1. The Beginning

1054 Words
Anindira mengusap kaca jendela kamarnya yang berembun dengan punggung tangan. Tatapannya masih tertuju pada butiran-butiran air hujan yang berlomba membasahi bumi. Gemuruh suara angin membawanya kembali ke ruang hampa di sudut terdalam hatinya. Perlahan, air matanya meluruh dan memori tentang dia yang pernah  dilukai begitu dalam kembali menyeruak. Dia yang selalu menjadi mimpi buruk Anindira selama bertahun-tahun. Seluruh pengorbanannya hilang tak berbekas. Kini, yang Anindira punya hanyalah rasa penyesalan yang begitu dalam. Satu-satunya kebodohan yang sangat ia sesali adalah tentang dia. Dia, yang karena kebohongannya sudah menelan penderitaan begitu dalam. Dia, yang seharusnya menjadi pesaing Anindira dalam meraih nilai ujian tertinggi harus mendekam di rumah tahanan. Dia, yang selama ini menyiksa batin Anindira dengan rasa bersalah berkepanjangan. Tapi, hidup harus terus berjalan. Alunan merdu What Makes You Beautiful milik One direction menginterupsi lamunannya. Anindira meraih ponselnya dari atas nakas. Jantungnya melompat-lompat melihat nama si pemanggil di layar ponsel itu. "Iya, saya Anindira Elvina," balasnya pada seseorang di ujung telepon. Beberapa saat Anindira berdiam diri mendengarkan si penelepon berbicara, lalu berucap, "Oh, iya. Besok saya akan datang untuk wawancara, Bu. Terima kasih." Hidup memang tak selalu berjalan seperti apa yang kita inginkan. Setelah lulus menjadi seorang sarjana, Anindira tak lantas bisa langsung bekerja. Meskipun ia lulusan dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri, ternyata tak memudahkan Anindira mendapatkan pekerjaan. Tahun pertama setelah lulus, Anindira hanya bisa bekerja sebagai kasir di sebuah mini market milik kakaknya. Tahun ini Anindira bertekad mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya di bidang Akuntansi. Ia tak mau lagi menjadi kasir di mini market. Sebulan lamanya Anindira mondar-mandir ke beberapa perusahaan untuk melamar pekerjaan, namun belum mendapatkan hasil sampai si penelepon tadi menghubunginya. Semalaman ia hampir tidak bisa tidur. Ia mengacak-acak lemari mencari pakaian yang cocok untuk dikenakan besok pagi. Ia tidak pernah menyana jika perusahaan sebonafide Citra Prana Steel & Coal  meliriknya untuk menjadi salah satu kandidat karyawan mereka. Pagi-pagi sekali Anindira sudah bersiap diri. Dengan setelan blazer berwarna krem dan tatanan rambut ekor kuda yang sangat rapi, Anindira mematutkan diri di depan cermin. Setelah dirasa tampilannya sempurna, ia segera keluar dari kamar dan langsung menuju ruang makan. Sambil mengunyah roti lapis yang telah disiapkan Lia, mamanya, Anindira menghapal beberapa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan dalam wawancaranya nanti. "Sudah hampir jam tujuh, Nin." Lia mengingatkan. Anindira menghabiskan sisa roti di piringnya dengan cepat lalu berdiri dan kemudian melangkah melintasi meja menuju Lia yang duduk di seberang meja. Nindi sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Lia seraya berkata, "Ma, doakan Nindi supaya diterima kerja ya." "Mama, akan selalu mendoakan kamu. Semoga berhasil, ya, Nak." Lia mengecup lembut pipi Anindira. Setelah ayahnya meninggal dan kedua kakaknya menikah, Anindira hanya tinggal berdua dengan Lia di rumah peninggalan ayahnya. Tidak banyak yang perlu diceritakan tentang keluarga Anindira, selain ia memiliki keluarga yang sempurna. Ayahnya seorang pegawai negeri sipil di Departemen  Keuangan dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. *** Duduk di deretan kursi tunggu calon karyawan di gedung yang merupakan kantor pusat administrasi perusahaan pertambangan swasta terbesar di Indonesia, perasaan Anindira tiba-tiba berkecamuk tidak menentu. Ia mulai dihinggapi rasa gugup saat mendekati detik-detik pemanggilan dirinya oleh HRD perusahaan itu. Beberapa kali ia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. "Saudari Anindira Elvina, silakan masuk ruangan HRD," kata seorang wanita berpenampilan menarik dan berambut pendek. "Oh, iya, Bu," Anindira bergegas memasuki ruangan HRD dengan perasaan gugup. Kakinya terasa kebas dan kepalan tangannya mulai berkeringat. "Silakan duduk," kata seorang pria setengah baya yang duduk di seberang meja jati. Anindira duduk dengan tubuh setengah kaku. "Anda Anindira Elvina?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Iya, saya, Pak. Saya Anindira Elvina." "Anda tahu apa nama perusahaan ini?" "Iya, Pak. Nama perusahaan ini Citra Prana Steel & Coal Tbk," "Saya kepala HRD di perusahaan ini. Namun, saya tidak bisa memutuskan Anda bisa diterima kerja di sini atau tidak karena CEO sekaligus owner perusahaan ini yang akan memutuskannya," ucap pria berjas hitam yang mengaku sebagai kepala HRD. "Jadi, silakan Anda ke ruangannya. Beliau sudah menunggu Anda di sana." "Oh, begitu, ya, Pak. Baiklah." Anindira sedikit kebingungan. Biasanya yang menerima karyawan baru itu HRD. Kenapa aku harus bertemu dengan CEOnya, baru keputusan diterima kerja atau tidaknya akan diberikan? Batinnya. "Ya, silakan ke ruangannya. Ruangannya ada di ujung lorong ini," jelas pria itu. "Iya, Pak. Terima kasih." Anindira bangkit dari kursinya lalu keluar dari ruangan. Ia berjalan pelan menyusuri lorong sambil memutar otak mencari jawaban dari kejanggalan yang ia rasakan. Ia mengembus napas panjang berulang kali untuk mengembalikan konsentrasinya yang menguap. Kini, pandangannya ia alihkan pada tulisan-tulisan yang tertera di pintu-pintu ruangan yang berderet di sepanjang lorong.  Tiba di ujung lorong, Anindira melihat papan pengenal bertuliskan 'CEO' yang cukup besar. Ia memberanikan diri mengetuk pintu ruangan itu. Tidak menunggu lama, seorang wanita muda bersetelan blazer dan rok pendek hitam membuka pintu. "Anindira Elvina?" tanya wanita itu. "Iya," jawab Anindira sembari mengembangkan senyuman kaku. "Silakan masuk. Mr. K sudah menunggu Anda." Wanita itu mempersilakan Anindira masuk dengan sopan. Anindira melangkah masuk. Ia merasakan denyut jantungnya berdentam hebat. Meskipun begitu, ia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. Tatapannya menyisir seluruh sisi ruangan mencari sosok Mr. K yang disebutkan wanita tadi. Untuk sesaat, Anindira berdecak kagum melihat ruang kerja yang cukup luas dan bernuansa hangat yang memenuhi pandangannya. Namun, kekagumannya pada desain interior ruangan tersebut harus segera berakhir setelah ia melihat sosok pria yang sedang duduk menatap keluar jendela besar dari balik meja kerja.  Dari tempatnya berdiri, Anindira bisa melihat kepala dengan rambut berwarna cokelat chessnut dan bahu lebar yang terbalut jas abu-abu. Ia terus berjalan menuju kursi eksekutif yang membelakanginya. Debaran jantungnya kini terasa lebih kencang dari sebelumnya. Seperti akan meledak. Semakin dekat jaraknya dengan sosok pria itu, semakin Anindira tidak tahu harus melakukan apa. Rasanya tidak sopan jika ia harus langsung menyapanya, tapi ia harus melakukan sesuatu agar CEO itu sadar akan kehadirannya di ruangannya ini. "Selamat pagi, Pak," tutur Anindira sedikit ragu. Tidak ada reaksi apapun dari pria yang duduk di balik kursi itu. "Selamat pagi, Pak." Anindira mengulang salamnya dengan nada dua kali lebih tinggi. CEO itu memutar kursinya. Anindira masih berdiri mematung dengan wajah tertunduk. "Selamat pagi," sahut sang CEO dengan suara berat dan terkesan dingin. Anindira mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Damn! Lutut Anindira tiba-tiba lemas dan napasnya otomatis tercekat di tenggorokan. Ia ingin segera berbalik lalu berlari ke luar, namun reaksi tubuhnya berkata lain. Ia hanya bisa memandang sang CEO dengan bibir terkunci rapat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD