Bab 3 - I Love You, Rio

1383 Words
Titik-titik pertemuan kita akan menjadi bentuk yang indah dengan balutan cinta dengan ridha-Nya. Semua itu akan selalu aku semogakan karena kamulah sang idaman. *** Kata Nenek Karla, kalau ayam jago berkokok di malam hari, itu pertanda ada anak gadis yang hamil di luar nikah atau ada makhluk halus lewat. Itu kepercayaan ibu Nenek Karla. Namun, ternyata itu berkebalikan dengan hadis nabi yang Raina pelajari minggu lalu di Majelis Taklim An-Nisa. Dalam hadis yang diriwayatkan HR. Bukhari dan Muslim, itu menjelaskan jika mendengar ayam berkokok disunahkan untuk berdoa karena dia sedang melihat malaikat. Namun, apabila mendengar ringkikan keledai, maka mohonlah pelindungan dari godaan setan karena dia sedang melihat setan. Awal mengetahui penjelasan itu, Raina merasa konyol. Dulu, setiap mendengar ayam peliharaan Nenek, biasanya dia malah tidur lagi, takut menjalankan salat. Apalagi ditambah dengan film pendek yang menayangkan hantu salat di belakangnya. Namun, semenjak tahu ternyata ayam melihat malaikat, Raina malah semakin giat. Semakin bersemangat doa-doanya akan diijabah. Seperti malam ini, perempuan berusia dua puluh empat tahun itu menghilangkan rasa kantuk dengan air wudu. Dia memilih salat di kamar karena lampu tempat salat mati. Dengan remang-remang lampu tidur, Raina menjalankan salat tasbih, taubat, tahajut, dan diakhiri dengan hajat. Usai salat dan berzikir, Raina berdoa, membayangkan Allah SWT sedang berhadapan dengannya. Banyak yang dia minta sekaligus syukuri. Bisa bangun di tengah orang lain terlelap adalah wujud nikmat Allah SWT yang mungkin tidak terasa jika tidak disyukuri. Selain memohon kebaikan, Raina juga mohon lekas dipertemukan dengan jodoh. Di usianya yang matang, menikah adalah salah satu tujuan. Bukan karena dihimpit, dia ingin menyempurnakan agama. Apalagi bulan ini banyak sekali teman di majelisnya yang mengadakan resepsi. Namun, bagi Raina, sepertiga malam bukan hanya soal perjodohan. Ini tentang tali cintanya kepada Allah SWT. Pada akhirnya, apakah seseorang itu menikahi jodoh atau maut terlebih dahulu, Allah SWT yang paling tahu. Menikah hanyalah sarana beribadah demi mencapai cinta yang paling utama, yakni cinta Allah SWT. Paginya, setelah sarapan, Raina berpamitan kepada Nenek. Dia harus bertemu teman dekatnya yang juga ada di Majelis An-Nisa. “Nek, Raina harus balik ke rumah. Ada janji sama temen.” “Janji, ya, ke sini lagi.” “Diusahakan, Nek. Lagian Raina mau coba ujian masuk di perusahaan asuransi. Gak enak jadi pengangguran.” “Jangan lupa cari jodoh juga.” “Nenek! Raina, kan, perempuan yang bisanya menunggu.” “Itu si Rio apa kabar? Dia juga belum nikah, kan?” Nenek tahu saja kalau Rio adalah lelaki yang dia tunggu. “Rio kan masih anu.” Hampir saja dia menceritakan hal pribadi Rio kepada orang lain. Nenek penasaran dengan kelanjutan cerita sang cucu, tetapi cucunya langsung berlari ke luar rumah. *** Raina bertemu dengan Atika saat gadis itu hendak mengakhiri hidupnya di kamar kontrakan yang masih satu lingkungan dengan Raina tinggal. Beruntung Raina sangat peduli dengan tetangga. Dia merangkul dan mengenalkan Atika kepada teman-temannya di An-Nisa. Meskipun waktu itu Raina belum menutup rambut dengan sempurna, dia sudah aktif menghadiri majelis ilmu. Raina-lah yang mengajarkan Atika mengenai betapa berharganya hidup. Atika terkekeh tanpa suara mendengar cerita dari sahabatnya. Pemaparannya begitu ekspresif menunjukan betapa muak dia dengan pria sombong yang akan membeli semua tanaman neneknya. "Udah, ini loh minum dulu. Gak usah mencak-mencak gitu. Ngabisin tenaga saja." Dia menyodorkan segelas sari buah jeruk. "Kalau ketemu lagi, bakalan aku injak kakinya. Awas aja kalau sampai nongolin batang hidung di depanku, hilang tuh hidung," ancam Raina.[O31] [MD2]  "Kenapa sih, Raina?" Kehadiran mama Atika membuat Raina terkesiap malu. "Ini loh, Ma. Raina lagi cerita pelanggan yang ngeselin. Kemarin Raina ke rumah neneknya terus ada bapak-bapak yang mau borong tanaman, bayarnya sepuluh kali lipat loh," terang Atika seraya membenarkan kacamata ber-frame putihnya. "Tajir dong berarti, Ran,” goda mama Atika. "Tajir kalau gak punya sopan santun percuma, Tan." Melihat minuman Raina masih utuh, mama Atika mempersilakan. "Minum dulu. Marah-marah juga butuh tenaga." Raina merasa malu, sedangkan Atika geli melihatnya. Perbincangan keduanya berlanjut setelah mama Atika kembali ke dapur. "Kenapa, Tik? Ekspresinya biasa aja bisa?" protesnya mendapati Atika menatapnya sambil menyangga dagu. Mulutnya sampai menganga tanpa sadar. "Kamu ketemu cowok kayak gitu aja udah kualahan. Apalagi aku ketemu bosku. Hhmmm…, aku mau pindah kerja.” “Wah, kerja di mana? Udah diterima?” “Minggu depan udah masuk.” Tampak pancaran cerah dari wajah Atika. Dia memang sudah lama mengeluhkan jam kantor yang molor tanpa gaji lebih. Syukurlah kalau dia sudah menemukan tempat yang lebih tepat. “Apa semua pelanggan ngeselin gitu?” Raina teringat Yusuf. “Hmm..., enggak. Ada sih yang lumayan baik.” Senyum Raina berkembang mengingat kejadian mengesankan itu. Namun kemudian sadar kalau dia sudah memikirkan terlalu jauh. “Dari ekspresimu tampaknya dia istimewa.” “Udah ah, kenapa jadi gibah dan ngomongin cowok sih!”[O34] [MD5]  Ponsel Raina bergetar. Tanpa perlu diaba-aba jantungnya berdegup cepat. Pesan dari Rio Adara Saputra. Ada ribuan bunga berterbangan di dalam hatinya. Atika membaca perubahan sikap sahabatnya. "Why?" "A... E... Rio." Pipinya merona merah dengan bibir tersenyum lebar. "Dia lagi? Kenapa sih kalian gak cepetan nikah aja,” ucap Atika gemas sambil menempelkan bibir di tepi gelas. "Gak semudah itu." Raina merapikan barang-barang yang tadi sempat dia keluarkan ke dalam tas. "Aku harus pamit." "Kok buru-buru? Pasti mau nge-date," tebaknya asal. Atika tahu hal yang paling sulit dilakukan Raina adalah menjauhi Rio. Walaupun dia tahu persahabatan lelaki dan perempuan dapat menimbulkan s*****t. Tanpa bersalaman, kakinya sudah melangkah keluar rumah. "Rio pulang. Aku harus jemput di bandara.” "Oh..., ya udah hati-hati." Atika berdecak menyaksikan kelakuan Raina. Raina setengah berteriak. “Salam juga buat Tante gak bisa pamit. Bilangin, Raina jemput calon suami.” “Aaamiiiiin,” balas Atika penuh penekanan seraya menengadahkan tangan lalu mengusap wajah persis orang selesai berdoa. Atika memang dekat dengan Raina, tapi gadis itu tidak begitu ikut campur urusan pribadi. Apalagi tentang mama Raina, Atika akan menghindari pembahasan yang membuat sahabatnya itu akan bersedih. Ketika Raina sampai di bandara, Rio sudah berdiri tegap di samping tiang. Tangan kirinya memegang erat pada pegangan koper. Dia sedang bicara dengan wanita berhijab. Tampaknya masih seumuran dengan Raina. Hal tersebut membuat hatinya sedikit tergores, ada rasa perih yang Raina yakini bernama cemburu. Cemburu? Hah, seluruh alam semesta pantas menertawainya. Siapa dia hingga memiliki rasa cemburu kepada lelaki yang hanya sahabat? Terlalu klise, sahabat jadi cinta. Tidak pantas jika sahabat mencemburui sahabatnya gara-gara dekat wanita lain. Oh ya, sebenarnya Raina tahu bersahabat dengan laki-laki kurang baik menurut ajaran Islam, walaupun statusnya sahabat, mereka tetaplah kaum Adam. Bukan mahram. Cepat atau lambat Raina juga ingin menjauh dari Rio. Itu tekadnya, kecuali Rio bersedia menghalalkannya. "Lama sekali," keluh Raina begitu Rio duduk di kursi belakang mobilnya. [O36] Hati wanita itu semakin memanas melihat senyum Rio yang tidak berhenti sejak bersama wanita tadi. "Iya. Lama gak ketemu sama dia, jadi ngobrol dulu," curhat Rio mengundang kekesalan yang menjadi-jadi. "Oh...." Lirikan mata Raina menyeramkan. Mobil Raina melaju. Keheningan yang berlangsung cukup lama membuat Rio mencari cara mencairkan keadaan. "Ke taman dekat rumah dulu, yuk." "Hmm." Sepanjang perjalanan menuju taman, Rio sesekali melirik Raina yang acuh tak acuh. Wanita itu lebih sering mengalihkan pandangan ke penjuru lain daripada kepadanya. "Bagaimana kabar Nenek?" Rio mengajak Raina kontak mata melalui spion tengah, tetapi Raina menghindari tatapan itu. "Baik." "Tidur di rumah Nenek berapa hari?" "Satu malam." "Kamu kenapa sih?" Pertanyaan tidak penting keluar juga. Bertahun-tahun mengenal Raina seharusnya dia tahu reaksi apa yang diberikan Raina. "Hah? Gak apa-apa." “Gak apa-apa sama kenapa-napa itu beda tipis, loh.” Tidak ada jawaban. Usaha Rio memulihkan keadaan ternyata gagal. Tidak lama kemudian, dering di ponsel Rio memecah keheningan. Selesai mengobrol dengan orang di ujung telepon, Rio pamit kepada Raina. "Raina, aku harus pulang.” Raina berdecak kesal. Ekspresi wajahnya semakin tidak enak dipandang. “Ini aja belum jadi ke taman loh." "Lain kali aja." Mungkin kalau dalam kondisi normal, Raina pasti akan mengerti. Namun, karena mood-nya sedang tidak baik karena insiden di bandara tadi, rasanya dia begitu kesal sekarang. Santai, Raina, mungkin mereka hanya teman, sementara kamu sahabatnya. "Ya udah. Aku turun di sini aja." Cara Raina menepikan mobil dan mengerem menunjukan singal kekesalan. Rio mendekati Raina sebelum turun, saat wanita itu menghadap ke belakang tangannya jail menjitak sahabatnya sambil berujar. "Gadis yang tadi bukan siapa-siapa kok." Beberapa kali Raina menahan sudut mulutnya agar tidak melengkung ke atas. Namun, perasaan bahagia itu tidak bisa disembunyikan. Kalau Raina ditanya siapa lelaki paling peka di dunianya, dia akan menjawab Rio. Pasti tidak sulit bagi Rio membaca sikap Raina. Celah mata Rio menyempit, sudut luarnya membentuk kerutan. Ada kebahagiaan yang juga hadir mengetahui kecemburuan wanita itu. Kalau saja Raina tahu, Rio memang sengaja membuatnya gelisah. Dengan begitu sikap kekanakan Raina akan keluar, bersamaan denngan rasa ingin melindungi yang dimiliki Rio. Setelahnya, pria itu berjalan menuju halte bus diiringi pandangan mata Raina. Sungguh hubungan yang rumit. Semoga Allah SWT memadukan cinta mereka dalam ridho. Menyatukan hati yang penuh harapan suci menuju Jannah-Nya. Dua puluh empat tahun Raina hidup di dunia, hanya Rio yang hampir memenuhi syarat suami dalam Islam: taat beragama, mandiri, bertanggung jawab, berjiwa pemimpin, dan santun.[ ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD