TITIK TEMU
[10] Sedikit gila!
__________________
Sesekali, Albi menghela napasnya berat. Dadanya sedikit sesak, tangan dan kakinya perih, dan kepalanya lumayan pusing. Sekarang, yang dibutuhkannya adalah ketenangan. Albi ingin menikmati kesendiriannya dengan berteman kesepian. Seperti yang sudah-sudah, Albi tidak butuh banyak orang di dalam hidupnya, yang dibutuhkan hanyalah sebuah waktu untuk menyembuhkan rasa lelahnya akan dunia yang terus menekannya dengan tuntutan tak berperasaan. Seringkali Albi akan mengeluh masalah perasaan tetapi pada angin yang terus berhembus dengan ringannya.
Albi berdiri di ujung pembatas rooftop sebuah rumah sakit. Dia datang kesini karena dibawa oleh beberapa orang. Ya, dia sempat mengalami kecelakaan tunggal, untungnya hanya kecelakaan ringan karena mengantuk—alibinya. Yang sebenarnya terjadi adalah Albi memejamkan matanya sejenak dengan harapan bisa melepaskan semua beban di pundaknya. Sayangnya, yang terjadi malah menimbulkan luka di tubuh lainnya. Membuat beberapa goresan di lengan dan lututnya, menjadikannya memar dan luka berdarah sampai harus dilarikan ke rumah sakit karena dirinya sempat tidak sadarkan diri.
Bahkan dengan bodohnya, Albi berharap tidak akan pernah sadar untuk selamanya. Sebuah harapan bodoh dengan pemikiran cetek yang pernah terpikirkan oleh otak cerdasnya. Sebelumnya, Albi melakukan apapun yang terbaik untuk dirinya sendiri. Mencoba banyak hal baru dan berusaha agar tidak menyerah. Namun, beberapa jam yang lalu, dia berpikiran lain. Menyerah mungkin jalan yang ditempuh agar hidupnya tenang.
Toh, berusaha terus-menerus hanya akan membuatnya merasa lelah. Seperti akhir-akhir ini, yang terjadi kepada dirinya karena mendapatkan tekanan bertubi-tubi. Terlebih lagi dari Ibunya sendiri. Orang yang seharusnya memberikan sebuah ketenangan, malah membuat rumit hidupnya. Percayalah, hidup bukan hanya tentang nilai sempurna yang didapatkan di bangku sekolahan. Tetapi hidup juga tentang bagaimana cara menikmatinya. Jujur saja, Albi tidak pernah menikmati hidupnya selama beberapa tahun ini. Dia muak! Muak sekali.
Drt Drt Drt
Albi merogoh saku celananya di mana ponselnya bergetar. Layar ponselnya menunjukkan sebuah nama yang dikenalnya, seseorang yang sempat ditelepon oleh pihak rumah sakit tadi.
"Hal—" ucapan Albi terputus dengan suara galak dari seberang sana.
"Di mana Lo, Nyet? Gue di rumah sakit, nih! Katanya Lo enggak ada di ruangan. Semua orang panik nyariin Lo," ketus cowok diseberang sana yang tidak lain dan tidak bukan adalah Rilo, salah satu teman baik Albi selain Nandan.
"Rooftop," jawab Albi seadanya.
"k*****t! Ngapain Lo di sana? Sini Lo," ucap Rilo mencak-mencak.
Albi menatap langit-langit yang mendung, "Lo aja yang kesini. Gue 'kan lagi sakit."
Albi bisa mendengar dengan jelas bahwa Rilo sedang tertawa keras di sana.
"Enggak ada orang sakit yang pecicilan sampai rooftop segala. Mendingan Lo turun!" Tandas Rilo geram.
"Ogah!" Hanya itu yang Albi ucapkan sebelum memutuskan panggilan itu.
Albi yakin jika Rilo akan menyusul kesini. Lagipula, Albi masih ingin di sini. Dia ingin menikmati waktu kebebasannya tanpa memikirkan orang lain. Tanpa gangguan atau teriakan dari orang-orang.
"Lo enggak ada kerjaan?" Ketus seseorang yang berada di belakang Albi.
Albi membalikkan tubuhnya dan menatap penampilan temannya itu. Cowok itu cukup kaget dengan apa yang dilihatnya. Jujur saja, Albi berharap jika Rilo tidak datang ke rumah sakit sekalian. Benar-benar memalukan sekali temannya ini.
"Lo, mending enggak usah datang temuin gue tadi." Ucap Albi dengan helaan napas panjang. Bisa semakin sesak napas kalau begini ceritanya.
Rilo mengerutkan keningnya, "lah bocah enggak punya sopan santun banget. Udah bagus gue datang ke rumah sakit karena khawatir."
Albi mengusap wajahnya, "tadi Lo bisa ganti baju. Paling enggak jangan mempermalukan diri Lo sendiri."
"Lihat dong!" Albi menunjuk ke arah pakaian yang dipakai Rilo. "Udah pakai piyama tidur. Sandal aja ada kepala bebeknya. Ya Tuhan!" Sambung Albi dengan nada frustasi.
Rilo menepuk dahinya pelan, "duh, pantesan banyak yang ketawain gue tadi. Gue kira mereka terpesona sama kegantengan gue. Gimana nih?"
"Bodo amat!" Jawab Albi akhirnya.
Beberapa menit ke depan, yang terdengar hanyalah rengekan Rilo karena malu. Sedangkan Albi hanya diam sambil menikmati kelap-kelip lampu jalanan. Dia tidak mau ambil pusing dengan outfit Rilo kali ini. Setelah itu, beberapa saat mereka saling diam. Sampai Rilo kembali membuka percakapan, untuk kali ini dia mulai terdengar serius.
"Lo enggak nyimpen nomor Nyokap Lo, ya?" Tanya Rilo kemudian.
Albi menatap Rilo sejenak dan akhirnya menganggukkan kepalanya pelan.
"Pantas aja rumah sakit telepon ke nomor gue." Ucap Rilo.
Albi tersenyum tipis, "kontak yang sering gue hubungi 'kan cuma Lo sama Nandan doang. Kayanya sih sempat telepon Nandan, tapi enggak diangkat. Udah tidur kali tuh anak. Lagipula, harusnya Lo enggak usah angkat."
Rilo tidak menjawab, dia seperti sudah dapat menyimpulkan sendiri apa yang terjadi kepada Albi. Cowok itu memang mempunyai masalah keluarga yang cukup berat, Rilo maupun Nandan tahu. Hanya saja, mereka tidak pernah bertanya jika Albi tidak memberitahu mereka. Menurut mereka, Albi berhak menceritakan atau tidak menceritakan masalahnya kepada mereka berdua. Walaupun mereka adalah sahabat sekalipun.
"Mau balik ke rumah gue enggak?" Tanya Rilo yang menawarkan rumahnya. Rilo tidak mungkin meminta Albi untuk pulang karena dari wajahnya saja, Albi terlihat sedang banyak masalah dan banyak pikiran.
Albi tampak berpikir namun akhirnya mengangguk juga, "gue mau ngutang buat bayar rumah sakit sama buat benerin motor. Tapi enggak tahu balikinnya kapan. Enggak tahu juga bakal balik atau enggak duitnya."
Rilo menoyor kepala Albi pelan, "gaya Lo! Bilang aja minta."
Albi hanya tertawa karena melihat wajah Rilo yang berubah sinis. Jujur saja, untuk masalah keuangannya selama ini, Rilo selalu membantu dirinya tanpa pamrih sama sekali. Mereka berjalan ke arah tangga untuk menuju ke lantai paling atas agar bisa menggunakan lift.
Setelah Rilo menyelesaikan semua biaya administrasi dan perawatan Albi, mereka bergegas menuju ke parkiran. Di mana Rilo memarkirkan mobilnya. Sebuah mobil keluaran terbaru dengan harga yang fantastis. Tentu saja barang-barang atau semua fasilitas bisa didapatkan Rilo dengan mudah. Cowok itu memang paling kaya dibandingkan teman-temannya yang lain.
"Urusan motor, gue udah bilang ke asisten gue buat ambil motor Lo dan dibawa ke bengkel langganan gue. Pokoknya, masalah motor Lo tenang aja. Dijamin aman terkendali." Ucap Rilo setelah mereka masuk ke dalam mobil.
Albi mengangguk, "thank's. Gue banyak banget ngerepotin Lo."
"Santai aja sih! Kaya sama siapa aja." Jawab Rilo seraya menstater mobil miliknya. "Asal semangat terus buat bantuin gue ngerjain tugas." Sambung Rilo dengan menaik-turunkan alisnya.
"Memanfaatkan itu namanya," dengus Albi tidak terima.
"Enggak! Itu namanya Simbiosis mutualisme." Jawab Rilo dengan tawa kecil.
"Kalau gitu, sekalian beliin gue makanan dong. Lapar banget nih!" Pinta Albi.
Rilo memasang wajah kesal, "gini nih, punya teman enggak ada yang punya akhlak. Udah minta dibayarin rumah sakit, bengkel motor, sekarang minta makan pula."
"Udah, gue lapar banget."
"Iya, iya! Cerewet banget Lo kaya emak-emak," gerutu Rilo yang tanya ditanggapi Albi dengan tertawa.
Rilo membelokkan mobilnya ke sebuah restoran fast food untuk membeli makanan untuk mereka. Sedangkan Albi hanya bisa diam disamping Rilo sambil tersenyum tipis. Bahkan, mereka yang tidak punya pertalian darah dengannya, sangat peduli dan melakukan apapun dengan ikhlas. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang dirinya sebut sebagai keluarga? Apakah mereka bisa seperti ini juga?
•••••