Bab 2

1146 Words
Laura keluar dari mobil Chris dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Entah mengapa dia merasa sedih, tetapi juga merasa bersalah di waktu yang bersamaan. Dalam hatinya dia kemudian mempertanyakan keputusannya lagi. Apakah tepat apabila dia menyuruh Chris melupakan kejadian tadi malam? Apakah tidak masalah apabila dia menolak Chris yang merupakan atasannya di tempat kerja? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus muncul di dalam otak kecilnya, membuatnya pusing seketika. Laura menengadahkan kepalanya menatap langit. “Ya, Tuhan, sepertinya aku akan gila.” Bertepatan dengan perkataannya, tiba-tiba ponselnya bergetar menandakan pesan masuk. Laura langsung membacanya sebelum kemudian membanting ponselnya sembari berteriak memaki. “Argh! Sialan kau, Gavin! Aku sangat membencimu! Dasar pria b******k!” Laura menghembuskan napas kasar, sebelum akhirnya berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan yang berada di atas lutut. Dia merasa kesal karena Gavin tiba-tiba memutuskannya secara sepihak, bahkan hanya melalui sebuah pesan singkat. Bukannya Laura tidak ingin putus dengan pria sialan itu, hanya saja dia merasa tidak terima karena menurutnya semua itu tidak benar. Gavin berselingkuh dengan wanita lain, lalu tiba-tiba memutuskannya begitu saja. Pria itu tidak berhak melakukannya, tetapi Laura-lah yang seharusnya terlebih dahulu memutuskannya, mencampakkannya, dan membuang pria sialan itu ke dalam tong sampah. “Sialan kau, Gavin! Hanya karena sudah mendapatkan mainan baru, kau malah dengan mudahnya memutuskanku yang sudah menemanimu selama dua tahun ini!” Ah, rasanya Laura ingin menangis. Akan tetapi, jika dia menangis sekarang, maka itu artinya dia sangat lemah. Tidak peduli meskipun Gavin memutuskannya, Laura tidak boleh sampai menangis. Ada banyak sekali pria di dunia ini yang lebih baik dari Gavin, jadi dia tidak boleh sedih hanya karena diputuskan oleh pria sampah yang berselingkuh di belakangnya. Sementara itu, di tempat yang sama, Chris yang masih belum pergi pun tampak terkejut ketika melihat Laura yang tiba-tiba membanting ponselnya ke atas tanah. Entah karena apa, tetapi sepertinya gadis itu sedang marah. Sampai kemudian gadis itu berjongkok dan mulai menyembunyikan wajahnya, sontak Chris menghela napas. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Laura? Kau terlihat sangat marah, lalu tiba-tiba saja bersedih. Aku memang tidak bisa memahamimu.” Seketika Chris menyandarkan punggungnya pada kursi, kemudian memejamkan mata. Masa bodoh dengan apa yang sedang terjadi kepada gadis itu sekarang, yang jelas ... Chris harus memikirkan masalahnya sendiri. “Bagaimana caranya agar kau menjadi milikku, Laura? Haruskah aku membuatmu hamil terlebih dahulu?” Apabila kehamilan memang bisa membuat Laura menjadi miliknya, maka Chris berharap jika benih yang ditaburnya di rahim Laura akan tumbuh dan berkembang menjadi nyawa baru. Karena bagaimanapun, bukankah seorang gadis yang hamil di luar nikah biasanya akan langsung meminta pertanggungjawaban pria yang menghamilinya? Chris memikirkan hal itu, dan tentunya dia sangat berharap jika hal itu akan terjadi kepada Laura sehingga nantinya dia bisa bertanggung jawab dan menikahinya. “Laura, aku harap ... kau benar-benar akan hamil.” Chris menyeringai tipis, sebelum akhirnya menghidupkan mobil dan langsung membawanya pulang ke apartemen. Meskipun jarak apartemennya dengan apartemen Laura terbilang cukup jauh, tetapi Chris bisa langsung tiba hanya dalam waktu beberapa menit berkendara. Chris membuka pintu apartemen, melepas sepatu dan menyimpannya dengan rapi di dalam rak. Ketika baru saja hendak melangkahkan kakinya menuju kamar, kedua matanya sontak langsung mendapati sesosok wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa dengan mata terpejam. “Apa yang Ibu lakukan di sini?” Chris bertanya dengan wajar datar. Tidak biasanya sang ibu berkunjung ke apartemennya, kecuali jika wanita itu memiliki suatu hal yang perlu dibahas dengannya. Seketika wanita yang baru saja dipanggil ibu itu pun menoleh, menatap ke arah putranya yang baru saja datang. “Bagaimana kabarmu? Kau sudah lama tidak pulang ke rumah, jadi Ibu datang untuk melihat wajahmu.” Chris mendengus. Tidak mungkin ibunya datang hanya karena alasan sepele seperti itu. Dia sangat tahu sifat ibunya, dan tentu saja dia tahu bahwa perkataan ibunya barusan hanyalah omong kosong. “Apa yang Ibu inginkan dariku? Katakan dengan cepat, dan setelah itu pulanglah.” Chris tidak suka dengan kehadiran ibunya. Sejak ibunya memutuskan untuk bercerai dengan sang ayah, hubungan mereka menjadi tidak akur. Chris mengerti jika ayahnya salah karena memiliki wanita lain di antara hubungan mereka, tetapi semua itu karena sifat ibunya yang tidak pernah menghargai orang lain. Ibunya selalu meremehkan sang ayah hanya karena dirinya lebih kaya dan memiliki status sosial lebih tinggi dari sang ayah. Jadi, wajar saja jika ayahnya merasa muak dan berpaling kepada wanita lain. Sunny mengubah posisi menyilang kakinya ke arah lain, lalu melemparkan beberapa lembar foto ke atas meja. “Bertemulah dengan para wanita ini. Mereka adalah kandidat pilihan Ibu, dan semuanya berasal dari keluarga terpandang. Kau bisa berkencan buta dengan mereka, lalu pilihlah salah satu untuk dijadikan istri.” Seketika Chris mengerlingkan mata. Sesuai dugaannya, kedatangan sang ibu ke apartemen ini pasti karena memiliki maksud tertentu terhadapnya. Namun, kencan buta? Istri? Apakah ibunya sedang berusaha menjodohkannya dengan seseorang? Kalau begitu, sayang sekali. Chris sama sekali tidak tertarik dengan hal semacam itu. Chris membuka tuksedo yang dikenakannya dan langsung menyampirkannya pada kursi. Dia kemudian mengambil sebotol air mineral di dalam kulkas, lalu menghampiri ibunya setelah meneguk habis sebotol air tersebut. “Apa mereka yang ingin Ibu kenalkan padaku?” Chris menunjuk beberapa lembar foto yang ada di atas meja, lalu mendengus. “Mereka cukup cantik, tapi sayangnya aku tidak tertarik.” “Kau berkata seperti itu karena belum bertemu dengan mereka. Oleh karena itu, setidaknya berkencanlah dengan mereka walaupun hanya satu kali. Kau bisa memutuskannya setelah mencobanya terlebih dahulu.” Chris mengambil semua foto di hadapannya sebelum merobeknya menjadi dua bagian. “Aku sama sekali tidak tertarik dan tidak akan pernah tertarik dengan mereka. Jadi, sebaiknya Ibu menyerah sekarang.” “Sampai kapan kau akan terus seperti itu, Chris? Usiamu sudah 32 tahun. Kau sudah bukan anak-anak lagi, melainkan seorang pria dewasa yang sudah siap untuk menikah. Bukankah sudah waktunya kau menikah dan berkeluarga? Ibu sudah menyiapkan beberapa kandidat yang akan cocok menjadi istrimu, dan kau hanya perlu memilih salah satu di antara mereka. Bukankah itu tidak sulit?” Perkataan sang ibu langsung membuat Chris menyeringai tipis. “Mengapa Ibu menyuruhku untuk segera menikah dan berkeluarga, padahal Ibu sendiri pun tidak bisa mempertahankan pernikahan dan keluarga Ibu dengan baik?” Chris tentu saja ingin menikah, tetapi dia hanya akan menikah dengan Laura. Dia tidak ingin menikahi wanita lain, apalagi dengan cara dijodoh-jodohkan seperti ini. Sunny menatap tajam putranya. “Jangan membanding-bandingkannya dengan pernikahan Ibu! Semua orang memiliki kisah yang berbeda, begitu pula denganmu.” “Terserah Ibu hendak mengatakan apa, yang jelas aku sama sekali tidak tertarik berkencan dengan mereka. Seperti yang Ibu katakan tadi, aku sudah dewasa. Jika aku memang ingin menikah, maka aku akan menikah dengan wanita pilihanku sendiri.” Sunny mengernyit. “Wanita pilihanmu sendiri? Maksudmu, kau akan menikah dengan wanita mana saja asalkan kau menyukainya? Begitu?” “Ya, aku hanya akan menikah dengan wanita yang kusukai. Oleh karena itu, sebaiknya Ibu berhenti menjodoh-jodohkanku dengan wanita yang tidak kukenal hanya karena mereka berasal dari keluarga terpandang dan kaya raya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD