09

1072 Words
TITIK TEMU [09] Pertengkaran lagi ______________________ Albi menatap deretan perumahan yang berjajar rapi disamping kanan dan kirinya. Lampu-lampu temaram terlihat dari balik jendela yang telah sepenuhnya ditutupi gorden dengan warna yang berbeda-beda. Aroma tanah basah sehabis hujan seperti memanjakan indera penciumannya. Albi merasa cukup tenang untuk seharian ini. Melepaskan penatnya dengan duduk sendirian sambil menikmati waktu tidurnya tanpa gangguan siapapun. Tidak ada dering ponselnya yang mengganggu atau tumpukan buku-buku pelajaran yang minta dibaca. Setelah meminta tolong kepada Nandan untuk mengurus cafe-nya seharian, Albi memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat yang sejak dulu menjadi favoritnya. Mungkin bukan hanya tempat favoritnya saja, ada seorang cewek yang sempat ditemuinya di sana. Cewek yang beberapa hari lalu memberikan review baik tentang cafe-nya, namun beberapa saat kemudian men-judge dirinya dengan tidak tahu diri. Tapi setelah dirinya datang, cewek itu malah pergi begitu saja. Mungkin merasa tidak nyaman berada satu tempat dengannya. Lagi-lagi, Albi tidak peduli. Setidaknya menikmati seharian penuh dengan tiduran di gazebo lusuh penuh dengan dedaunan kering, mampu mengembalikan mood-nya yang buruk beberapa hari belakangan ini. Cowok itu juga memanfaatkan waktunya untuk membuat beberapa sketsa dari tempat tersebut. Lalu, baru pukul sepuluh malam ini, dia pulang ke rumahnya. Kembali ke tempat di mana dia merasa tertekan, bosan, tidak nyaman, dan apalagi yang bisa didefinisikannya tentang sebuah rumah. Albi melepaskan helm-nya setelah berhasil memarkirkan motornya di halaman rumah. Cowok itu sangat berharap jika Ibunya sudah tidur. Pasalnya, dia tidak mau ditanya macam-macam atau berdebat selarut ini. Dia cukup tahu diri kepada para tetangga yang mungkin baru saja pulang kerja dan membutuhkan waktu istirahat yang cukup. Cowok itu berjalan mendekat ke rumahnya, memegang gagang pintu dan mendorongnya pelan. Baru saja masuk beberapa langkah, lampu ruang tamu yang awalnya mati tiba-tiba terang benderang. Ibunya dengan mengenakan piyama tidur menatap tajam ke arahnya. Albi hanya diam, menunggu Ibunya bicara terlebih dulu. Jika memang hanya bertanya sekedarnya, maka Albi tidak perlu mengeluarkan seluruh emosinya. Atau bolehkan dirinya berharap tentang beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan Ibu-ibu pada umumnya. Albi selalu berharap ibunya bertanya tentang bagaimana keadaannya atau mungkin bertanya hal remeh untuk sekedar basa-basi seperti sudah makan belum. Mungkin, dia bukan anak yang sempurna, tetapi sesekali dia ingin mendapatkan perhatian semacam itu. Disaat berhasil pun, Ibunya tidak pernah memberikan kata-kata yang dia ingin dengar. Selalu saja membahas tentang masa depan. Albi sudah bosan, bahkan sangat muak. "Darimana aja kamu?" Tanya Ibunya dengan nada marah. "Datang lagi ke danau itu?" Sambungnya dengan nada yang kali ini cukup keras. Albi menghela napas panjang, "udah malam! Ibuk enggak perlu teriak kaya gitu. Albi enggak b***k kok. Cukup dengar apa yang Ibuk omongin." "Kamu bisa sopan enggak sama orang tuamu?" Tandas Ibunya. Sungguh, Albi ingin sekali bicara tentang tata krama yang seringkali disinggung oleh Ibunya. Tentang sopan santun yang selalu diucapkan berulang-ulang. Memang, Ibunya menerapkan sopan santun dalam setiap ucapannya? Apakah Ibunya sudah cukup baik untuk terus memberikan ceramah kepadanya? Mengapa orang tua selalu bertanya sopan santun, tata krama, jika mereka saja tidak bisa memberikan contoh tentang hal tersebut. Lalu, anak yang salah? Tapi 'kan orang tua yang tidak mengajarkan, ralat, memberikan tauladan—contoh! Albi tersenyum masam, "kita bisa bicara besok aja, Buk. Aku ngantuk! Mau tidur!" Cowok itu berjalan menaikinya satu-persatu anak tangga rumahnya untuk menjangkau lantai dua. Berharap jika Ibunya akan berhenti sampai di sini. Sayangnya, Ibunya tidak semudah itu melepaskan Albi. Perempuan itu berjalan di belakang Albi, menarik lengannya dengan kasar agar bisa menatap cowok itu. "Buk!" Bentak Albi kesal. "Berani ya kamu bentak-bentak Ibumu? Kamu lupa kalau surga berada di telapak kaki Ibu. Lupa?" Tandas Ibunya berapi-api. Albi melepaskan genggaman tangan Ibunya dari lengannya, "enggak, aku enggak pernah lupa dengan hal itu! Tapi tolong, jangan memperlakukan orang lain dengan seenak Ibuk. Itu melanggar HAM namanya." "Kamu bicara enak banget! Wajar kalau anak nurut sama orang tua! Kamu jangan sok ngajarin Ibumu. Selama ini Ibuk yang ngajarin kamu ini-itu. Ibuk yang berjuang buat nyekolahin kamu. Sampai Ibuk ngutang sana-sini. Terus apa balasan kamu?" Ucap Ibunya dengan setengah berteriak. "Ibuk udah masukin kamu ke bimbel mahal, tapi apa? Kamu malah enggak berangkat! Kamu benar-benar anak yang enggak tahu diuntung!" Sambung Ibunya kembali berteriak. Albi menatap Ibunya dengan kedua bola mata yang memerah, "Albi, enggak pernah minta!" "Ya Tuhan! Kenapa kamu enggak paham juga sih?" Ucap Ibunya memegang kedua lengan Albi erat-erat. "Ibuk melakukan ini semua, supaya masa depan kamu terjamin! Biar enggak kaya Ayah kamu!" Lanjut Ibunya yang mulai menyulut emosi Albi kembali. "Lho, kenapa jadi bawa-bawa Ayah?" Tanyanya dengan emosi. "Ayah itu enggak ada hubungannya sama semua ini! Ibuk yang bikin aku ngerasa tertekan. Ibuk ngelakuin semua ini karena untuk kepentingan Ibuk sendiri. Bukan karena masa depanku." Sambungnya dengan wajah memerah. Ibunya tidak bisa berkata apa-apa lagi, perempuan itu hanya menatap Albi dengan tatapan yang sulit untuk didefinisikan. Hening, tiba-tiba ruangan itu mulai hening. Baik Albi ataupun Ibunya, tidak ada yang memulai pembicaraan. Perdebatan mereka seperti lenyap begitu saja. "Kamu mulai enggak bisa diatur semenjak masuk SMA. Semenjak kamu punya teman-teman kaya mereka. Nilaimu juga jadi turun karena sibuk ngurusin cafe enggak jelas itu." Albi sudah cukup menahan rasa sabar di dalam dadanya, "kenapa sekarang bawa-bawa teman-temanku? Terus bawa-bawa cafe segala?" "Fokus belajar. Jadi juara satu terus. Nilaimu juga harus stabil dan enggak boleh kalah satupun mapel dari yang lainnya. Kamu ingat itu di otak kamu! Ibuk minta kamu untuk ikut bimbel fisika. Jadi, suka atau tidak suka, jangan menolak. Ibu sudah pinjam uang di koperasi untuk bayar bimbel kamu selama satu semester." Ucap Ibunya kemudian lalu berjalan meninggalkan Albi yang termenung sendirian. Cowok itu mengusap wajahnya kasar, lalu bergegas untuk kembali turun ke lantai bawah. Melewati Ibunya yang baru saja menjangkau anak tangga terakhir. Albi tidak mengatakan apapun, dia membuka pintu rumah dengan terburu-buru dan mengambil sepatunya dari rak. "MAU KEMANA LAGI KAMU?" Teriak Ibunya dengan marah. Membuka pintu dengan kasar dan buru-buru menghampiri Albi yang sudah naik ke atas motornya. Albi memasang helm ke kepalanya, mengabaikan semua pertanyaan Ibunya. Perlahan, Albi menstater motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumahnya. Jalanan rupanya lebih bersahabat ketimbang rumahnya. Mungkin, banyak anak yang hidup seperti dirinya—berada di bawah tekanan orang tua. Mereka cukup kuat, seperti dirinya. Ah, jika tidak kuat, pasti sudah banyak yang bunuh diri karena depresi. Ngomong-ngomong soal depresi, mungkinkah Albi juga termasuk ke dalamnya? Mempunyai seorang Ibu yang ambisius dan melakukan segala macam cara untuk membuatnya sempurna. Tiba-tiba pikirannya melayang entah kemana, kabur pandangannya, dan semuanya perlahan gelap. Brak. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD