TITIK TEMU
[49] Berharap yang terbaik
___________________________
Albi menghentikan motornya di depan sebuah warung tenda pinggir jalan yang menjual menu nasi goreng semalam ini. Cowok itu memesan dua porsi nasi goreng dan menunggunya sambil duduk di kursi plastik yang berdampingan dengan beberapa pembeli yang lain. Berulangkali ponselnya bergetar, menandakan telepon masuk. Namun Albi tidak berniat membukanya. Cowok itu mengabaikan telepon itu sejak tadi sore. Sebenarnya Albi sudah tahu siapa yang menelepon dirinya tanpa perlu memastikannya.
Tentu saja semua pesan dan juga telepon yang masuk ke ponselnya berasal dari Ibunya. Apalagi hari ini dia membolos bimbel mahal yang selalu diikutinya karena terpaksa. Bahkan, Albi merasa hidupnya bak robot bernyawa yang bisa diminta mengikuti semua kemauan sang pemilik tanpa memikirkan bahwa dirinya juga bisa rusak. Albi lelah, sesekali. Namun dia harus bisa melewati semuanya, 'kan? Sebagai seorang yang sangat kuat, Albi sudah berjalan sejauh ini.
Dulu, disaat anak-anak seusianya sedang asik bermain, dirinya mulai belajar banyak hal. Bahkan banyak pelajaran yang belum dia pelajari pada usia itu. Setelah itu, masa-masa remajanya pun ternodai dengan semua bimbel yang sama-sama mengekang kebebasannya. Hanya karena satu mata pelajaran saja—membuatnya harus bekerja sangat keras. Memeras otaknya sampai membuatnya frustasi dan kadang ingin menghilang. Namun, Albi masih punya hati nurani. Ibunya, hanya mempunyai dirinya saja. Ibunya hanya menumpukan harapannya kepada dirinya seorang. Tega 'kah Albi?
Ibunya selalu memberikannya dorongan yang begitu menekan. Percuma mendapatkan nilai unggul dalam banyak pelajaran, jika ada satu nilai mata pelajaran yang kalah dari yang lainnya. Tidak pernah Albi merasakan sebuah penghargaan, pujian, kebanggaan, karena bisa mencapai itu semua. Ibunya hanya selalu bilang; belajar, belajar, belajar, dan terus belajar agar bisa menjadi dokter. Padahal ... definisi sebuah kesuksesan bukan hanya karena menjadi dokter. Banyak arti sukses tanpa perlu menjadi PNS.
"Mas," panggil Bapak tukang nasi goreng yang menggunakan nada cukup keras karena Albi tidak menyahut sama sekali. "Pesanannya!" Sambung si Bapak sambil tersenyum dan menyodorkan bungkusan itu.
Albi mengambil bungkusan itu dan tersenyum tipis, "makasih, Pak."
Setelah itu, Albi kembali menaiki motornya untuk kembali ke cafe. Sepanjang perjalanan, Albi merasa tidak fokus. Untungnya dia sampai di cafe dengan lancar karena memang jalanan sudah mulai sepi. Terlihat sebuah mobil terparkir di depan cafe-nya dan sebuah motor yang memang milik Nandan. Albi melepas helm-nya dan melihat Rilo yang sudah berada di dalam.
Ting! Bel berbunyi ketika Albi masuk ke dalam cafe sambil membawa plastik berisi makanan. Cowok itu meletakkan plastik itu di atas meja dan memilih untuk duduk bersama dengan kedua temannya itu.
"Kenapa Lo di sini?" Tanya Albi kepada Rilo yang entah sejak kapan berada di cafe-nya. "Lo nyetir sendiri juga? Nekad!" Sambung Albi seperti Ibu-ibu yang memarahi anaknya.
Rilo tersenyum tipis, "bosen tiduran mulu gue! Gue tadi sempat tanya di grup, terus Nandan bilang kalau dia ada di sini. Jadi ... gue susulin kalian berdua. Gue juga bawa snack kok! Lumayan buat ngemil."
"Bukan gue yang ngajak!" Tandas Nandan ketika Albi menatapnya. Padahal hanya tatapan biasa, tanpa ekspresi. Bukan tatapan menuduh yang selalu Albi perlihatkan kepada Nandan setiap kali Nandan berbuat ulah.
Albi menghela napas panjang, "gue bawa nasi goreng, cuma dua porsi. Kita makannya bareng aja! Gue juga enggak tahu kalau Lo ada di sini..."
"Lagipula, di rumah enggak ada yang nemenin gue. Mau sakit atau enggak, mana ada yang peduli sama gue! Iya, 'kan?" Ucap Rilo dengan wajah yang masih pucat. "Gue mau tidur di sini juga. Bodo amat sempitnya kaya apa. Yang penting gue enggak mau balik." Sambung Rilo dengan merengek pada Albi.
Albi menatap Rilo dan Nandan yang akan menginap di cafe-nya, "terus ... kalau kalian berdua mau nginep di sini, gue mau di mana?"
"Lo 'kan bisa balik, Bi. Dari kemarin Lo enggak balik ke rumah, 'kan? Lo tahu sendiri, keluarga jauh gue baru balik besok. Gue enggak mau balik ke rumah dulu, nanti ditanya aneh-aneh. Masa Lo tega sama gue? Kan cuma sehari doang," ucap Nandan dengan memasang wajah melas.
Rilo pun mengangguk, "gue juga lagi sakit. Kalau di rumah 'kan enggak ada temennya. Kalau di sini 'kan Nandan ada."
"Kenapa cafe gue mirip tempat penampungan gini? Mana gue yang harus ngalah pula," tandas Albi kesal dengan menatap kedua sahabatnya yang memasang wajah tanpa dosa.
"Iya, iya, kalian tidur aja di sini. Biar gue yang pergi!" Ucap Albi dengan menekankan kata pergi pada kalimatnya.
Mata keduanya berbinar, "makasih Albi. Waktunya makan..."
Albi menggelengkan kepalanya dengan pelan melihat tingkah laku keduanya. Sekarang Nandan sudah membawa bungkusan nasi gorengnya ke belakang untuk diletakkan di piring. Sedangkan Rilo keluar dari cafe untuk mengambil se-plastik besar makanan ringan yang dibawanya dari rumah. Sekarang, mereka akan pesta besar.
"Ini yang Lo bilang lagi sakit?" Tanya Albi kepada Rilo yang mengeluarkan semua makanan ringannya di atas meja cafe dengan wajah tanpa dosa.
Rilo tersenyum ke arah Albi, "kalau bareng-bareng makannya, enggak terasa pahit."
"Buset! Makin banyak aja makanan yang dibawa. Lo mau buka cabang minimarket di sini?" Heboh Nandan yang melihat banyak makanan ringan di atas meja.
"Stok makanan gue kalau lagi gabut di kamar." Jawab Rilo dengan senyum tipisnya. Percayalah, Rilo masih punya banyak makanan di dalam lemari makanannya yang ada di kamarnya. Karena terlalu mageran, kamarpun bisa menjadi apapun, bukan?
"Kalau gue yang bawa makanan ke kamar, habis sama Mamak." Curhat Nandan yang menceritakan Ibunya yang galak. "Kamar itu buat tidur, bukan buat makan. Ada semut di kasur nanti. Repot Mamak. Gitu katanya!" Sambung Nandan sambil menceritakan kejadian yang sebenarnya membuat keduanya sangat iri.
Nandan menatap kedua temannya yang tampak bengong. Dia sadar dengan apa yang diucapkannya. Walaupun tidak sengaja, namun mereka pun pasti ingin memiliki keluarga yang sederhana seperti keluarganya. Banyak anak yang kurang beruntung karena memiliki keluarga yang kurang harmonis. Seperti Albi yang sudah yatim dengan Ibunya yang banyak menuntut. Rilo sendiri kaya raya dan bisa membeli apapun, namun miskin kasih sayang. Belum lagi tuntutan untuk belajar menjadi pemimpin pun semakin membuatnya tertekan. Berbeda dengan dirinya yang bisa berjalan kesana-kemari dengan bebasnya.
"Sok dimakan atuh! Laper!" Tandas Nandan mencairkan suasana.
"Makan mulu pikiran Lo!" Jawab Rilo kepada Nandan.
Albi menggelengkan kepalanya pelan dan memberikan sendok kepada keduanya, "makan deh! Gue mau balik!"
"Hati-hati ya Bi, kalau mau balik." Ucap Nandan mengingatkan sambil menyendokkan makanan ke mulutnya.
"DIAM LO!" Bentak Albi dengan wajah galak. "Gue enggak butuh simpati Lo!" Sambung Albi sebal.
"Gue enggak pakai simpati, btw! Gue pakainya XXL." Ucap Nandan yang mendapatkan toyoran gratis dari Rilo.
"Udah, pada makan aja! Jangan berisik!" Tandas Rilo yang hanya ditanggapi Albi dengan helaan napas panjangnya.
Terkadang, hal kecil seperti ini saja sudah membuatnya merasa cukup bahagia. Semenjak bertemu dengan mereka, Albi mereka dunianya yang abu-abu menjadi berwarna. Kadang, mempunyai seseorang disamping kita memang mempunyai dampak yang sangat besar. Albi berharap, semua orang yang mempunyai nasib tidak baik di keluarganya, yang kurang kasih sayang, yang penuh dengan tekanan, terkadang merasa tidak mempunyai siapapun—diberikan teman-teman yang pengertian dan selalu ada walaupun tidak bisa membantu apapun.
Karena, terkadang, kita tidak perlu orang lain tahu masalah kita. Tetapi yang diperlukan hanyalah ada orang yang mau tetap berada disamping kita dalam keadaan yang buruk sekalipun.
•••••