PROLOG

1048 Words
Beberapa remaja dengan seragam olahraga memukuli temannya yang meringkuk di pinggir jalan. Berusaha untuk melindungi area kepalanya-tidak peduli dengan berapa banyak tubuhnya di tendang dengan kaki orang-orang yang memakai brand sepatu mahal. Ternyata, attitude tidak mampu dibeli dengan barang-barang branded dan mahal. Terbukti dari apa yang dilakukan remaja-remaja itu. Lebih parah lagi, ada yang sibuk membuat konten video. Sengaja menyiarkannya secara live di akun media sosial yang angka penontonnya menyentuh ribuan. Hanya berbekal memukul teman yang lain, semua bisa menjadi viral di media sosial. Entah konten itu baik atau buruk, mereka sudah tidak mempedulikan hal itu lagi. Bahkan orang dewasa yang lewat sekitar jalan tersebut memilih untuk tutup mata. Mereka fokus kepada gadget yang mereka genggam dan menyumpal telinga mereka dengan earphone sambil mendengarkan musik kencang-kencang. Seakan semua yang ada disekitar mereka tidak terlalu penting. Tatanan dunia sudah lama berubah. Empati hanyalah bagian dari cerita masa lalu tentang kelemahan yang disadari manusia lain. Sekarang, manusia lupa diri bahwa mereka sebenarnya makhluk yang lemah. Mereka mempunyai kekurangan dan terkadang berusaha menutupinya. Berlagak menjadi manusia super power yang mampu mengendalikan segalanya. Banyak kamera yang dibuka untuk sekedar membuat konten seru yang disukai masyarakat. Entah konten itu bodoh atau membodohi, namun itu yang semakin hari merebak menjadi trend yang tidak bisa dihindari. Semua saluran televisi pun terpaksa mengikuti trend hanya untuk sebuah hal rendahan untuk menunjang konten mereka. Remaja-remaja jaman sekarang mudah patah arah. Mereka baru mencoba beberapa, namun sudah menyerah dan akhirnya memilih kalah dengan keadaan. Remaja tersebut memilih jalan pintas-melakukan hal negatif dengan dalih mental illness. Karena sekarang mudah mempermainkan kata-kata semacam itu. Semenjak mental health mulai dianggap penting. Banyak orang yang mengaku-ngaku sedang mengalami depresi atau masalah kejiwaan agar kesalahan mereka dimaklumi. Hal tersebut sejalan dengan kontroversi yang dilakukan para remaja labil yang sering kebut-kebutan di jalanan, melakukan s*x bebas, atau mengikuti geng tertentu dengan dalih mencari jadi diri. Sebuah hal miris yang dilakukan para penerus bangsa ini. Mereka seperti orang asing yang begitu bebal dan sulit untuk memahami tata krama yang selama ini dijunjung tinggi. "Sial! Kenapa terlalu kencang sih mukulnya? Dia bisa mati! Minggir sana, biar gue yang urus sisanya." Tandas seorang cowok yang baru menyelesaikan acara siarannya setelah melihat temannya mulai lemas dan tidak bergerak. Cowok dengan seragam olahraga tersebut mendorong temannya itu dengan kakinya, membuat teman yang berada di jalanan itu mulai tergeletak dengan banyak darah yang keluar dari mulutnya. "Gila! Lo apain dia tadi? Kenapa banyak banget darahnya?" Tandas cowok itu yang mulai panik karena melihat darah menggenang di sana. "Jangan-jangan dia mati?" Celetuk salah satu diantara mereka, cowok yang sedikit gendut itu. Cowok itu hanya menghela napas kasar, "gimana nih? Jangan sampai dia mati. Bisa masuk penjara kita semua." "Lo juga kenapa pakai acara siaran langsung sih? Jadi ada bukti, 'kan?" Bentak salah satu diantara mereka lagi, cowok yang sempat menendang kepala cowok yang tergeletak itu. Lalu, sedetik kemudian mereka saling menyalahkan satu sama lain. Saling dorong dan meminta salah satunya untuk bertanggungjawab. Namun disela-sela kehebohan yang ketiga cowok itu lakukan, mereka bahkan tidak sadar bahwa cowok yang tadi mereka kira sudah mati, pergi begitu saja dari tempatnya. Cowok yang sempat dipukuli teman-temannya itu berjalan pergi, menuju ke belakang semak-semak yang berada di belakang halte bus. Dia meringkuk di sana, sebelum beberapa temannya datang dan menghajarnya kembali. Cowok itu memegang sebuah kantung kecil yang sudah pecah. Membuat tangannya berlumuran cairan yang berwarna merah. "SIALAN! KEMANA ANJING ITU PERGI? KENAPA CEPET BANGET SIH? LO CARI YANG BENER DONG! KALAU DIA PERGI KE KANTOR POLISI GIMANA? MAU LO BERDUA MASUK POLISI?" Terdengar salah satu diantara mereka mulai marah-marah kepada teman yang lainnya. Dia merasa sangat kesal karena mereka berhasil ditipu oleh teman yang mereka hajar tadi. Cukup lama, sampai sebuah mobil berhenti tepat di depan halte dan seorang perempuan keluar untuk duduk di halte tersebut. "Apa kamu tidak ingin keluar? Mereka sudah tidak ada." Ucapnya dengan memegang sebuah kotak yang diketahui sebagai kotak P3K. Tidak lama kemudian, cowok itu keluar dengan tertatih. Sebelah matanya bengkak dan kakinya terkilir. Cowok itu berusaha memberikan senyumannya dan mendekat ke arah perempuan yang mengenakan setelan pakaian rapi itu. "Kak Shena, kenapa bisa tahu aku di sini?" Tanya cowok itu yang berusaha duduk disamping perempuan yang dipanggil Kak Shena itu. Shena, panggilan perempuan itu, membuka kota P3K miliknya dan membantu mengobati luka yang ada di tangan cowok itu. Dia tidak langsung menjawab, hanya tersenyum seadanya. "Ini bukan darah, Kak. Ini cuma campuran cat. Aku sengaja bawa ini ke sekolah. Kalau sewaktu-waktu mereka bully aku, aku pakai ini untuk membuat efek darah bohongan. Jadi, mereka akan berhenti kalau tahu aku mati." Tandas cowok itu agar tidak membuat Shena merasa khawatir. Shena berhenti mengusap darah bohongan di tangan cowok itu, "apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya mereka berjanji untuk enggak melakukan hal ini lagi?" "Ya, ... mereka kesal karena aku melakukan bunuh diri. Mereka bilang, kenapa aku bunuh diri padahal takut sekali mati. Aku mengatakan pada mereka kalau sebenarnya, aku cuma ingin untuk melepaskan rasa sakitnya saja. Bukan benar-benar ingin meninggalkan dunia ini." "Mereka enggak mau terlibat dengan polisi. Katanya, mereka akan banyak ditanya, kenapa aku bunuh diri. Itu mengganggu mereka karena mereka bukan temanku. Katanya sih begitu, Kak." Shena terdiam, merasa iba dengan ucapan cowok itu. "Aku capek belajar, Kak. Aku pengen melakukan hal lain. Tapi akhirnya aku berakhir seperti ini. Aku mau hidup dengan bebas. Aku pengen punya teman, pacar, atau mungkin seseorang yang memberikan aku semangat ketika mau ujian." Ucap cowok itu lagi. Ingatan itu membuatnya teringat dengan bagian masa lalunya yang telah pergi. "Gue capek belajar, Shen. Gue pengen ngelakuin semua hal yang gue mau. Gue pengen bebas gambar komik, gue enggak pengen jadi dokter, gue enggak pengen jadi PNS. Gue pengen jadi Albi aja. Bukan yang lainnya." Kenangan masa lalunya itu sangat mengganggunya. Bahkan sampai detik ini. Shena terdiam, terdiam cukup lama. "Kenapa Kak Shena mau bekerja sebagai psikiater?" Tanya cowok itu lagi dengan penasaran. Shena tersenyum tanggung, "aku berharap, enggak akan ada lagi remaja putus asa yang mencoba menyembuhkan traumanya sendiri. Aku mau remaja-remaja di dunia menikmati hidupnya dan bebas dari perasaan takut seumur hidup mereka." "Kenapa?" Kenapa? Pertanyaan itu lebih kompleks dari apa yang bisa dia jelaskan. Shena diam. Mungkin, karena dirinya sendiri. Dirinya yang malang ini. Dirinya di masa lalu yang hampir membenci segalanya. Atau, karena cintanya yang pergi. ALBI. Cintaku, Albi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD