Teman LDR

1452 Words
Benar saja, setelah acara traktiran itu dan mengantar Alya pulang hanya sampai depan rumah. Ingin masuk, namun selalu Alya cegah dengan alasan dirinya belum siap untuk mempertemukan bapak dan Gara, takut terjadi perang dunia ke tiga. Padahal bapak Alya juga ingin bertemu dengan lelaki itu. Selesai mengantar Alya pulang, Gara pun ikut menyusul pulang. Bukan ke apartemen namun langsung menuju Jakarta.             Kenapa buru-buru sekali? Rama memberitahu kalau ada rekan bisnis Gara yang ingin bertemu dengannya. Dan harus ditemui langsung oleh Gara jika perusahaannya masih ingin bertahan. Alhasil lelaki itu langsung tancap gas. Memakai mobil yang ia simpan dan tidak pernah ia pakai selama di Bandung.                  Meninggalkan kota ini berarti meninggalkan Alya. Tenang saja, mereka tidak akan kehilangan komunikasi lagi. Lelaki itu sudah mempunyai nomor ponsel Alya. Bahkan Gara juga berpesan kepada gadis itu untuk selalu mengirimnya pesan, berapapun itu dalam sehari. Ingatkan dia untuk makan, istirahat, jangan lupa tidur, mandi dan lainnya. Membuat gadis itu tidak percaya apa yang diperintahkan Gara seperti mengingatkan kepada anak kecil. Tapi Gara tidak peduli, dia membuat alasan lain. Sebagai sesama teman harus saling mengingatkan.                  "Lo dah sampe?" satu pesan masuk setelah beberapa jam berlalu. Dan Gara tentu saja sudah sampai dirumah mewahnya bersiap untuk tidur.        Satu senyuman lelaki itu singgungkan. "Baru mau tidur."             "Gue ganggu?"             "Nggak. Kenapa? Lo kangen? Karena besok gue gak bisa bantuin lo lagi?"                 "Malahan gue seneng, gak ada yang ganggu gue dengan suara peluit berisik itu."               Gara tertawa geli, mereka chattingan seperti anak muda saja. Saling menyapa basa-basi lalu akhirnya saling mengejek. Tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang ... kangen satu sama lain.          Hening beberapa saat, lalu sebuah suara pesan masuk datang.           "Lo, akan ke Bandung lagi?"             "Ya, minggu depan. Tunggu saja."           "Hm." dan itu mengakhiri percakapan chatting mereka.              Gara merebahkan diri di tempat tidur merileks kan otot-otot pegal akibat perjalanan jauh. Di tempat lain juga ada gadis yang tidur menyamping namun dengan mata masih terbuka.            Mereka sama-sama menunggu tujuh hari ke depan. Gara menunggu untuk bertemu gadis itu, temannya. Dan Alya menunggu sesuatu lain yang terjadi.          Dalam hati gadis itu bergumam, "Semoga lo kesini tepat sebelum tanggal itu."          Mereka tidur secara bersamaan namun ditempat yang berbeda. Ya, semoga mereka sama-sama mimpi indah. Dan waktu cepat-cepat berlalu.          Kadang, jika keresahan yang dialami seorang teman akan sesuatu pasti akan berdampak pada yang lain. Sebuah feeling kadang akan menjadi benar. Jika seorang teman berkata untuk teman lainnya agar jangan melakukan ini dan itu, maka teman lainnya harus mendengarkan. Entah kenapa apa yang selalu diucapkan dan diresahkan seorang teman pasti akan terjadi. Kata mereka, teman mempunya feeling yang kuat. Dan Alya, percaya itu.          "Hai." hanya sebuah pesan yang membuat mereka masih bosa komunikasi. Ingin video call pun ponsel Alya yang tidak memadai.            Alya memulai chat duluan, karena gadis itu yang memang disuruh untuk mengirimi nya pesan terlebih dahulu.             "Hai juga, sorry kalau gue balesnya nanti agak lama. Ada meeting penting dengan klien, lalu rapat antar pegawai dan bertemu klien lain di luar kantor. Gue sama Rama juga kok."            Lelaki itu menjelaskannya panjang lebar, takut Alya berpikiran yang tidak-tidak jika dirinya tidak menjawab pesan atau pun sedikit lama membalas pesan Alya.            Ya ampun, Gara seperti pacarnya saja harus menjelaskan serinci itu. Padahal mereka hanya teman loh. Sedangkan Alya yang membaca pesan itu hanya memutar bola mata jengah dengan isinya.            "Kenapa harus sedetail itu ngejelasinnya, Onta."         "Hehe, kita kayak LDR.an ya. Gue takut lo berpikiran gue selingkuh." Gara sambil tertawa mengetikkan balasannya.          "Gue temen lo."             "Kalo gue ingin lebih?" beberapa menit belum ada balasan juga dari gadis itu, hingga Gara mengetikkan pesannya lagi. "Gue akan mulai meeting."              Gara mematikan ponselnya agar tidak menganggu jalannya meeting dan rapat nanti. Lelaki itu datang ke kantor nya dengan pekerjaan yang menumpuk walaupun sebagian sudah asisten kepercayaannya kerjakan namun ada dokumen-dokumen lain yang harus ditandatangani langsung oleh Gara sang pemilik perusahaan itu sendiri.               Tiga jam, lima jam Gara masih sibuk dengan rekan bisnis nya. Ponsel miliknya pun masih dalam mode mati, tidak tahu apakah gadis itu mengiriminya pesan lagi atau tidak. Yang jelas Gara juga memikirkan gadis itu. Semoga saja nanti malam dia mempunyai waktu sebentar untuk hanya sekedar melihat chat dari Alya dan berbalas pesan dengannya.           Pukul sepuluh malam, lelaki itu baru sampai rumah dan baru saja membersihkan diri. Tidak sabar, lalu meraih ponsel di atas nakas dan menghidupkannya.                Benar, ada duapuluh pesan masuk dari gadis itu. Hanya darinya. Gara membuka dan membaca rentetan pesan yang gadis itu kirimkan.         "Udah?" "Lagi apa?" "Udah makan?" "Udah rapatnya?" "Oh ternyata belum ya."   Jam lima sore, pesan Alya masuk lagi.           "Udah beres?" "Masih belum ya?" "Gue ganggu?"   Dan itu adalah pesan terakhir dari Alya jam sembilan malam. Gara bahkan tidak berhenti untuk tersenyum saat sedang membaca nya. Kenapa dirinya sebahagia ini menerima banyak pesan dari gadis itu. Belum pernah ada yang membuatnya tersenyum hanya karena beberapa pesan.          Tanpa menunggu lama, Gara membalas pesan Alya.         "Sorry, gue baru pulang. Nunggu lama ya?"         Belum ada balasan, padahal pesan sudah dikirim duapuluh menit yang lalu. Mungkin gadis itu sudah tertidur. Gara lalu mengirimi nya pesan lagi.           "Besok gue masih ada urusan kantor yang lainnya. Sorry kalo gak sempet balas chat lo lagi. Tapi sebisa mungkin, malam hari saat gue udah beres dengan semua kerjaan kantor, gue akan kabari lo."            Hari besoknya Gara masih menerima pesan yang sama gadis itu kirimkan di pagi hari sebelumnya. Dan Gara sempat membalas satu sampai dua pesan, lalu kembali dengan kesibukannya. Sampai malam, Gara kembali membuka pesan dan masih ada beberapa chat masuk dari gadis itu. Lagi-lagi saat Gara membalas, gadis itu sudah tertidur.              Sampai di hari ke empat, Gara mulai tidak mendapati gadis itu mengiriminya pesan. Lelaki itu mengira mungkin Alya juga sibuk dan tidak ingin menganggu dirinya. Malamnya pun sama, tidak ada pesan satu pun dari Alya.              Kemana gadis itu? Gara mulai berfikiran yang tidak-tidak. Apa gadis itu marah karena pesannya jarang ia balas tepat waktu? Atau karena dirinya memang sulit ada waktu untuk mengobrol dengannya?             Hari kelima dan ke enam juga selalu begitu. Sepi, tidak ada pesan sama sekali yang masuk padanya.           Gara mencoba mengirim gadis itu pesan.         "Hai, sibuk ya? Kenapa sekarang jarang chat gue? Apa mungkin udah lupa?"            Tertera sudah dibaca namun tak kunjung mendapat balasan. Gara semakin tidak sabar, dirinya kembali mengirimnya pesan.           "Alya?"          "Neng Alya?"            "Besok sudah hari ketujuh. Gue akan kembali ke Bandung. Lo mau oleh-oleh apa?"            Masih tak ada balasan dari gadis itu. Apa Alya sengaja tidak membalasnya karena marah? Gara hanya bisa mengira-ngira. Sampai satu jam kemudian baru ada balasan dari gadis itu yang membuat Gara terdiam atau mungkin berfikir.            "Sorry, siapa?"          Dua kata namun mampu membuat lelaki itu dihinggapi rasa penasaran yang kuat.             "Gue temen lo, aa Gara. Lo marah sama gue karena gue jarang balas chat lo?" Gara mengira Alya sedang marah atau sedang mengerjainya. Namun lagi-lagi pesan masuk membuatnya kembali terdiam.           "Maaf, mungkin anda salah sambung."          Salah sambung? Jelas-jelas itu adalah nomor Alya. Apa jangan-jangan ponselnya dijual? Dan yang sedang berbalas pesan dengannya bukanlah Alya?            "Lo, Alya?"          "Ya."               "Gue Gara, lo lupa?"              "Maaf, saya tidak kenal dengan anda. Jangan hubungi nomor ini lagi."          Dan saat Gara ingin membalas pesan dari Alya. Gadis itu sudah memblokir nomornya.              Alya kenapa lagi? Kenapa marah bisa sampai seperti itu? Menurutnya marahnya Alya sudah kelewatan. Gara kembali mengingat pertemuan kedua mereka saat di parkiran. Gadis itu tidak mengenalnya, seperti saat ini. Alya tidak mengenal dirinya.           Oh atau mungkin ....           
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD