Bab 2 - Meja Judi

1205 Words
Aku mendapatkanmu dengan cara yang kotor. Namun, percayalah, ini demi menyelatkanmu, Raina. *** Semakin malam, semakin ramai. Sebuah kafe yang diam-diam menjadi salah satu tempat judi terbaik. Sudah dua tahun Yusuf tidak datang ke tempat ini. Tempat yang menjadi saksi masa lalunya bersama kekasih hati. Wanita yang meninggalkannya tanpa sebuah pesan. Dialah yang membuat Yusuf tidak lagi menghargai perasaan wanita. Seorang pelayan mengantarkan minuman keras. “Duduk sini, Bro.” Di lingkungan malam, Yusuf akrab dipanggil Mandala. Lebih nyaman begitu daripada nama Nabi tertampan. Yusuf memang jauh dari jalan kebenaran, tapi dia masih punya rasa malu menggunakan nama itu. Nama yang lebih cocok berstatus ustaz. “Lama gak mampir. Pacar lo mana? Kalian udah nikah apa malah putus?” Mata Yusuf memandang tajam, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal. Tidak ingin menimbulkan perseteruan, pelayan itu pamit. Belum reda amarahnya, meja besar di sebelahnya bersorak ramai. Ada lima orang pria bersama satu wanita yang tidak lagi muda. Keriput di wajahnya tidak bisa ditutupi dengan makeup. “Dua puluh juta.” “Gue berani lima puluh. Anjir, cantik banget. Tinggal dicopot kerudungnya.” Yang lain menimpali. “Gue berani seratus juta.” Mendengar kata cantik dan kerudung, Yusuf menebak wanita yang tidak lagi muda itu sedang melelang perempuan. “Lima ratus juta.” Suara bariton pria lainnya membuat empat pria itu mengumpat. Tidak berani menawar harga lebih tinggi lagi. Merasa penasaran, kaki Yusuf mendekati kerumunan. “Ada yang berani menawar harga lebih tinggi? Masih perawan,” tawar wanita paruh baya itu dengan sedikit mabuk. Jari telunjuknya terus menggeser foto-foto cantik—sebentar, Yusuf tahu dia. Yang ada di dalam foto itu adalah wanita yang dia jumpai di kebun bunga. Raina. “Satu milyar,” ucap Yusuf datar penuh kemenangan. Pasti tidak ada yang berani memasang harga lebih tinggi. Dalam hitungan ketiga, tebakan pria itu benar. Keempat pria lainnya itu pun hanya bisa mengutuk diri sendiri yang tidak lebih kaya darinya. Wanita paruh baya itu langsung mengambil surat perjanjian, menyerahkan kepada Yusuf untuk ditandatangani. Resmi sudah perjanjian itu. Yusuf merasa perbuatannya ini konyol. Pasti wanita berhijab itu akan marah besar kalau tahu kejadian ini. Namun, dia merasa ingin memiliki Raina. Entah benar-benar ingin memiliki atau hanya penasaran. Entahlah. Satu kata dari para wanita bila melihat sosok kapten pilot bernama Rio Adara Saputra adalah “sempurna”. Wajahnya memiliki rahang tegas, badannya yang ideal, tubuhnya tinggi tetapi tidak terlalu berisi, dan lengannya yang sudah terbentuk. Tidak sia-sia latihannya setiap malam untuk membentuk otot-ototnya yang sekecil telur puyuh. Ditambah lagi, dia rajin salat. Wajar banyak wanita yang mendoakannya untuk menjadi kekasih hidupnya, termasuk Raina. Apa, sih, kelemahan Rio? Selama menjadi sahabat Rio, Raina menganggap dia orang yang penakut. Bukannya penakut dengan makhluk tak kasatmata, melainkan penakut dalam menyatakan perasaan terhadap wanita. Dulu, Raina selalu mengejek Rio kalau dia bukan pria sejati. Itu terbukti ketika dia tidak pernah pacaran dan selalu menyembunyikan rasa cintanya. Perlahan, Raina mulai mengerti, yang Rio lakukan itu ada benarnya. Pacaran tidak bisa dibenarkan dalam Islam. Raina juga pernah membaca sebuah artikel dalam Islam bahwa hanya ada dua bentuk cinta yang karena Allah. Pertama, menyimpannya. Kedua, menghalalkannya. Sepertinya Rio memilih yang pertama karena belum siap untuk pilihan kedua. Tidak jarang pria itu berpuasa untuk menjaga hawa nafsu. Semasa SMA, banyak teman mengatakan Rio hanya mengaku-ngaku menyukai gadis lain padahal hanya Raina yang ada di hati. Raina sempat ke-PD-an juga, tapi segera dia hilangkan. Dia tidak ingin disakiti oleh harapan yang diciptakan sendiri. Kalau dugaan temannya benar dan memang jodoh, pasti Allah SWT menyatukan. Rio duduk di kursi tak jauh dari para awak kabin beristirahat. Dia membuka ponsel lalu membuka aplikasi **. Banyak permintaan pertemanan yang disetujui Rio. Pasti ini gara-gara Raina mengirim fotonya pada akun pilot ganteng atau cowok ganteng Indonesia. Raina pikir, dirinya baju yang patas diobralkan? Benar-benar wanita itu! Tidak ingin membatin, Rio memutuskan meneleponnya. “Hei, kamu nakal banget! Kirim foto aku lagi, ya, ke akun kurang kerjaan?” Wajah Raina yang tampak full di layar membuat hati Rio berdesir. Semakin hari, Raina semakin cantik. Apalagi, saat ini dia sedang memakai filter kelinci. Membuatnya semakin terlihat imut saja. “Biar gak jomlo,” jawab Raina. “Enak aja. Banyak yang mau sama aku. Cuma gak pengen aja.” “Pengennya sama siapa?” “Sama kamu.” “BOHONG.” Lidahnya menjulur, membuat Rio ingin mencubit pipinya. “Kok kayaknya gak di rumah?” “Iya. Aku di rumah Nenek.” “Have fun, Teteh pengangguran, yang kayak gak punya beban.” Raina tertawa. “Bisa aja, sih, Akang. Gimana Bunda? Udah ngabarin ada lowongan di kantornya?” Berbakat menawarkan barang maupun jasa, Raina berniat bekerja di perusahaan asuransi. “Belum. Perusahaan tempat Bunda kerja malah lagi krisis. Kalau butuh, pake uangku aja dulu.” “Kayak istri aja dinafkahin.” Rio tidak menjawab. “Udah, ya, di sini mau maghrib. Bye, Bapak Pilot.” “Iya. Kelinci masuk kandang dulu. Jaga kesehatan, makannya yang teratur. Awas kalau maag kambuh lagi.” Rio menunjukkan kepalan tangan di depan layar. Raina mematikan filter kelinci dan menggantinya menjadi penyedot WC. “Siap, Pak.” Tangannya hormat sebelum mengucap salam dan menutup telepon. Melihat senyum Raina, membuat Rio sedih tidak bisa memberikan bantuan selain berdoa. Rio sering menawarkan pemberian uang saat dia mendapat gaji, tetapi sahabatnya itu selalu menolak. Padahal, Rio tahu kebutuhan Raina untuk mencukupi keperluan keluarganya juga banyak. Apalagi sejak wanita itu memutuskan keluar dari maskapai. Dia sudah tidak mendapat pemasukan, selain membantu neneknya berjualan tanaman. Rio menyayangkan dirinya sendiri. Kenapa sampai detik ini belum ada keberanian untuk menghalalkan Raina? Mungkin dengan cara menghalalkannya itu bisa melindungi Raina dan membawa keluarga wanita itu ke dunia yang lebih baik. Dunia yang membuat Raina tidak muak lagi. Lagi-lagi rasa trauma akan perceraian kedua orangtuanya membuat Rio mengurungkan niatnya untuk menikah. Menurutnya, bunda dan ayahnya yang religius saja bisa bercerai. Perpisahan itu membuat Rio takut menjabat tangan wali Raina dan mengucapkan janji seorang pria yang akan mengesahkan seorang wanita menjadi istri. Pria berpakaian pilot itu mengusap wajah dengan kasar lalu beranjak dari tempat duduknya. Dia melihat jam hitam yang melingkar di tangannya. Ya, waktu penerbangan selanjutnya tersisa kurang tiga puluh menit. Rio harus prepare untuk melakukan penerbangan. *** Bakda maghrib, di depan TV, Raina tiduran di pangkuan di nenek Karla. Tangan nenek yang sudah keribut menyisir rambut cucunya dengan jemari. “Kamu emang beda sama mamamu. Kalau kamu penuh kelembutan, mamamu kasar.” “Raina cuma berusaha jadi perhiasan dunia, Nek. Salah satunya ya bersikap lembut dan tersenyum. Senyum itu dasyat loh, Nek. Salah satu investasi akhirat termudah. Sedekah tanpa merogoh kantong.” “Semoga kamu cepat menemukan kebahagiaanmu.” Raina memejamkan mata. “Kayak gini sama nenek aja Raina udah bahagia. Bagi Raina bahagia itu gak sulit. Tidak membandingkan diri sendiri dengan nikmat yang Allah kasih buat orang lain, itu udah cukup. Simple, tapi susah orang lakuin. Padahal kebahagiaan juga gak akan ketuker, orang bahagia itu bisa diciptain dari diri sendiri.” Bibir nenek mengecup pipi Raina, lalu Raina bangun. Bergantian melakukan hal yang sama. “Maafin nenek yang gak bisa didik mamamu.” Raina tidak ingin neneknya sedih. “Nenek gak usah urusin mama. Biar Raina aja yang menangani. Tugas nenek Cuma bahagia, bahagia, dan bahagia.” Dia yakin suatu saat bisa membuat mamanya berubah. “Dia itu salah pergaulan. Salah milih teman saat kuliah. Kuliah berhenti di tengah jalan. Waktu hamil kamu, nenek minta dia berhenti dari dunia itu, tapi dia gak mau. Kebun nenek belum sebesar sekarang, mungkin mamamu gak puas sama kehidupan yang terlalu sederhana. Sudah dimanjakan oleh kehidupan dunia.” Hening berlangsung agak lama, Raina dan Karla hanyut dengan pikiran masing-masing. Raina mengakui perkataan nenek kalau mamanya memang menyukai pekerjaan itu. Sempat dia meminta mamanya menikah, tetapi usulan itu hanya menjadi bahan tertawaan. Semenjak Raina berhenti kerja mamanya juga semakin menggila. Kadang seminggu tidak pulang. Seminggu lalu dia meminta BPKB mobil anaknya untuk digadaikan. Alhasil Raina menyerahkan setengah tabungan yang tersisa. “Raina yakin bisa ajak mama lebih baik. Doain, Nek.” “Pasti nenek doakan.” Saat itu Raina tidak tahu bahwa pengorbananya tidak semudah perkiraan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD