"Pagi, pak Maman handsome." Alya sampai ke tempat kerja jam tujuh pagi.
Dari rumah dirinya hanya berjalan kaki, karena tempat kerja nya memang tidak terlalu jauh. Pak Maman yang tengah menyesap kopi hitam tersenyum melihat Alya yang baru datang. Gadis itu lantas menyimpan tas mengaitkannya di dinding berpaku. Topi, selalu ia pakai.
"Pagi juga, Neng. Bapak kemarin gak marah neng Alya pulang telat?"
"Gak, Pak. Kemarin hanya ada ibu dirumah. Bapak lagi ke rumah pak Rt. Gak tau pulangnya jam berapa sih, Alya gak nungguin bapak."
Pak tua itu mengangguk mengerti. Kesibukan di pagi hari memang sudah menjadi kebiasaan. Banyak orang yang menumpang parkir di area tempat Alya. Tempat parkir untuk orang-orang yang bekerja dikantor paginya. Dan malam nya tempat parkir untuk orang-orang yang akan mengunjungi bangunan penuh irama dan manusia-manusia setengah sadar, alias club malam.
Kedua bangunan itu memang berdampingan.
Kesibukan Alya di pagi hari hanya sampai jam delapan pagi. Selebihnya ya, jarang ada motor yang ikut parkir. Gadis itu hanya menunggu sampai orang-orang keluar berhamburan dari kantor, dan jam empat sore kesibukannya kembali berlangsung. Sampai jam lima dan suasana sudah mulai kembali tenang. Itu adalah waktunya Alya pulang. Sedangkan pak Maman pulang jam sembilan malam.
"Silahkan masuk, Pak! Pilih ada beberapa tempat yang kosong disana." Begitulah Alya saat ada kendaraan bermotor masuk ke area parkirnya. Seakan dirinya sudah mahir dan cekatan, terbiasa dengan pekerjaannya.
"Semangat amat, Neng." pak Maman yang memperhatikan, merasa bangga sekaligus senang melihat seorang gadis walaupun hanya bekerja sebagai juru parkir tapi Alya tidak pernah mengeluh ataupun terlihat menyerah. Justru, wajahnya selalu ceria tanpa ada beban.
"Semangat empat lima, Pak. Sebentar lagi gajian." berjalan ke arah pak Maman dimana beliau tengah duduk di teras.
"Kali-kali uang gajian Neng pake buat kebutuhan Neng. Beli baju atau apa."
Alya ikut duduk di teras. "Nanti aja itu mah, Pak. Untuk sekarang, Alya kasih dulu semua uang gajian Alya untuk ibu dan bapak. Adikku juga sekarang lagi butuh untuk uang praktek. Gampang Alya mah, seperti ini saja udah bersyukur."
"Andai Neng anak bapak. Pasti bapak bangga banget punya anak seperti Neng."
Alya terkekeh mendengar ucapannya. "Hehe iya, Pak. Amin. Insyaalloh di kehidupan kedua setelah reingkarnasi, Alya akan jadi anak bapak."
Keduanya kembali tertawa, hanya obrolan ringan seperti itu mereka rasanya bahagia sekali.
Jam istirahat tiba.
Bukan jam istirahat sih, Alya bisa kapan saja istirahat. Dirinya hanyalah juru parkir, ada motor datang ya bekerja. Jika tidak ada, gadis itu hanya duduk dan menunggu.
Jam istirahat yang sebenarnya adalah untuk pak Maman, satpam penjaga keamanan. Alya ikut pula istirahat, hanya ingin menemani pak Maman makan siang. Walaupun dirinya bisa makan kapan saja, tapi Alya tetap menunggu dan ingin makan bersama dengan pak Maman.
"Neng, yuk istirahat dulu. Kita makan."
"Siap, Pak."
Gadis itu duduk di teras luar ruangan. Baginya makan lebih enak di lantai, dan juga sambil menunggu sesekali memperhatikan titipan motor di lahan nya. Padahal di dalam kantor pak Maman juga ada kursi untuk mereka makan. Tapi Alya lebih suka diluar dan pak Maman pun mengalah, beliau ikut duduk di teras dengan Alya.
"Telur ceplok lagi, Neng?"
"Hehe, iya pak. Bapak juga tahu tempe lagi."
Alya hendak membuka tas selendang, suara lelaki yang tidak asing menyapa nya.
"Boleh aku ikut makan disini?"
Alya dan pak Maman menoleh. Gadis itu terkejut, dan hanya pak Maman yang tersenyum.
Ya, Gara. Lelaki itu datang tanpa diundang, melaju kan motornya untuk mencari tempat parkir yang kosong. Berjalan ke arah Alya dengan membawa bingkisan yang gadis itu kira adalah makanan.
"Boleh, nak Gara." pak Maman yang berbicara. Pak tua itu sudah tahu namanya tentu saja dari Alya.
Gara tersenyum dan ikut duduk di samping Alya. Mereka berhadapan dengan pak Maman.
"Saya tidak bawa apa-apa. Hanya bawa mie goreng spesial." Di kalimat terakhir Gara mengatakannya seraya melirik Alya.
Lelaki itu membawa tiga bungkus mie goreng, dan tiga minuman kelapa muda.
"Wah, pas sekali. Ini buat bapak?" pak Maman berseru heboh, seperti mendapatkan rezeki tidak teduga. Jarang-jarang dia makan mie goreng plus disuguhi minuman segar.
Gara mengangguk. "Dan ini buat lo."
"Gue udah bawa bekel kok, gak perlu repot-repot." Alya memberikan bukti bekalnya yang diangguki Gara.
"Terima saja, ini dari seorang teman."
"Iya, Neng. Terima saja, tidak baik menolak pemberian seorang teman."
"Jangan geer dulu ya. Gue nerima ini hanya karena pak Maman."
"Iya, gue tau." Gara tersenyum seraya membuka bungkusannya sendiri.
"Lo, gak jijik makan disini?"
"Pertanyaan yang sungguh konyol." Gara mengambil sendok makan yang diberi pak Maman. "Ngapain harus jijik, gue udah biasa dipanti makan seperti ini."
"Ayo dimakan dulu. Ngobrolnya bisa dilanjut nanti setelah makanan habis." pak Maman menginterupsi dan mereka pun makan dalam diam.
Lisa memakan mie goreng pemberian Gara. Dan telor ceplok yang ia bawa dirumah malah di ambil Gara. Lelaki itu memakannya dengan lahap setelah mie goreng miliknya habis. Alya mengira lelaki itu kelaparan atau rakus. Dan Gara benar-benar habis memakannya tak tertisa.
Pak Maman juga menikmati sekali, minum es kelapa adalah makanan penutupnya. Sekali lagi, pak Maman berterima kasih karena telah diberi mie goreng oleh Gara.
"Kalau bisa nak Gara sering-sering kesini nya jangan lupa bawa makanan lagi."
"Akan saya usahakan, Pak." Gara mengangguk sopan.
"Udah deh basa-basi nya. Lo ngapain kesini?" Alya berbicara setelah mereka berdua pindah tempat dan leluasa untuk mengobrol berdua.
"Ketemu lo, makan bareng lo, dan kerja bareng lo."
"Kerja?"
"Gue akan nemenin lo kerja hari ini."
Alya berdecak sebal. "Lo gak ada kerjaan banget yah."
"Emang gak ada, makanya gue kesini nemenin lo kerja. Biar gue ada kerjaan."
"Gue curiga, lo pasti ngaku-ngaku orang kaya. Padahal aslinya lo pengangguran yang suka ganggu orang."
Gara menghembuskan napas kasar. "Yah, begitulah." lelaki itu mengangkat wajahnya menatap langit yang sedikit mendung. "Makanan favorit lo apa? Kesukaan lo apa? Dan kebiasaan lo apa?"
Alis Alya mengkerut, untuk apa lelaki itu bertanya seperti itu. "Lo wartawan?"
"Jawab aja."
"Kenapa sih, nanya-nanya begitu. Bikin gue tambah curiga kalo lo bakalan ngejual gue ke germo."
Gara memejamkan mata sejenak sebelum berbicara. "Gue ingin tahu semua tentang teman gue. Baru kali ini gue punya temen yang bener-bener temen tanpa ada niat lain di belakangnya. Jujur, gue gak tau gimana caranya berteman. Bagaimana menjaga pertemanan."
"Dan gue juga gak tau berteman itu harus seperti apa." Alya ikut menimpali, Gara berpaling menatapnya. "Gue pun gak pernah punya teman selama ini. Dan hanya lo yang berani deketin gue."
Keduanya sama-sama terdiam.
Teman? Bahkan mereka berdua pun sama-sama belum berpengalaman dalam hal pertemanan. Yang satu karena dirinya memang tidak tahu dan tidak mengingat apakah punya teman apa tidak, dan yang satu karena masalalu dan teman yang hanya memanfaatkan kekayaannya.
"Gue hanya punya temen, yaitu lo." Gara berkata.
"Gue gak punya temen, selain lo." Alya juga berkata. Mereka saling pandang, menyelami netra masing-masing mencari tahu apa arti teman sebenarnya.
"Menurut lo, teman itu seperti apa?"
Alya beralih menunduk menatap tanah. "Yang gue tahu, teman itu saling memahami, membantu dan membutuhkan."
Itu juga Alya tahu dari adiknya-Vina. Alya sendiri belum merasakan itu.
"Seorang teman harus saling jujur dan menghargai."
Mendengar itu Gara tersenyum ke arah Alya. "Gue akan menjaga pertemanan ini, gue akan menghargai dan jujur sama pertemanan ini. Gue gak mau, pertemanan yang kita jaga hancur karena sebuah ketidakjujuran dan ketidakpercayaan. Gue akan menjaga itu."
Entah kenapa, Alya tersenyum tanpa sadar mendengar ucapan Gara. Alya percaya dengan apa yang dikatakan lelaki itu.
Tidak sadar kalau pak Maman ikut mendengarkan dan tersenyum. "Kalau begitu, panggilnya jangan gue elo end, atuh." kedua orang itu berbalik bersamaan ke arah pak Maman.
"Lalu apa, Pak?" Gara ikut tersenyum.
"Kalau sudah berteman, panggilnya Neng dan Aa saja."
Wajah keduanya langsung memerah.
"Neng Alya dan Aa Gara." pak Maman kembali menggoda.
"Pak Maman ih." Alya merasa malu sendiri.
Aa Gara? Oh ya Ampun, jangan sampai Alya mengatakannya. Rasanya seperti panggilan aneh saja.
Gara juga hanya mengerjap tanpa ekspresi. Dirinya dipanggil Aa Gara? Seumur-umur dirinya baru dipanggil seperti itu.
"Kenapa malah pada diam? Apa kalian lagi memikirkan nama panggilan masing-masing?"
Keduanya serempak menggeleng.
"Jangan gue elo end, lah. Gak sreg aja dengernya bapak."
"Gue elo end aja." lagi-lagi keduanya serempak menjawab.
Pak Maman hanya terkekeh geli melihat ekspresi keduanya yang kaku dan malu.
Aa Gara
Neng Alya
Oh no!!!