58

1099 Words
TITIK TEMU [58] Romantisme dalam belajar ______________________________ Baik Nandan maupun Rilo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Mereka tidak pernah melihat seorang Albi bucin sebelumnya. Jangankan bucin, mendekati cewek untuk dijadikan pacar saja tidak pernah. Lalu mengapa Albi yang awalnya terlihat alergi terhadap seorang Shena, begitu terlihat sangat niat jatuh cintanya. Lihatlah kedua pasangan itu! Mereka bahkan masih bisa bucin di laboratorium kimia sambil pratikum. Anehnya lagi, mereka sama sekali tidak terlihat terganggu dengan pandangan dari teman-teman sekelas mereka yang hanya bisa takjub dengan tingkah keduanya. Sebenarnya, mereka tidak terlalu mesra layaknya orang-orang yang berpacaran di luaran sana. Namun dari perhatian yang Albi berikan kepada Shena, sudah menjelaskan bahwa cewek itu sudah merubuhkan es batu di hati seorang Albi. Mereka begitu kompak melakukan pratikum tanpa mempedulikan orang-orang sekitarnya. Ah, atau mungkin bisa jadi mereka tidak melihatnya dan tidak sadar. Shena yang sibuk mencatat dan Albi yang sibuk dengan cairan-cairan kimia. Benar-benar seperti pasangan teladan yang ada dalam novel-novel romantis. Sesekali Albi akan merapikan rambut Shena atau seperti sekarang; cowok itu mengikat rambut Shena karena menghalangi pandangan. Siapa yang tidak baper jika diperlakukan manis begitu? Yang tadinya biasa-biasa saja melihat Albi di kelas tiba-tiba merasa sangat tidak beruntung karena baru tahu bahwa dibalik sikap kutu-buku seorang Albi rupanya sangat sweet kepada pacarnya. Shena mendongak menatap Albi yang berada di belakangnya. Albi pun ikut menatap wajah Shena yang berada tepat di bawah dagunya. Bahkan dilihat dari atas seperti ini, wajah Shena masih tetap cantik di matanya. Albi diam-diam tersenyum menatap Shena yang lucu. "Albi ... sudah?" Tanya Mira, guru kimia yang mengajar kelas mereka. Perempuan cantik dengan rambut sebahu itu sudah mendapat banyak keluhan dari siswanya karena tidak kuat dengan ke-bucinan Shena dan Albi saat ini. "Sudah, Bu." Jawab Albi dengan santainya. Seorang Albi mana mungkin belum selesai? Mira mendekat ke arah meja kelompok Albi dan Shena yang memang sudah menyelesaikan semua tahapan pratikum dan telah selesai mencatat semuanya dalam lembar pekerjaan yang diberikannya tadi. Perempuan itu menganggukkan kepalanya pelan. "Oke, semuanya sudah lengkap. Kalian memang tim yang bagus!" Puji Mira sambil memberikan jempolnya ke udara. "Yang lain gimana? Kok malah melempem pratikumnya? Orang yang baru bucin-bucinnya aja bisa menyelesaikan pratikum tepat waktu lho." Sambung Mira sambil menahan tawanya. Albi dan Shena menjadi salah tingkah karena mendengar ucapan Mira—apakah mereka terlihat seperti itu? Padahal mereka hanya biasa saja, tidak bersikap berlebihan sama sekali. "Berarti harus cari pacar yang satu kelas dulu, Bu. Biar bisa cepat selesai pratikumnya." Ledek Rilo kepada dua temannya yang berada di meja paling depan—Albi dan Shena. Terdengar tertawa riuh dari siswa yang lain sambil bertepuk tangan dengan keras. "Kalau pacarannya seperti ini sih, boleh-boleh aja! Asalkan enggak macam-macam. Tapi pertanyaan Ibu ... memangnya ada yang mau pacaran sama kamu di kelas ini?" Tandas Mira yang semakin membuat ruangan laboratorium kimia itu ramai. "Mental Lo baik-baik aja 'kan, Bro? Dunia kadangkala memang kejam! Lo-nya siap macarin, tapi yang mau dipacarin enggak ada. Sabar-sabar aja." Sindir Nandan sambil menepuk pundak Rilo beberapa kali. Rilo mencebikkan bibirnya dengan kesal. Semua orang menertawakan dirinya. Sedangkan yang menjadi pusat perhatian sejak tadi hanya saling pandang saja. Baik Shena maupun Albi tidak ada yang ikut bicara. Mereka lebih memilih untuk diam dan kembali fokus kepada penjelasan Mira. Setelah itu, Albi diminta untuk maju ke depan dan mempresentasikan hasil praktikumnya bersama dengan Shena. Setelah itu barulah mereka semua boleh meninggalkan ruang laboratorium. Sofya berlari pelan mendekati Shena yang baru saja keluar dari ruang laboratorium, "Shena ... nanti gue pinjam catatan hasil akhir praktikum kelompok Lo sama Albi, ya?" "Hm, di foto aja. Soalnya nanti mau Albi serahin sama Bu Mira. Diminta laporannya tadi, buat contoh kelas lainnya." Ucap Shena mengeluarkan kertas hasil catatannya dari dalam lipatan bukunya. Sofya mengangguk dan buru-buru memfoto hasil pekerjaan Shena dan Albi. "Li, sini deh! Lo bantuin gue kek foto-foto laporannya. Biar nanti enggak susah bikinnya, tinggal lihat contoh dari pakarnya." Ucap Sofya melambaikan tangannya ke arah Liliana yang berdiri lumayan jauh dari keduanya. Liliana mengambil beberapa gelas kimia yang ada di atas meja, "gue bantuin anak-anak yang lain nih, beresin alat." Shena menatap Liliana yang baru saja mengambil gelas kimia dan berjalan memasuki ruangan penyimpanan alat praktikum. Karena hari ini bagian cowok-cowok yang membersihkan laboratorium kimia, sehingga para cewek ada yang sudah keluar dari sini dan mungkin sudah berakhir di kantin sekarang. Apalagi ruangan laboratorium kimia ini dekat sekali dengan kantin. "Kenapa sih tuh anak? Mau dapet kali, ya? Dari tadi uring-uringan enggak jelas!" Gerutu Sofya sambil sibuk memfoto kertas-kertas yang berada di atas meja. "Ini 'kan demi nilai dia juga." Sambungnya yang masih terlihat kesal. Albi sendiri sibuk memasukkan gelas-gelas ukur ke dalam lemari. Setelah itu menutup lemari itu dan mengunci pintu setelah semua alat masuk. Cowok itu menatap Liliana yang ikut membantu membawa gelas-gelas kimia yang telah dicuci. "Kenapa Lo bantuin?" Tanya Albi yang mengambil alih gelas kimia yang dibawa Liliana. Cewek itu tersenyum tipis, "enggak pa-pa, biar cepat kelar juga kalau sama-sama." "Padahal enggak akan ada anak cowok yang mau bantuin Lo kalau piket besok. Pas piketnya aja, pada malas-malasan gitu." Sambung Albi dengan menatap beberapa teman cowoknya yang kerjanya hanya malas-malasan, terutama Rilo. Liliana menggeleng pelan, "kadang, Lo sering bantuin gue. Sekarang gantian deh!" Albi hanya tersenyum tipis dan kembali fokus merapikan semua alat-alat yang sudah bersih. Setelah itu barulah Albi keluar dari ruangan penyimpanan alat-alat dan mendekat ke arah Sofya dan Shena yang sedang duduk bersama. Ada Nandan dan Rilo yang sejak tadi bisanya hanya ongkang-ongkang kaki saja. "Sudah selesai, Pak Albi?" Tanya Nandan cengengesan. Albi mendengus sebal, "nanti malam enggak ada nginep-nginep di cafe segala." "Lah, kenapa jadi ngambekan begini Albi gue?" Ucap Nandan dengan wajah melasnya. "Kalau gitu, gue masih boleh tidur di cafe 'kan, Bi?" Tanya Rilo dengan mengedipkan sebelah matanya. "ENGGAK!" Jawab Albi galak dengan intonasi tegasnya. "Apa untungnya gue menampung kalian berdua selama ini di cafe gue? Kalian pikir, cafe gue kontrakan yang dituju buat kabur-kaburan?" Sambung Albi sewot. "Lah bukannya iya?" Tanya Rilo dengan polosnya. "Bukannya Lo yang ngajarin kita-kita buat kaburnya ke cafe kalau ada masalah!" Sambung Rilo lagi yang mampu membuat Albi diam seribu bahasa. Nandan mengangguk pelan, "buah jatuh, tidak jauh dari pohonnya." "Mendingan kita pergi aja! Bisa gila kalau lama-kelamaan bergaul sama orang-orang tidak berpendidikan!" Tandas Sofya yang langsung menarik kedua temannya—Shena dan Liliana—dengan paksa. Albi pun hanya menggelengkan kepalanya tidak percaya, "gue juga enggak mau kumpul sama orang yang enggak berpendidikan. Terimakasih!" Albi berjalan pergi, meninggalkan kedua temannya yang hanya saling pandang. Rilo dan Nandan memang dua spesies yang sudah parah. Tetapi, tanpa mereka, hidup pasti akan sangat hampa. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD