…
Ting!
Nandan yang berada di balik meja counter menata ke arah pintu kafe, di saat seorang cewek masuk ke dalam dengan ragu. Cewek itu baru saja meletakkan payungnya ke dalam tempat payung basah di depan pintu kafe. Bisa saja Nandan datang dengan memberikan jaketnya, untuk sekadar memodusi cewek itu, andaikan si empunya kafe tidak memasang wajah galak seraya mengelap meja.
Cewek itu memperhatikan seluruh penjuru kafe, karena tidak menemukan satu pun pelanggan di sana. Ia melirik jam tangannya, memastikan pukul berada dirinya datang. Apakah ia terlalu pagi, sehingga kafe belum buka? Namun, sudah pukul delapan pagi. Jadi, apakah tidak ada sambutan apa pun untuk pelanggan? Bahkan, si barista di balik counter pun tak membuka suaranya.
Ia memberanikan diri untuk bicara, “Kafenya udah buka atau belum, ya?”
Nandan tersadar dari lamunannya ketika cewek itu sudah berada di depannya.
“Eh … sudah, Kak. Maaf saya bengong, habisnya kakaknya cantik banget,” jawab Nandan yang hampir saja mendapatkan hadiah slepetan dari orang di ujung sana, “Selamat datang di Rainbow Cafe. Kakak mau pesan apa? Untuk menunya sudah ada di papan, ya, Kak.”
“Hm … americano satu,” pesan cewek itu.
Nandan mengetik pesanan cewek itu pada layar dan berkata, “Atas nama siapa?”
“Shena…” jawab cewek itu menyebutkan namanya pelan.
“Shena?” ulang Nandan.
“S-H-E-N-A…” ujar cewek itu mengeja namanya, “Jangan salah kasih nama ya, Kak.”
Nandan tersenyum ramah dan menjawab, “Beres itu, mah. Kakaknya kan cantik, masa saya salah kasih nama sih.”
Cewek itu menyodorkan uangnya kepada Nandan dan menjawab, “Jadi, kalau mau nulisnya benar, harus cantik dulu, ya?”
Albi yang tengah mengelap meja hanya terkekeh pelan, apalagi ketika melihat wajah Nandan yang tengah menahan malu karena tertohok dengan jawaban cewek itu. Ia sedikit banyak setuju dengan jawaban cewek itu, agar membuat Nandan sadar.
“Terima kasih,” ujar cewek itu setelah menerima minumannya.
“Sama-sama, Kak…”
Albi diam-diam memperhatikan cewek itu. Cewek itu memilih duduk di dekat jendela sambil menyeruput minumannya. Cewek itu adalah pelanggan pertamanya di minggu ini. Mengingat betapa sepinya kafenya semenjak coffeeshop terkenal membuka cabang di seberang jalan, berhadapan dengan kafenya.
Albi berprasangka bahwa cewek itu hanya sekadar berteduh, tidak benar-benar ingin membeli minumannya. Atau mungkin, ingin datang ke coffeeshop tersebut, tetapi masih tutup. Entahlah! Perasaan Albi campur aduk!
Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depan kafenya. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam keluar dari mobil seraya mengeluarkan payung. Cewek itu keluar dari kafenya, dipayungi oleh laki-laki dewasa itu. Albi pikir, cewek itu bukan orang biasa, pasti kaya.
Nandan yang sempat menggoda cewek itu hanya bisa memandangnya pergi begitu saja, tanpa memiliki kesempatan untuk bertukar nomor atau mengikuti di sosial media. Pantas saja, ia tidak berkesempatan untuk mendekati cewek itu, rupanya kasta mereka berbeda.
“Tajir kayanya…” ujar Nandan sambi mengelus dadanya, seolah prihatin dengan dirinya sendiri.
Berbeda dengan Nandan, Albi kecewa karena satu-satunya pelanggan yang datang ke kafenya hanya sekadar berteduh, bukan untuk menikmati produknya. Ia sedih, rupanya kafenya berada di ujung tanduk. Namun, sulit sekali untuk merelakan kafenya untuk tutup selamanya.
“Mikirin apa Lo?” tanya Nandan yang keluar dari meja counter dan duduk berhadapan dengan Albi.
Keduanya duduk berhadapan.
“Gue mikir—” ucapan Albi terpotong lebih dulu.
“Enggak usah mikir,” serobot Nandan yang seakan paham dengan apa yang akan Albi sampaikan kepadanya, “Lo enggak perlu mikirin soal gimana gaji gue. Gue yang maksa bantuin Lo. Jadi, Lo enggak ada kewajiban untuk bayar gue. Setidaknya, gue bisa kabur kalau lagi marahan sama nyokap atau bokap.”
“Awalnya gue mau terharu, tapi dengar kalimat terakhir, enggak jadi…” jawab Albi.
Ting!
Lonceng Rainbow Cafe berbunyi, dua cewek dan satu cowok masuk ke dalam kafe dengan membawa satu kantung plastik besar berisi snack dan satu kantung lagi berisi makanan fast food dari salah satu restoran terkenal.
“Kami datang membawa asupan gizi,” ujar cewek berambut panjang yang dikepang.
“Bawa apa Lo?” tanya Nandan yang menyambut ketiganya dengan wajah semringah.
“Yeee … gue bawain Albi, bukan Lo!” ketus cowok yang membawa plastik besar yang dipenuhi dengan snack.
Nandan cemberut sambil merajuk, “Semuanya kan enggak mungkin dikasih sama Albi. Kenapa gue selalu diperlakukan kaya anak tiri sih?”
Ketiganya tertawa riang saat mendengar keluhan Nandan yang merasa dianaktirikan. Padahal sih, iya! Di sana ada Liliana (cewek berambut panjang yang dikepang satu), Sofya (cewek berambut pendek dengan jepitan ungu di sisi kanan rambutnya), dan Rilo (cowok berkacamata dan bertubuh jangkung).
“Siapa yang beli makanan sebanyak ini?” tanya Albi tak enak, setelah menghidangkan milksheke sejumlah mereka di atas meja.
“Lho, kenapa dibawain milkshake sih, Bi. Air putih aja harusnya,” ujar Sofya.
“Kalau Lo enggak mau, ambil air putih aja sana!” tandas Rilo yang mengambil salah satu gelas dan buru-buru meminumnya.
Liliana menatap Rilo dengan gemas. Mereka tidak enak jika selalu diberikan minuman gratisan oleh Albi. Siapa sih yang tidak memahami kondisi Albi saat ini?
“Santai aja, gue enggak akan bangkrut secepat itu. Jadi, enggak perlu khawatir…” jawab Albi yang mengerti sikap teman-temannya yang merasa canggung meminum suguhannya.
“Udah-udah, mendingan kita makan hidangan ini. Gila, laper banget gue…” tandas Nandan dengan memelas sambil membuka plastik satu per satu, “Besok-besok bawa gurameh asam-manis kek, Ril. Ayam mulu perasaan?”
“Heh … bukan donatur enggak boleh ngatur!” kompak Liliana dan Sofya yang membela Rilo. Pasalnya, Rilolah yang membiayai jajan mereka setiap hari. Cowok kaya itu memang mudah dimanfaatkan teman-temannya.
Nandan hanya cengengesan dan mereka mulai menyantap makanan yang dibelikan Rilo. Di sisi lain, Albi merasa tersentuh dengan pengorbanan teman-temannya yang selalu ada di sampingnya, bahkan ketika masa sulit tidak kunjung meninggalkannya.
“Rencana Lo apa sekarang?” tanya Rilo disela-sela makan pada Albi.
Albi mengangkat kedua bahunya dan menjawab dengan santai, “Entahlah! Gue enggak punya ide. Kayanya menurut kafe ini adalah jalan satu-satunya. Tapi, kasihan si Nandan, nanti dia enggak punya kerjaan lagi. Walaupun kerjaannya enggak dibayar…”
“Asalkan kerjanya sama Lo, gue teh ikhlas aja…” jawab Nandan seraya memberikan finger heart kepada Albi yang memasang wajah jijik.
“Najis!” ujar Albi dan memalingkan wajahnya.
Semuanya tertawa mendengar guyonan keduanya. Namun, tiba-tiba terdengar notifikasi dari ponsel Albi, di mana sebuah nama akun muncul di sana. Albi tidak tahu siapa orang ini. Ia mengerutkan keningnya.
Albi membuka akun Layarkaca-nya (sebuah akun sosial media).
“Siapa sih ini? Kok bisa bikin akun Rainbow kafe jadi rame?” tanya Albi kepada teman-temannya sambil memperlihatkan kepada teman-temannya, “ShenaShen22, siapa?”
***