulai menggoda, dan yang digoda mulai jengah.
Menurutnya setelah tahu Alya seperti apa. Rama hampir mirip sebelas duabelas dengan Alya sama-sama menjengkelkannya.
"Hanya temen, Sapi!"
"Sekarang hanya temen, mungkin besok-besok berubah status jadi pacar."
Malas menanggapi ocehan Rama, Gara lagi-lagi memutuskan telepon sepihak.
Pacar? Dirinya bahkan tidak pernah berfikiran sampai sana. Sekarang ini hanya seorang teman yang Gara ingin, hanya Alya. Bukan yang lain. Lelaki itu masih mempunyai sedikit trauma.
Tidak terlalu ambil pusing, Gara mencoba memejamkan mata untuk tidur lebih cepat. Sampai tidak lama, lelaki itu sudah memasuki alam mimpi.
*****
"Assalamualaikum." Suara gadis itu terdengar seraya membuka pintu.
Seorang wanita paruh baya namun masih terlihat muda keluar mendatangi sosok gadis yang sudah duduk di kursi.
"Waalaikumsalam." Wanita tua itu terlihat seperti khawatir.
Ya, kenapa tidak! Anak gadisnya yang biasanya pulang jam lima sore, sekarang baru sampai dirumah jam delapan malam.
"Kenapa baru pulang? Kemana saja? Ibu sama bapak khawatir." Wina--ibu Alya duduk di samping anak gadisnya.
"Maaf, Bu. Tidak memberi kabar dulu. Aku lembur tadi."
Ya, menebus waktu tadi siang yang diambil oleh lelaki itu yang membawanya jalan-jalan keliling kota. Alya merasa tidak enak, lalu dia mengajukan diri untuk mengganti jam tadi yang ia tinggalkan. Padahal pak Maman pun tidak apa-apa, tapi Alya bersikukuh. Dirinya tidak ingin sampai kehilangan pekerjaan itu.
"Lain kali kasih tahu dulu ibu sama bapak."
"Iya, Bu. Maaf ya!" Alya tersenyum mencoba mengurangi kekhawatiran ibunya.
Alya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya bernama Vina masih sekolah menengah atas kelas tiga. Ayahnya seorang pegawai negeri, guru sekolah menengah pertama di salah satu smp negeri di Bandung. Ibunya membuka warung kecil-kecilan. Walaupun usaha mereka terbilang jauh dari kata sukses, tapi mereka berhasil menyekolahkan kedua anaknya sampai ke jenjang sekolah menengah atas. Kedua orang tua Alya menyuruhnya untuk melanjutkan kuliah namun gadis itu tidak mau, dia ingin bekerja walaupun selalu ditolak oleh Ayahnya. Dan tahun kemarin baru dirinya dibolehkan untuk bekerja. Ayahnya melarang karena mempunya alasan.
"Bapak mana, Bu?"
"Lagi ke rumah pak Rt dulu."
"Bu."
"Ya, sayang?"
"Apa Alya punya teman yang namanya Gara?"
Wina berfikir sejenak lalu menggeleng. "Kenapa, sayang?"
"Coba ibu ingat-ingat lagi. Teman sekolah Sd, Smp, apa Sma? Namanya Gara."
Wina terdiam, anaknya ini apakah sudah mengingat sesuatu? Atau ...
"Ia, mungkin ibu lupa. Teman kamu kan banyak. Mungkin memang ada teman kamu yang namanya itu. Apa kamu ingat sesuatu?"
"Gak, Bu. Aku juga gak tau punya teman namanya Gara. Tapi tadi ada yang orang yang mengaku teman Alya."
"Ibu benar-benar lupa, sayang. Teman baru kamu mungkin?"
Ah iya, kalau Gara teman sekolahnya pasti lelaki itu juga bilang kalau di dulu satu sekolah dengan Alya. Tapi lelaki itu bilang bahwa dia mengenalnya sebulan yang lalu.
"Kamu ingat sesuatu?" ibunya kembali memastikan.
"Ah tidak, Bu. Mungkin aku yang salah. Dia memang bukan teman sekolah Alya." gadis itu tersenyum lembut. "Alya ke kamar dulu ya, Bu."
Enggan bertanya lebih lanjut, Alya bergegas memasuki kamar nya. Kamar kecil yang dihuni oleh dua orang. Dirinya dan adiknya.
"Mandi dan makan dulu!" teriak Wina saat Alya sudah menutup pintu kamarnya. Gadis itu juga menjawab dengan keras dibalik pintu.
Segera merebahkan diri di tempat tidur yang hanya bisa ditempati oleh satu orang. Terlihat sang adik tengah duduk di meja belajar di sebelah kirinya. Mereka tidur beda ranjang namun tetap satu kamar.
"Kakak darimana aja?" Vina bertanya tanpa melihat Alya. Matanya masih fokus ke buku tebal yang ada di hadapannya.
"Kerja lah, lembur."
"Kerja apa pacaran?"
"Kerja, adikku yang manis."
"Terus tadi siapa yang boncengin kakak?"
Alya yang tadinya rebahan langsung duduk menatap sang adik. Tahu darimana dia?
"Tadi kapan?" pura-pura tidak tahu.
"Jangan bohong, tadi kakak ngobrol ditengah jalan sama cowok. Gak lama sih, kakak langsung naik lagi motornya dia dan pergi."
"Dimana?" Alya bertanya dengan wajah datar, menutupi kekagetannya.
"Ditempat jual nasi goreng."
Oh, ternyata disana. Itu saat dirinya berdebat dengan Gara tentang nasi goreng dan mie goreng.
"Ngaku, siapa cowok itu?" Vina mulai beralih menatap Alya, duduk menyamping.
"Teman."
"Teman apa teman? Kok teman kakak ganteng banget."
"Ish kamu" Alya melempar bantal ke arah Vina. "Teman baru kakak, katanya dia kenal kakak. Tapi kakak lupa sama dia, kenal dimana dan kapan. Cowok itu udah kakak usir tapi tetap saja mau jadi teman kakak. Apa boleh buat, kakak terima aja. Sayangkan, mana ada cowok ganteng dan kaya mau temenan sama cewek kayak kakak."
Cerita Alya panjang lebar. Alya selalu menceritakan keseharian dirinya pada Vina. Dan itu selalu Vina yang meminta, untuk menceritakan kejadian apa saja tentang keseharian kakaknya. Vina pun sebaliknya, dirinya kadang menceritakan curahan hatinya saat berada di sekolah. Termasuk menceritakan lelaki yang adiknya itu suka namun selalu bertepuk sebelah tangan.
Kedua kakak beradik ini selalu berdebat dan bercanda namun dibalik semua itu mereka tetap sayang dan melindungi satu sama lain.
"Kirain pacar kakak. Kalau bukan pacar, boleh dong Vina gebet?"
Kedua kalinya Alya melempar guling ke arah Vina. Adiknya ini memang selalu bicara kemana-mana.
"Sekolah yang bener, jangan cinta-cintaan. Kakak ingin kamu sampai kuliah."
"Hem." Vina kembali mengamati buku tebal nya.
"Terus, kamu tadi siang ngapain juga ada disana?"
"Apalagi kalau bukan makan nasi goreng."
Ah ya, Vina memang menyukai nasi goreng. Sedangkan dirinya lebih menyukai mie goreng.
"Kakak gak curiga sama cowok itu? Jangan-jangan dia ingin memanfaatkan kakak."
"Kakak juga mikirnya gitu. Tapi kakak liat dia orangnya jujur dan serius deh mau temenan sama kakak."
"Karena dia jujur atau karena dia ganteng?"
"Karena dia ganteng sih, hehe." Alya merasa malu sendiri mengatakan itu.
Adiknya hanya mencebik mengulurkan lidah meledek. Perhatian Alya teralihkan, dirinya lalu membuka tas yang selalu dia bawa dan mengeluarkan buku catatan. Gadis itu selain selalu membicarakan dengan adiknya, Alya juga selalu menuliskan apa yang dia lalui hari ini dalam buku catatannya. Setiap hari tidak pernah ia lupa untuk selalu menulisnya. Dan itu adalah atas perintah orangtua nya. Tidak perlu ada alasan, karena dia pun suka menulis. Alya anggap, itu sebagai dirinya menulis Diary.
"Kak."
"Apa?" Alya sudah selesai menulis dan hendak keluar untuk mandi dan sarapan.
"Bantuin Vina ngerjain Kimia dong."
"Gak."
"Pliss." Vina memohon dengan mata lucu nya. Dia kira Alya akan terenyuh? Tidak!
"Males."
"Ayolah!" Vina merengek, gadis itu sudah pusing mengerjakan tugas kimia yang menurutnya pelajaran paling tidak dimengerti.
"Mikir sendiri, kakak gak punya otak."
"Terus isi kepala kakak apaan?" menjawab kesal saat kakaknya tidak ingin membantunya, malah sudah keluar membawa handuk.
"Mie goreng spesial bakso udang dan cowok ganteng." teriak Alya seraya berlalu ke kamar mandi.
Sedangkan adiknya menahan geram dan membanting buku tebal bertuliskan Kimia itu ke samping tempat tidurnya.