TITIK TEMU
[28] Kekhawatiran tak berdasar
_______________________________
Shena kembali menatap ke arah Simon yang mengemudikan mobilnya dengan sangat lambat. Padahal Shena sudah hampir telat karena bangun kesiangan dan Simon seperti tidak rela mengantarkan Shena ke sekolah. Sebenarnya sejak pagi tadi, Simon sudah heboh memintanya untuk tidak berangkat sekolah terlebih dahulu dengan alasan Shena pasti lelah karena semalam mereka pulang cukup larut malam. Namun Shena tidak mau, dia ingin pergi ke sekolah karena akan bosan berada di rumah tanpa ada teman-teman yang lain.
Entah sejak kapan Shena merasa peduli dengan kehadiran orang lain dalam hidupnya. Namun semenjak dirinya bersekolah beberapa hari di sini, dia sangat senang ketika bisa bertemu dengan teman-temannya yang lain. Tidak jarang mereka menunggunya di depan hall, lalu berjalan bersama ke kelas sambil berbicara tentang hal-hal tidak penting yang kadangkala sangat membosankan. Namun Shena tidak pernah bergabung dalam sebuah circle apapun, sehingga sangat menikmati kebersamaan mereka.
Benar saja, ketika Shena menoleh ke arah gerbang—ada teman-temannya di sana. Tidak apa-apa 'kan kalau dia mengatakan mereka sebagai teman? Toh, sejak awal mereka sangat baik kepadanya. Shena diam-diam mulai tersenyum, ternyata berangkat ke sekolah dan mendapati seorang teman sedang menunggu kita di gerbang; rasanya menyenangkan.
Ketika hendak membuka pintu setelah melepaskan seatbelt dari tubuhnya, Simon menarik tangan Shena pelan. Sentuhan di tangannya itu membuat Shena sontak langsung menoleh ke arah Simon yang tidak bersikap seperti biasa. Seperti ada yang aneh dengan sikap Simon sejak semalam.
"Lo kenapa sih?" Bentak Shena sebal karena Simon seperti menahannya untuk turun dari mobil atau datang ke sekolah sejak tadi.
Simon berusaha memilih kata yang pas untuk dia ucapkan kepada Shena saat ini, "jadi ... lebih baik Nona tidak berangkat hari ini. Saya tahu Nona kelelahan karena semalam pulang larut dan waktu istirahat Nona pun kurang. Saya antarkan Nona kembali ke rumah, ya?"
"No! Gue mau berangkat sekolah sekarang. Lagipula alasan Lo sejak tadi enggak masuk akal dan sikap Lo aneh. Ada yang Lo sembunyikan dari gue?" Tandas Shena yang menuntut penjelasan.
Simon sontak menggelengkan kepalanya dengan cepat, "tidak ada Nona!"
"Kalau begitu, bye!" Ucap Shena yang kembali ditarik oleh Simon. "Apaan? Gue enggak ada waktu buat ladenin keanehan Lo hari ini." Sambung Shena dengan kesal.
Simon menghela napas panjang dan akhirnya menyerah, "jika terjadi sesuatu, tolong hubungi saya lebih dulu, Nona."
Shena menatap Simon serius dan menggelengkan kepalanya heran. Setelah itu, Shena keluar dari mobil untuk mendekati Liliana dan Sofya yang sudah menunggunya. Baru beberapa langkah keluar dari mobil, semua orang sudah menatapnya—mungkin setiap hari. Jadi Shena tidak mau ambil pusing. Toh, sudah biasa juga. Belum sempat mendekat ke arah Liliana dan Sofya, mereka dulu lah yang memeluk Shena dengan erat.
"Lo enggak pa-pa?" Tanya Liliana sambil mengelus punggung Shena.
Shena mengerutkan keningnya bingung, "enggak pa-pa. Memang kenapa?"
"Lo enggak lihat video di hap—" ucapan Sofya terpotong karena Nandan yang tiba-tiba datang entah dari mana, menutup mulutnya.
"Hai," sapa Nandan dengan ceria, menarik tangannya yang mungkin penuh dengan air liur Sofya karena cewek itu sudah menyemburnya beberapa kali—ganjaran karena tidak sopan menutup mulut orang dengan sembarangan. "Jorok banget sih, Lo!" Sambung Nandan yang mengelap telapak tangannya ke lengan seragam Sofya.
"Sukurin," ketus cewek itu sebal.
Shena sendiri menatap ketika temannya yang tampak khawatir kepadanya, "ada apaan sih? Apa ada masalah? Gue enggak paham deh!"
"Enggak ada masalah apa-apa! Gue cuma memastikan kalau Lo enggak pa-pa. Kemarin 'kan kita datang ke rumah Lo dan kita takut Lo ... emm, kena marah Papi Lo karena Nandan habisin makanan." Tandas Liliana dengan memelototi Nandan agar diam saja.
Nandan yang ditatap pun hanya tutup mulut jika tidak mau terkena pukulan anak karate yang selalu menganiaya dirinya dengan mudah dan tanpa dosa sama sekali.
Shena menganggukkan kepalanya pelan, "enggak masalah kok. Kalau soal makanan, Papi enggak pernah mempermasalahkan."
"Guys, udah mau upacara. Jangan cuma berdiri di sana terus." Ucap Rilo yang baru saja berjalan keluar dari mobilnya. "Eh, Albi udah berangkat?" Tanya Rilo karena tidak melihat keberadaan Albi sama sekali.
"Di ruang PMR, katanya ada pertemuan pagi. Enggak tahu, ngomongin apa." Jawab Liliana.
"Bukannya Lo anak OSIS juga? Kok masih ada di sini?" Tanya Shena kepada Nandan yang beberapa hari lalu memang terlihat sebagai anak OSIS yang didekati banyak sekali cewek.
Nandan mengangguk, "gue enggak ada job hari ini. Kemarin 'kan cuma bantuin ngelatih upacara kelas lain doang."
Mereka semua berjalan ke arah lapangan bersama-sama. Namun tiba-tiba ada dua orang cewek yang mendekati Nandan dengan wajah bingung.
"Nandan," ucap mereka secara bersamaan. "Teman gue yang satu, yang jadi pengibar bendera tiba-tiba aja masuk rumah sakit. Terus gimana dong?" Sambung salah satu diantara keduanya.
Nandan menghela napas panjang, "haduh, baru aja gue mau leha-leha bentar. Ada aja masalahnya! Kalau gitu, cari ganti dari kelas Lo yang lainnya."
"Enggak ada," jawab cewek yang memakai topi upacara itu. "Gimana kalau Shena? Dia 'kan anak baru di sekolah kita. Katanya dari sekolah favorit juga. Boleh dong kalau dia yang bantuin. Lagipula tinggi kita bertiga sama, jadi pas." Sambung cewek itu menatap Shena.
"Eh, enggak! Gue enggak bisa!" Ucap Shena menolak dengan cepat.
"Iya ... jangan Shena! Biar gue aja yang gantiin. Kalau enggak 'kan ada anak OSIS yang lain." Cegah Nandan namun tidak dihiraukan sama sekali.
Cewek itu menarik tangan Shena begitu saja, "udah ah ... buruan!"
"SHENA!" Teriak teman-temannya yang lain.
"Gimana sih Lo?" Ketus Sofya kepada Nandan yang merasa bahwa cowok itu tidak bisa melakukan tugasnya sebagai anggota OSIS.
Nandan menghela napas panjang sambil menatap kedua teman ceweknya, "gue harus ngapain, Nyonya-nyonya? Kalian lihat 'kan tadi, cewek-cewek itu memang tidak terkalahkan! Hah..."
"Siapa tahu Shena bisa," ucap Rilo yang semakin membuat Liliana dan Sofya semakin geram.
"DIAM LO!" Tandas keduanya dan meninggalkan Nandan dan Rilo di sana.
"Nasib, nasib, jadi cowok!" Keluh Nandan sambil menatap Liliana dan Sofya berjalan menjauh dari hadapan mereka.
Rilo mengangguk, "kenapa cowok selalu salah? Sebenarnya kita para kaum cowok harus punya pejuang supaya ada emansipasi pria. Habis terang, terbitlah gelap."
"Jangan seenaknya bikin acara sendiri," ucap Albi yang memukul lengan Rilo dengan cukup keras.
"SAKIT!" Ketus Rilo sambil mengelus lengannya yang sakit. "Gue sebagai cowok hanya mengeluh. Semenjak ada emansipasi wanita, harga diri cowok kadang-kadang kaya cuma obralan, enggak ada harganya." Sambung Rilo dramatis.
Albi hanya menggelengkan kepalanya pelan, "bentar ... bukannya itu Shena? Ngapain dia di sana?"
"Mau Hadroh!" Jawab Nandan dengan wajah kesal.
Albi semakin bingung, "maksudnya?"
Rilo menghela napas panjang lalu menepuk bahu Albi, "di sini 'kan mau pada upacara ya, Bi. Kalau Shena di sana berarti ngapain? Mau upacara, 'kan? Ya kali hadroh. Iya 'kan?"
Rilo merangkul Nandan dan berjalan pergi meninggalkan Albi yang masih mengamati Shena dari tempatnya saat ini.
"Jadi ... kira-kira Shena mau upacara atau Hadroh?" Tanya Liliana yang entah muncul dari mana.
Cewek itu tertawa pelan dan berjalan meninggalkan Albi untuk kembali ke barisan.
"Gue rasa omongan Rilo ada benarnya. Kita butuh emansipasi pria."
•••••