PROLOG

989 Words
… Beberapa remaja berseragam olahraga memukuli seorang cowok yang meringkuk di pinggir jalan, berusaha melindungi area kepalanya—tidak peduli dengan banyak luka di tubuhnya. Remaja-remaja yang mengenakan brand sepatu mahal tersebut tertawa-tawa. Rupanya, sepatu mahal, tidak dapat membeli attitude mereka. Dibuktikan dengan perlakuan mereka kepada cowok itu. Parahnya, ada yang memvideokan kejadian tersebut untuk konsumsi publik. Orang-orang dewasa yang kebetulan lewat di sana, memilih untuk tutup mata. Mereka terfokus pada gadget dan menganggap hal tersebut lumrah dilakukan, seakan-akan hanya sebatas kenakalan remaja biasa. Tatanan dunia sudah lama berubah. Empati hanya bagian dari budaya masa lalu dan dianggap sebagai suatu “kelemahan” manusia. Saat ini, manusia melupakan rasa iba agar tidak dianggap lemah. Mereka berusaha keras menutupi kelemahan mereka dengan bergerombol, lalu menyiksa yang paling lemah. Berlagak seakan merekalah manusia super power yang menaklukkan dunia. Banyak sorotan kamera untuk sekadar membuat konten tidak bermoral yang disukai manusia modern saat ini. Entah konten tersebut bodoh atau membodohi, tetapi semakin merebak dan menjadi tren yang diikuti. Semua saluran televisi juga berkontribusi menyodorkan tren-tren rendahan untuk meningkatkan rating mereka. Banyak remaja patah arah dan mencoba-coba hal-hal buruk untuk menunjukkan betapa modernnya mereka. Mereka memilih jalan pintas—menyodorkan konten yang negatif dengan berdalih pada mental illness. Mereka telah terbiasa mempermainkan kata-kata sakral itu tanpa mau tahu dengan dampaknya. Semenjak seruan tentang mental health dianggap penting, banyak orang yang mengaku-ngaku mengalami depresi atau masalah kejiwaan agar kesalahannya dapat dimaklumi. Fenomena tersebut sejalan dengan kontroversi yang dilakukan remaja labil yang sering kebut-kebutan di jalanan, melakukan seks bebas, dan mengikuti geng-geng tertentu dengan alasan mencari jati diri. Sesuatu hal miris yang dilakukan para penerus bangsa ini. mereka seperti orang asing yang bebal dan sulit memahami tata krama yang selalu dijunjung tinggi. “Sialan! Jangan terlalu kencang mukulnya. Nanti dia bisa mati, begok!” teriak salah satu cowok yang baru saja menyelesaikan siarannya, karena melihat cowok yang mereka pukuli sudah tak bergerak lagi. Cowok jangkung yang menjadi algojo tersebut pun mendorong cowok yang dipukulinya dengan ujung kaki. Terlihat darah mengalir dari hidung cowok berpotongan cepak itu, sesekali merintih menahan sakit. “Gila … Lo apain tadi? Kok darahnya banyak? Bisa mampus kalau kita ketahuan, begok!” ujar cowok yang memegang handphone keluaran terbaru itu. “Jangan-jangan mati nih orang…” celetuk salah satu di antara mereka dengan panik. Cowok jangkung itu menghela napas panjang dan berbicara, “Wah, gimana nih? Kalau mati, kelar urusannya. Kita pasti masuk penjara!” “Lo juga Dan, pakai gaya-gayaan siaran langsung. Gimana kalau dijadiin bukti?” Mereka saling menyalahkan satu sama lain, saling dorong dan meminta salah satu untuk bertanggung jawab. Namun, disela-sela perdebatan mereka, cowok yang pada mulanya terkapar di pinggir jalan, telah pergi menjauh dan menyelamatkan diri. Cowok berambut cepak yang sempat dipukuli itu bersembunyi di belakang semak, dekat dengan halte bus yang sudah lama kosong. Ia meringkuk di sana, sebelum teman-temannya datang dan mengajarnya lagi. Ditatapnya kedua tangannya yang berlumuran cairan warna merah. Ia baru memecahkan cairan itu untuk berjaga-jaga sambil tertawa. “Sialan! Ke mana anjing itu pergi secepat ini? Ah, kenapa cepat banget sih! Lo cari yang benar dong! Kalau dia pergi ke kantor polisi, gimana? Mau masuk penjara Lo? Enggak kan?” Mereka berusaha mencari cowok berambut cepak itu. Cukup lama, hingga sebuah mobil berhenti di depan halte. Seorang perempuan keluar dan duduk di dudukan halte sendirian. “Kamu enggak mau keluar? Mereka sudah pergi,” ujar perempuan itu seraya mengambil kotak P3K yang ada di dalam mobilnya. Tidak lama kemudian, cowok itu keluar dengan tertatih. Sebelah matanya bengkak dan kakinya terkilir. Ia memberikan senyumannya ke arah perempuan itu, seakan ia sedang berterima kasih. Ia berjalan mendekat ke arah perempuan dengan setelan pakaian rapi itu, lalu memilih duduk di samping kirinya sebelum membuka suaranya. “Kak Shena kok tahu aku di sini?” tanya cowok itu ke arah perempuan yang dipanggilnya Kak Shena. Shena, panggilan perempuan itu, merasa miris dan khawatir. Namun, ia berusaha menyembunyikannya. Ia membuka kotak P3K-nya dan mengobati luka di tangan cowok itu. Ia tidak banyak bicara, hanya terfokus untuk mengobati luka remaja tanggung yang begitu ceria ini. “Ini bukan darah, Kak. Cuma campuran cat aja kok. Hehe…” ucapnya seraya tertawa, “Aku sengaja bawa ke sekolah. Kalau sewaktu-waktu mereka bully aku, aku bisa pakai ini untuk nakut-nakutin mereka. Kalau mereka tahu aku mati, pasti akan berhenti mukulinnya.” Shena berhenti mengusap darah bohongan pada tangan cowok itu lalu bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi? Bukannya mereka janji enggak akan melakukan perundungan lagi?” “Hm… kurasa mereka kesal karena aku sempat mau bunuh diri. Mereka benar, kenapa aku bunuh diri, padahal aku takut mati. Aku bilang ke mereka, aku cuma mau melepaskan rasa sakitnya. Bukan benar-benar ingin mati. Mereka enggak mau terlibat dengan polisi. Katanya, mereka akan banyak ditanya tentang alasanku bunuh diri. Jadi, sesakit apa pun itu, aku harus menahannya dan tetap hidup…” Shena terdiam mendengarkan, merasa iba dengan ucapan cowok itu. “Aku capek belajar, Kak. Aku mau melakukan hal lainnya. Aku mau hidup bebas. Aku mau berteman, punya pacar, atau punya seseorang yang mau kasih semangat pas ujian. Kaya anak seusiaku…” ujar cowok itu lagi. Ucapan remaja di sampingnya seakan membuka pandora di dalam hatinya. Ia teringat dengan bagian masa lalunya yang telah pergi. “Gue capek belajar, Shen. Gue pengin ngelakuin hal yang gue mau. Gue pengin bebas gambar komik. Gue enggak pengin jadi dokter atau PNS, gue mau jadi Albi aja. Bukan orang lain!” Kenangan masa lalunya bersarang dalam hatinya dan mengganggunya. Sampai detik ini, Shena berusaha melupakannya, meskipun tidak bisa. “Kenapa Kak Shena mau jadi psikiater?” tanyanya kepada Shena. Shena tersenyum tanggung dan menjawab, “Aku mau menolong remaja yang putus harapan, menemani mereka, dan menyembuhkan trauma mereka. Aku mau, semua remaja menikmati kehidupan mereka.” “Kenapa?” Kenapa? Shena sulit menjawabnya. Baginya, itu terlalu kompleks untuk dijabarkannya. Shena diam. Mungkin, karena dirinya sendiri. Atau… karena cintanya yang pergi! Albi. “Cintaku Albi…” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD