11

1109 Words
TITIK TEMU [11] Pesta yang gagal ________________________ Sebelum pergi, Shena mengacungkan jari tengahnya di hadapan seorang cewek dengan mengenakan dress warna tosca itu. Shena memberikan senyuman sinisnya dan berlalu dari hadapan banyak orang yang hanya bisa saling pandang satu sama lain. Papinya buru-buru menarik tangan Shena untuk sesegera mungkin meninggalkan pesta itu. Ya, mereka sekeluarga datang ke sebuah pesta anniversary pernikahan dari orang tua cewek yang dihadiahi jari tengah oleh Shena tadi. Orang tua cewek itu adalah kolega dari Papinya. Hanya saja, cewek itu sudah membuatnya marah dan akhirnya memaksanya untuk bertindak kurang ajar. Simon membukakan pintu mobil ketika Shena didorong ke arahnya. Laki-laki itu cukup kaget karena melihat perlakuan dari Papi Shena kepada putrinya yang cukup kasar. Apalagi mereka sedang berada di sebuah acara dengan banyak orang seperti ini. Sayangnya, Simon tidak melihat wajah kecewa, marah, atau kesal dari wajah Shena. Cewek itu hanya menatap sinis ke arah Papinya dan buru-buru masuk ke dalam mobil. Tentu saja Simon tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya memilih untuk diam. Mobil Shena pun berjalan diikuti mobil Papi dan Bundanya. Simon merasa jika nona kesayangannya telah berbuat kesalahan. Pasalnya, Tuan dan Nyonyanya harus sampai pulang ke rumah. Tidak biasanya meninggalkan pesta seperti hari ini. Sedangkan di kursi belakang, Shena hanya memainkan game di ponsel miliknya. Seperti tidak merasa terganggu dengan apapun. "Nona," panggil Simon akhirnya setelah mengumpulkan niat. "Apa semua baik-baik saja?" Sambungnya dengan penasaran sekaligus ada rasa khawatir juga. Shena tidak menjawab, cewek itu hanya sibuk bermain ponsel tanpa berniat untuk peduli sama sekali dengan pertanyaan Simon. Lagipula Shena merasa sangat lega karena sudah memberikan pelajaran kepada cewek kurang ajar itu. Cewek yang sama yang berada di pesta dengan mengenakan gaun warna tosca. Memangnya cewek itu siapa? Dia tidak berhak menilai hidupnya. Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di halaman rumah megah—rumah mereka. Shena keluar dari mobilnya setelah Simon membuka pintu. Cewek itu langsung masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Lalu beberapa orang datang mendekat, memberikan sebuah kursi kecil untuk Shena meletakkan kaki. Seorang perempuan paruh baya melepaskan high heels yang dipakainya. "Biarkan dia melakukannya sendiri," tandas Papinya dengan wajah kesal kepada beberapa orang yang sedang melepaskan sepatu Shena, seperti biasanya. Orang-orang itu berdiri, menunduk sebentar untuk memberikan hormat kepada Tuan dan Nyonya mereka. Setelah itu mereka berjalan masuk. Meninggalkan Shena yang masih duduk di sofa dengan wajah malas. "Kamu bisa enggak, sekali aja enggak bikin malu Papi dan Bunda?" Tanya Papinya dengan kesal. "Setiap ada kamu, semuanya jadi berantakan." Sambungnya. Shena melipat tangannya di d**a lalu menatap tajam Papinya, "lho, siapa suruh ngajak aku? Aku 'kan udah bilang kalau aku enggak mau. Papi aja yang bersikeras." "Pi, Shena 'kan c*m—" ucapan Bundanya terputus begitu saja karena bentakan Papinya. "APA? Kamu enggak perlu belain dia. Kurang ajar begini!" Tandas Papinya emosi. "Shena, yang kamu lakukan tadi, benar-benar keterlaluan. Siapa yang mengajarkan kamu memakai istilah seperti itu?" Sambung Papinya. "Maksud Papi begini?" Tanya Shena yang mempraktekkan, mengacungkan jari tengah. Bundanya mendekat, "Shen, kamu ada masalah dengan putrinya Pak Rinto?" Shena tersenyum sinis, "aku enggak ada masalah sama dia. Dia aja yang cari masalah! Kalau dia enggak mulai duluan, aku enggak akan ngelakuin itu." "Kam—" "Udahlah, Pi! Aku mau jelasin apa aja, Papi juga enggak bakalan percaya. Yang aku lakuin sekarang cuma percuma. Papi memangnya pernah ngertiin aku? Pernah? Enggak 'kan? Jadi pedulian aja terus reputasi Papi itu!" Tandas Shena yang melepas paksa high heels dari kakinya dengan melemparkan dari kakinya. Cewek itu berjalan menaiki anak tangga rumah mereka dan menghilang dari pandangan kedua orang tuanya. "Anak itu," geram Papinya. "Sudahlah, Pi. Shena mungkin benar, putri Pak Rinto membuat kesalahan kepada Shena. Kita 'kan tahu, Shena enggak mungkin berulah kalau tidak ada alasan yang tepat." Bela sang Bunda kepada Shena. "Jangan terlalu membela anak itu. Besar kepala dia nanti!" Ucap Papinya lalu beralih dari ruang tamu. "Simon," panggil perempuan itu. Simon muncul dari balik pintu dengan cepat, "iya, Nyonya." "Kamu ke kamar Shena dan pastikan dia baik-baik saja." Perintah dari Bunda Shena kepada Simon. "Baik, Nyonya. Kalau begitu, saya permisi." Pamit Simon dengan membungkukkan punggungnya sebentar sebelum pergi menuju ke arah tangga. Sedangkan di dalam kamar, Shena mulai menggerutu tidak jelas. Dia benar-benar kesal kepada Papinya yang selalu memarahinya. Menurut Shena, dia kurang puas melakukan hal itu di pesta. Shena belum sempat menampar atau menjambak cewek tadi. Setidaknya sampai rambutnya rontok atau mungkin sampai pipinya bengkak. "Sok komentar tentang hidup gue. Hidupnya aja berantakan!" Tandas Shena berapi-api. "Emangnya gue enggak tahu kalau dia pernah hamil diluar nikah, cuma digugurin aja." Sambung Shena. "Sok suci, sok bersih! Iuch... Jijik!" Cewek itu melepaskan gaunnya, mengganti pakaiannya dengan piyama tidur warna merah maroon. Tidak lupa, dia menghapus make up yang sempat membuat orang-orang di pesta itu kagum dengan kecantikan seorang Adinda Arfishena. Bahkan semenjak dia masuk ke dalam gedung itu, tidak ada orang yang bisa menolak pesonanya. Tok... Tok... Tok... "Nona..." Shena menggebrak mejanya dengan cukup keras, "ngapain sih, Lo? Sana pergi! Gue enggak mau diganggu. Ini bukan waktunya Lo mengusik hidup gue yang tenang." "Apa Nona baik-baik saja? Saya mendengar ada suara gebrakan." "Itu gara-gara Lo!" Teriak Shena tidak santai. Cewek itu bisa mendengar suara tawa dari luar kamarnya, "baiklah, Nona. Saya rasa Nona benar-benar baik-baik saja. Kalau begitu, saya akan pergi. Nona butuh sesuatu?" "Satu loyang pizza," ucap Shena akhirnya. "Hm, apa Nona sedang tidak diet? Bukankah Nona bilang ingin diet karena berat badan Nona bertambah dua kilo?" Tanya Simon kemudian. Shena menghela napas kesal, "Lo bisa enggak, enggak usah bahas berat badan sekarang?" "Iya, Nona. Tapi saya takut Nona menyesal." Jawab Simon dari balik pintu. "Saya tidak mau Nona marah pada saya karena gagal di—" ucapan Simon terpotong ketika melihat Shena membuka pintu kamarnya. "—et," lanjutnya kemudian. Shena ingin sekali menghajar Simon sampai pingsan. Sayangnya, dia tidak akan melakukan itu. Semua itu hanya akan membuang waktunya yang berharga. "Lo mau beliin atau enggak?" Tanya Shena dengan ketus. Simon mengangguk, "tentu saja saya akan membelikannya untuk Nona. Sekarang saya bisa menggunakan smartphone dan memesan makanan apapun lewat jasa pesan antar." Shena menutup layar ponsel Simon dengan cepat, "gue maunya Lo yang datang kesana dan beli sendiri. Gue enggak mau pakai jasa pesan antar. Enggak aman!" "Tentu saja aman, Nona. Saya juga sering melakukannya." Lanjut Simon. "Big no!" Ucap Shena. "Lo harusnya nurut apa yang gue mau," sambung Shena melipat tangannya di d**a. Simon tersenyum akhirnya, "baiklah, Nona. Saya akan langsung berangkat sekarang." Sebelum Simon pergi dari hadapannya, Shena sudah menutup pintu kamarnya. Simon lagi-lagi tersenyum, melihat pintu yang telah tertutup. Laki-laki itu mengelus pintu kamar Shena sejenak dan pergi begitu saja. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD