TITIK TEMU
[50] Maafin Albi!
_________________
Setelah berperang dengan batinnya, akhirnya Albi memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Mau pulang kemana lagi? Toh, cafe-nya sudah dijadikan tempat pengungsian oleh kedua temannya yang tidak mau pulang ke rumah. Albi melajukan motornya dengan pelan, membiarkan angin malam berteman dengannya. Albi masih mengenakan seragam SMA-nya, belum sempat mandi apalagi ganti baju. Sepulang dari sekolah, dirinya langsung datang ke rumah Rilo. Setelah itu pulang ke cafe, membeli makanan, dan akhirnya melihat Rilo datang di cafe untuk meminta tumpangan tidur.
Lalu dirinya sekarang? Baru pulang dengan seragam SMA lengkap pukul sepuluh malam lebih. Apalagi Albi meninggalkan semua kegiatannya; bimbel terutama. Baginya, kondisi temannya lebih penting ketimbang bimbel yang bisa dia ikuti besoknya lagi. Walaupun dia yakin seratus persen bahwa Ibunya akan sangat marah karena Albi membolos lagi. Mau memberikan pembelaan pun tidak akan pernah digubris. Maka dari itu, Albi tidak pernah melakukan pembelaan apapun terhadap seluruh tindakannya.
Motornya memasuki jalanan yang akan menuju rumahnya. Terlihat lampu rumahnya yang padam—padahal rumah lainnya menyala. Dengan bingung, Albi mematikan mesin motornya dan turun dari motornya dengan masih memakai helm. Albi mengetuk pintu rumah berulangkali dan memanggil Ibunya. Namun tidak ada sahutan sama sekali. Albi mengerutkan keningnya bingung dan memilih untuk duduk di kursi yang ada di depan rumahnya, memilih mengecek ponselnya yang sudah bergetar sejak tadi.
Ada banyak sekali panggilan dari Ibunya yang tidak diangkatnya tadi. Lalu ada satu pesan dari seseorang; Indi. Perempuan itu mengirimkan satu pesan saja, nama rumah sakit tanpa catatan atau keterangan yang jelas. Albi tidak membalasnya dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku seragamnya. Cowok itu menaiki motornya untuk menuju ke tempat yang sudah Indi beritahu kepadanya.
Walaupun merasa sangat kesal dan marah, Albi tetap memiliki perasaan khawatir. Apa yang terjadi kepada Ibunya? Apa yang membuat Ibunya meneleponnya sebanyak itu? Albi benar-benar merasa sangat takut sekaligus khawatir. Dia berusaha secepat mungkin sampai di rumah sakit yang diberitahu oleh Indi. Untunglah jalanan sudah mulai sepi dan lenggang, sehingga dirinya bisa sampai di rumah sakit dengan cepat.
Semua orang yang berada di rumah sakit tampak memperhatikan Albi yang masih mengenakan seragam sekolah. Cowok itu mendekat ke resepsionis untuk bertanya nomor kamar Ibunya. Setelah mendapatkan jawaban, Albi buru-buru masuk ke lift yang kebetulan terbuka pada saat itu. Albi menekan tombol 4, untuk sampai ke lantai empat.
Setelah beberapa saat, Albi sampai di lantai empat. Cowok itu berjalan ke lorong untuk mencari nomor kamar Ibunya. Sampai akhirnya dia melihat kedua orang yang dikenalnya—Indi dan suaminya yang tengah duduk di kursi tunggu. Keduanya berdiri dan menatap Albi yang baru datang. Albi tidak menyapa keduanya, berlalu untuk mengintip Ibunya dari balik pintu.
"ALBI!" Bentak Indi yang mulai terlihat kesal kepada sikap adiknya yang semena-mena kepadanya. Lalu dengan marah, perempuan itu mendekat ke arah sang adik dan menamparnya dengan keras.
Plak! Albi memegang pipinya yang mendapatkan tamparan dari Indi—baru kali ini Indi meluapkan rasa marahnya kepada Albi. Entah ini kemarahan yang sudah disimpan dirinya rapat-rapat sejak lama atau kemarahan Albi mengabaikan telepon Ibunya. Intinya Indi benar-benar tidak bisa mentolerir sikap Albi kali ini. Tidak hanya menampar, Indi memukuli Albi seenaknya, sambil menangis.
"KETERLALUAN! KAMU SANGAT KETERLALUAN!" Bentak Indi sambil memukul tubuh Albi berulangkali.
Dean—suami Indi—berusaha untuk menengahi pertengkaran adik dan kakak itu. Terlebih Indi menangis meraung-raung, membuat banyak orang menatap ke arah mereka. Suasana yang tadinya hening pun berubah ramai karena teriakan Indi kepada Albi yang baru datang. Indi merasa sangat marah sekali, bahkan ingin sekali menampar dan memukuli Albi lebih dari ini. Namun tangan dan kakinya rasanya lemas. Dean pun menarik tangan Indi dan meminta perempuan itu untuk berhenti.
"Stop! Jangan bikin keributan, Sayang. Kamu harus tenang! Lihat aku! Lihat aku!" Ucap Dean sambil meminta Indi untuk menatapnya.
"Dia udah kurang ajar!" Ucap Indi dengan menangis sambil menunjuk wajah Albi. "Selama ini aku diam aja waktu dia marah dan ngomong yang enggak-enggak tentang kita. Tapi saat aku tahu dia mengabaikan Ibuk hari ini, aku benar-benar marah. Kenapa dia enggak pernah mikirin perasaan Ibuk? Padahal Ibuk mati-matian kerja banting tulang untuk biaya sekolah dia, bimbel dia, dan semuanya!" Sambung Indi meluapkan emosinya.
Albi memilih diam, cowok itu mendudukkan dirinya di kursi tunggu. Tidak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya. Albi hanya mengusap wajahnya kasar secara berulangkali.
"Ngomong dong! Kaya biasanya! Bentak-bentak aku, marah sama aku seperti biasanya! Kenapa diam aja? Merasa bersalah karena selama ini kamu bukan anak yang baik untuk Ibuk?" Tandas Indi dengan emosi.
Albi menatap Indi dengan tatapan dinginnya, "kalau Mbak memang sayang sama Ibuk, harusnya Mbak enggak hamil duluan! Karena Mbak, keluarga kita hancur! Masih bisa ngomongin tentang anak yang baik? Mbak waras? WARAS?"
Plak! Indi kembali menampar Albi dengan keras.
"Ibuk sama Ayah percaya banget sama Mbak. Sampai akhirnya Mbak yang mengecewakan mereka. Mau tahu kepada aku enggak angkat telepon Ibuk? Karena aku kira, Ibuk bakalan tanya sama aku tentang; kenapa aku enggak ikut bimbel hari ini. Mbak pikir, cuma Mbak yang paling sedih di sini? ENGGAK!" Bentak Albi dengan nada marah.
"Bimbel? Kamu kira orang tua telepon hanya masalah sepele seperti bimbel? Gitu?"
"IYA!" Teriak Albi kepada Indi dengan air mata yang menggenang di kelopak matanya. "Mbak enggak tahu 'kan, seberapa kerasnya Ibuk mendidik aku setelah Mbak hamil? Mbak bisa hidup dengan tenang, tanpa memikirkan kami. Lalu kenapa sekarang Mbak seolah-olah bertindak sebagai pihak yang paling tersakiti?" Sambung Albi sambil tersenyum sinis.
Indi diam dengan wajah kaget, da-danya terasa nyeri karena baru mendengar pengakuan Albi. Indi baru tahu tentang arti ucapan Albi yang terus mengatakan tentang; kembalikan masa remajaku.
Albi menghapus air matanya yang jatuh, "Mbak enggak pernah tanya kenapa aku berubah. Mbak enggak pernah mau tahu tentang apa yang terjadi di rumah setelah Mbak nikah. Memangnya pernah, Mbak bertanya apa yang aku rasakan sekarang?"
Indi mendekat, hendak memegang tangan Albi. Namun Albi menjauh dari Indi.
"Jangan sentuh aku!" Ucap Albi dengan wajah marahnya. "Dulu, Mbak ada panutan untuk aku! Mbak ibarat orang menjadi pengganti orang tua yang sempurna untuk aku. Tapi sekarang, semuanya beda!" Sambung Albi yang mengusap air matanya, entah sudah berapa kali.
Tanpa mengatakan apapun, Albi masuk ke dalam ruangan rawat Ibunya. Meninggalkan Indi dan Dean di depan ruangan Ibunya. Perlahan, orang-orang yang sempat menjadi penonton pertengkaran adik-kakak itu pun bubar. Mereka seharusnya sadar sejak awal; tidak baik menonton pertengkaran keluarga orang lain. Sayangnya, jaman sekarang, banyak sekali orang yang suka melihat masalah orang lain ketimbang membantunya.
Dean merangkul Indi, meminta perempuan itu untuk kembali duduk.
"Biarkan Albi dulu..."
•••••