13

1060 Words
TITIK TEMU [13] Belum siap! __________________ Rainbow cafe terlihat cukup ramai siang ini. Karena sebuah menu baru yang seringkali diposting oleh para pelanggan setianya di sosial media mereka, Layarkaca. Albi merasa sangat beruntung karena cafe-nya bisa bertahan dari badai masalah yang dibuat oleh Shena beberapa waktu lalu. Untunglah mereka yang pernah datang kesini, tidak ragu untuk datang lagi. Tentu saja semua itu karena Albi mati-matian tetap menjaga rasa dan kualitas dari setiap menu yang berada di cafe-nya. Albi adalah orang yang sangat mencintai setiap proses. Jadi, bisnis baginya adalah ketekunan yang tidak boleh putus. Tangannya memang masih cidera, cukup sakit ketika mengangkat galon atau membawa nampan dengan gelas-gelas bekas yang cukup banyak di atasnya. Sehingga, mau tidak mau, teman-temannya yang lain datang memberikan bantuan. Ada Liliana, Rilo, dan juga Sofya yang sibuk melayani pelanggan dengan senyum lebarnya. Mereka memang sangat antusias membantunya. Tentu saja mereka bekerja tanpa pamrih sama sekali. Mereka tahu betul tentang kesulitan yang Albi hadapi dan masalah-masalah dalam hidup Albi yang tidak ingin mereka ikut campuri. Sekarang sudah pukul sembilan malam. Para pelanggan di dalam Rainbow cafe perlahan pergi. Cafe memang tidak buka 24 jam karena sebuah alasan yang sudah pasti dan jelas—tidak diijinkan Ibunya Albi. Perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik itu selalu menuntut Albi untuk ini-itu. Meminta Albi untuk belajar dan belajar. Mungkin cafe ini tidak ada artinya. Namun untuk seorang Albi, Rainbow cafe adalah segalanya. Hidupnya! Liliana dan Sofya sibuk berdiri di wastafel untuk mencuci bekas gelas atau piring milik pelanggan. Rilo mengelap meja satu-persatu dengan lap dan cairan pembersih. Nandan sendiri sedang menyiapkan minum untuk mereka semua. Sedangkan Albi? Duduk sendirian sambil menatap teman-temannya yang melakukan pekerjaan mereka dengan tertawa riang. "Guys, makanannya baru otw dari restorannya." Ucap Nandan memberi informasi kepada semua orang yang berada di sana. "Makasih Rilo," kompak mereka semua. Ya, makanan kali ini dibayar oleh Rilo, lagi. Cowok itu memang serba memiliki. Apapun yang diinginkan langsung terkabul. Rilo memang terlahir kaya raya, namun dia cukup peduli dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Itu menurut kacamata seorang Albi yang terkadang masih melakukan kesalahan. Nandan memberikan ponsel Rilo kembali, "bahagianya punya teman tajir." "Diam Lo!" Galak Rilo yang membuat mereka semua tertawa. Nandan menatap ke arah halaman depan di mana seorang pengantar makanan sedang berdiri di dekat motornya. Memastikan jika alamat yang diberikan memang berada di sini. Lalu Nandan keluar dari cafe untuk mengambil pesanan mereka. Setelah itu dia masuk ke dalam dengan mengangkat plastik berisi pesanan mereka tinggi-tinggi. Albi hanya mengulas senyum tipis dan berjalan ke arah counter. Mengambil alih dalam membuat minum untuk mereka semua. Setelah seluruh sudut cafe bersih. Mereka mematikan beberapa lampu dan menyalakan dua lampu di sudut ruangan. Mereka duduk melingkar dan membuka makanan mereka. Kali ini, Nandan memilih menu seafood. Seperti yang sejak tadi Sofya inginkan. Teman-temannya ini memang sudah tidak punya malu. Apapun yang mereka inginkan langsung meminta kepada Rilo. Mengingat cowok itu tidak pernah pelit sama sekali. Mungkin uangnya terlalu banyak sehingga membutuhkan teman-temannya untuk menghabiskan. Albi menyuap makanannya sambil melihat teman-temannya yang sibuk dengan makanan masing-masing. Sesekali mereka akan bercanda dan menceritakan banyak hal tentang kejadian lucu hari ini. Albi yang pernah anti-sosial ini, akhirnya mempunyai teman yang baik seperti mereka. Bahkan ada yang menilai Albi dengan negatif. Tetapi mereka semua menganggapnya sebagai manusia yang normal. Mereka menerimanya apa adanya. Murni pertemanan. "Enggak suka makanannya?" Tanya Sofya yang sejak tadi memperhatikan cara makan Albi. Albi tentu saja langsung menggeleng dengan cepat, "suka kok! Suka." "Gue kira, gue salah milihin menu hari ini." Ucap Sofya dengan wajah bersalah. "Iya! Kesalahan Lo sama gue." Ucap Rilo menatap Sofya gemas. "Lain kali, biar gue yang pilihin makanannya." Sambungnya. "Kok gitu?" Ucap Nandan tidak terima. Rilo mengangguk mantap, "kalau kalian yang pilih, jatuhnya boros maksimal. Nih, siapa yang pesan kepiting segala? Pada kenyang 'kan? Alamat enggak dimakan lagi. Kalau kata Emaknya Nandan nih, mubazir." "Kok jadi Emak gue?" Ucap Nandan tidak terima. "Emak Lo the best pokoknya." Ucap Liliana sambil memelototi semua teman-temannya yang berdebat. Albi menatap mereka semua yang tiba-tiba diam, "gue ngerusak suasana lagi, ya?" Terkadang, diamnya Albi membuat mereka berpikir jika Albi sedang tak mau bercanda. Padahal Albi bingung ingin menanggapi seperti apa. Jujur saja, Albi tidak pernah tahu apakah dia pantas ikut bicara. Bukankah selama ini dirinya sama sekali tidak punya pilihan? Dia tidak punya hak untuk mengeluarkan pendapatnya tentang sesuatu. "Eh, btw, Lo yang anterin Liliana, ya. Gue mau ke bengkel Om gue dulu, mau service motor dulu." Ucap Nandan mengalihkan pembicaraan. "Motor Lo kenapa lagi?" Tanya Albi tidak enak. Nandan sedikit berpikir, "itu ada masalah sama remnya." "Terus Sofya?" Tanya Albi sambil menunjuk Sofya yang berada tepat disampingnya. "Dijemput Abang gue," jawab Sofya sambil makan. Albi manggut-manggut, "oke kalau gitu." Mereka menghabiskan makanan masing-masing. Lalu satu-persatu pulang, tinggallah Albi dan Liliana yang baru saja menutup cafe. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya tentang sekolah atau cafe. Terkadang membahas tentang pertemanan mereka. Tetapi tidak terlalu lama dan kembali ke cerita awal, seputar sekolah dan semua bimbel yang Albi ikuti selama ini. "Setelah kecelakaan kemarin, gue belum balik ke rumah sama sekali. Gue tidur di rumah Rilo waktu itu. Sekarang, gue tidur di cafe atau sesekali ke rumah Nandan. Kadang juga enggak tidur dan menikmati waktu sendirian. Kadang gue juga merasa kesepian, tapi sepi juga enggak semenyeramkan itu." Ucap Albi seraya memasangkan helm ke kepala Liliana. Cewek itu tersenyum tipis, "kalau gitu. Lo bisa pulang ke rumah kalau Lo siap!" "Enggak akan pernah siap kalau gitu!" Tandas Albi dengan senyuman tipis yang menghiasi wajahnya. Liliana menatap Albi, "apapun yang Lo lakuin, kita semua bakalan dukung Lo kok." "Makasih ya, Lo semua benar-benar teman yang baik. Gue enggak pernah dapat teman kaya kalian semua sebelumnya." Ucap Albi serius. "Gue sama yang lain pun sama. Kita belum pernah punya pertemanan seperti ini. Dulu, kita kumpulan orang-orang terbuang. Tapi yang terbuang itu, belum tentu enggak berharga. Jadi, Lo enggak perlu merasa diri Lo beda sama kita. Lo sama aja. Lo juga berhak untuk menentukan apa yang Lo mau dan apa yang bikin Lo nyaman." Nasehat Liliana kepada Albi. Albi mengangguk pelan, "gimana, mau pulang sekarang atau nanti?" "Sekarang lah! Sorry gue jadi bikin repot." "Enggak pa-pa, 'kan teman." Ucap Albi memberikan senyumannya. Mereka naik ke atas motor. Tidak lama kemudian, mereka telah menghilang ditelan jalanan. Meninggalkan cafe yang lampunya sudah tidak menyala. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD