TITIK TEMU
[14] Kembali ke rumah.
________________________
Nikmah Seranika, yang biasanya dipanggil dengan sebutan 'Ibuk' oleh Albi. Perempuan dingin yang selalu menginginkan kesempurnaan dari orang-orang terdekatnya. Dia suka mengorbankan segalanya dengan total, agar hasilnya pun maksimal. Sayangnya, dia memaksa semua orang untuk berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Mengatur kehidupan orang lain sampai ke akar-akarnya. Seharusnya tidak bisa begitu. Walaupun dia adalah seorang ibu. Walaupun dia berhak untuk menentukan masa depan anaknya, yang katanya demi kebaikan. Tetapi, tidak untuk diatur sampai sedemikian rupa ketatnya.
Nikmah membuat seorang Albi terkurung dalam rumahnya sendiri. Meminta anaknya untuk fokus dan tidak pernah bersosialisasi dengan siapapun. Membuat Albi menjadi sosok anti-sosial dan tidak punya teman. Nikmah menganggap, teman disisi Albi hanyalah benalu. Mereka hanya penghambat dalam proses pendidikan Albi. Teman-teman Albi yang selalu mendukungnya dan berjuang dengannya, membuat Nikmah sebal. Dia tidak suka jika anaknya terlena dengan semua pendidikannya, bimbelnya, dan terlebih lagi melawannya.
Albi yang penurut beberapa tahun lalu berubah semenjak masuk SMA enam bulan lalu. Anak itu tumbuh menjadi remaja yang cerdas tetapi mulai tidak menghormati Nikmah lagi. Itu pendapat Nikmah yang berpikiran buruk kepada anaknya sendiri. Tentu saja semua punya alasan. Alasan yang sudah Albi ketahui. Tentang Nikmah yang tidak ingin Albi seperti Ayahnya dan Albi seperti Kakak perempuannya, Indi. Karena harapannya hanyalah Albi saja. Tidak ada orang lain.
Nikmah membuka pintu rumahnya ketika terdengar suara motor Albi memasuki halaman rumah mereka. Akhirnya Albi pulang juga setelah beberapa hari menghilang entah kemana. Nikmah sempat datang ke Rainbow cafe beberapa kali. Tetapi jawaban teman Albi selalu sama, sudah beberapa hari Albi tidak pergi ke cafe. Nikmah akhirnya memilih menunggu di rumah. Anaknya itu pasti pulang, pasti! Dan sekarang terbukti. Albi pulang ke rumah.
Albi menatap Nikmah, tentu saja bukan tatapan yang menyenangkan dan bahagia. Tidak ada kerinduan sama sekali diantara mereka. Yang ada hanyalah perang di dalam batin masing-masing. Albi melangkah ke rumahnya, mendekat ke arah Nikmah yang berada di depan pintu. Cowok itu tidak bicara apapun sampai Nikmah mundur beberapa langkah ke dalam rumah untuk memberikan jalan.
"Darimana aja kamu? Ibuk cariin kamu di cafe, selalu enggak ada. Kamu menghindari Ibumu?" Tanya Nikmah meminta penjelasan saat Albi sedang melepaskan sepatunya.
Albi menatap Nikmah sejenak, "hm, mungkin!"
"Kamu bisa enggak jaga sopan santunmu," kesal Nikmah dengan nada sedikit tinggi.
"Bisa," jawab Albi seadanya.
Nikmah benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Albi bukanlah anak umur sepuluh tahun yang bisa dikendalikannya lagi. Albi sudah tumbuh secepat ini, 16 tahun itu umurnya. Entah mengapa Nikmah merasa jika dia kehilangan sosok kecil Albi yang masih sering menangis dan berjalan mendekatinya lalu memeluk erat tubuhnya ketika dijahili teman-temannya di sekolah.
"Kamu berubah drastis, Bi." Ucap Nikmah membuka pembicaraan di antara mereka. "Kamu ingat enggak, dulu kamu selalu cerita banyak ke Ibuk tentang keseharian kamu selama di sekolah. Kamu juga sering sekali menangis karena teman-temanmu sering mengejek kamu. Tapi, kamu yang sekarang berubah. Kamu sudah enggak banyak bicara sama Ibuk. Kamu jarang ada di rumah." Sambung Nikmah.
Albi tersenyum hambar, "pernah enggak Ibuk tanya ke Albi sekali aja tentang apa yang Albi mau. Pernah?"
Nikmah diam, dia tidak pernah menanyakan hal itu. Memangnya anak punya hak untuk mengatakan apa yang dia mau? Orang tua selalu melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya. Tetapi tidak semua hal baik itu, membuat anaknya bahagia. Catat, tidak semuanya. Sesekali akan ada rasa benci dan marah karena terkadang anak dijadikan objek untuk melanjutkan atau mewujudkan impian orang tua yang tidak tercapai dulu. Semua itu akan menjadi PR yang berat untuk anak. Anak akan merasa jika diri mereka tidak punya pilihan dan akhirnya mereka terbiasa untuk menerima.
"Mungkin Ibuk kecewa sama Ayah yang kena PHK dan enggak bisa cari uang yang banyak untuk keluarga kita. Mungkin Ibuk juga kecewa sama Mbak Indi karena dia hamil diluar nikah. Tapi yang harus Ibuk tahu, aku bukan mereka berdua. Aku bukan Ayah, aku bukan Mbak Indi, dan aku juga bukan Ibuk. Aku cuma Albi, Buk. Aku cuma manusia yang bernama Albi. Itu saja!" Tandas Albi dengan mata yang memerah.
"Ibuk melakukan itu demi kebaikan kamu," ucap Nikmah untuk kesekian kalinya.
Albi menatap Nikmah cukup dalam, "kebaikan Ibuk sendiri. Bukan kebaikan aku."
Nikmah kembali menatap Albi, tidak percaya dengan apa yang berulang kali Albi katakan tentangnya. Jika mereka sedang berdebat dan dirinya mengatakan tentang kebaikan Albi, maka Albi akan mengatakan hal sebaliknya.
"Sejak umur Albi sepuluh tahun, semua hal tentang kehidupan Albi, Ibuk yang mengatur. Seakan-akan, aku adalah artis dan Ibuk adalah manager. Ibuk mengatur semua kegiatanku dari pagi sampai sore. Harus sekolah di sini, harus masuk kesini, harus ikut bimbel ini, harus masuk ekskul ini, harus ini, harus itu, harus jadi yang Ibuk mau. Ibuk tahu Albi suka bahasa, tapi Ibuk meminta Albi untuk masuk IPA. Ibuk tahu Albi suka musik, tapi Ibuk meminta Albi masuk tim futsal. Ibuk tahu Albi—" ucapan Albi terputus karena Nikmah mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapan Albi.
"Ibuk—"
"Demi kebaikan aku 'kan?" Tanya Albi dengan wajah sendu.
Nikmah menatap Albi, "kamu belum menjadi orang tua. Kamu akan tahu rasanya jadi Ibuk kalau kamu sudah menjadi orang tua. Bagaimana rasa sayang orang tua ke anaknya. Dan bagaimana perjuangan orang tua untuk membuat anaknya sukses."
Albi tertawa, "hahaha..."
"Ibuk harus tahu, Albi enggak pernah berpikir untuk menikah suatu saat nanti. Apalagi mempunyai keluarga dengan istri dan anak. Albi enggak pernah memikirkan hal itu sampai detik ini. Albi enggak punya satu alasan pun untuk memikirkan pernikahan dalam hidup Albi." Tandasnya yang membuat Nikmah cukup kaget.
"Jangan ngomong sembarangan ya kamu," ucap Nikmah sebelum Albi meninggalkan ruang tamu.
Albi mengangkat kedua bahunya, "Albi enggak sembarangan ngomong kok, Buk. Albi cuma enggak mau Ibuk berharap lebih tentang pernikahan Albi suatu saat nanti. Mungkin Albi akan melakukan semua keinginan Ibuk tentang belajar, tetapi tidak dengan hati. Albi tidak akan pernah memaksakan keinginan Ibuk untuk urusan hati."
Albi tidak berpikir jika hidupnya serumit ini. Jadi, Albi mengambil jalan tengah untuk tidak membuat orang lain ikut ke dalam masalahnya. Albi tidak mau jika berkeluarga nanti, hancur seperti keluarganya. Dia tak ingin ada anak-anak yang lahir dan hidup sepertinya yang penuh paksaan atau seperti kakaknya yang hamil duluan.
Albi berjalan menaiki anak tangga satu-persatu tanpa pamitan sama sekali. Tetapi cowok itu menoleh sebelum menyentuh tangga paling atas untuk sampai di lantai dua.
"Ibuk enggak tahu juga 'kan kalau Albi kecelakaan? Iya lah, mana tahu Ibuk tentang hal kecil kaya gitu? Ibuk cuma tahu tentang nilai Albi aja 'kan? Kalaupun Albi enggak pulang, yang Ibuk khawatirkan bukan Albi tapi nilai Albi di sekolah atau bimbel mahal yang udah dibayar." Ucap Albi dengan senyuman.
Setelah mengatakan itu, Albi melanjutkan jalannya. Sedangkan Nikmah hanya bisa terduduk di sofa ruang tamu sambil terus mengusap wajahnya. Berharap hari-hari kelam ini akan segera berlalu.
•••••