TITIK TEMU
[48] Obat yang hilang!
________________________
Helaan napas Shena terdengar cukup kasar. Cewek itu baru saja masuk ke dalam kamarnya setelah pulang dari acara reuni SMA sang Papi. Dengan malas, Shena melemparkan sepasang sepatu heels-nya ke sembarang arah, lalu merebahkan dirinya di ranjang dengan masih mengenakan dress pestanya. Kakinya rasanya pegal setelah mengenakan heels setinggi tiga sentimeter—yang sebenarnya tidak terlalu tinggi untuknya. Tetapi akhir-akhir ini, Shena jarang sekali menggunakan sepatu ber-hak tinggi karena sedang vakum dari seluruh sosial medianya atau pembuatan konten video apapun.
Semenjak dirinya dihujat karena kasus video kekerasan viral yang menyeret namanya, Shena enggan untuk aktif di media sosialnya. Bukan takut atau apalah itu, namun Shena merasa tenang saat tidak membuka ponselnya selama beberapa hari ini. Dia meletakkan ponselnya di atas meja—sesekali memegangnya untuk memastikan ada atau tidaknya pesan dari Albi. Ya ... walaupun mereka tidak saling mencintai, tetapi 'kan status mereka sangat jelas; pacaran. Tentu saja Albi akan mengabarinya sesekali, walaupun tidak sering.
Malam ini, Albi belum menghubungi dirinya sama sekali. Secara berulang, Shena membuka kotak pesannya yang masih belum menerima pesan dari Albi. Hanya beberapa pesan dengan nomor tidak dikenal yang Shena tahu adalah nomor tukang teror yang setiap hari mengirimkan pesan ancaman. Namun dengan seiring berjalannya waktu, Shena terlalu terbiasa. Cewek itu tidak pernah mempermasalahkan hal itu lagi. Apalagi semenjak dia mempunyai teman-teman yang baik dan mau mengajaknya kemana-mana. Sehingga kehidupan Shena tidak sehambar dulu.
Sayangnya, malam ini ternodai dengan pertemuannya dengan sosok cowok yang selalu ingin dia temui, namun sangat salah ditemui; Arbani. Bahkan cowok itu masih sama seperti dulu, begitu hangat dan lembut pada dirinya. Bahkan Arbani sama sekali tidak mengubah sapaannya untuk Shena, masih menggunakan kata ganti aku-kamu, tidak menetapkan kata Lo-gue kepadanya. Padahal, mereka sudah cukup lama putus.
Shena mendongakkan kepalanya, menatap sebuah dream catcher yang menggantung di dekat jendela. Benda itu hampir rusak karena termakan usia. Padahal Shena bisa membeli yang baru. Namun karena benda itu dibuat langsung oleh Arbani, Shena tidak akan pernah membuangnya. Cowok itu memberikan dream catcher kepada Shena saat Arbani duduk dibangku SD kelas 6. Tepatnya ketika ada ujian praktek prakarya dan Arbani membuat benda itu untuk Shena. Bahkan, ketika hubungan mereka benar-benar berakhir—Shena tidak mampu membuang benda itu.
Setelah mengumpulkan niatnya, Shena masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Hanya butuh waktu setengah jam, Shena keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piyama tidurnya. Dia kembali menatap dirinya di cermin, hari ini sangat melelahkan untuknya.
"Kenapa gue belum bisa move on dari Arbani, sih?" Ucap Shena pada dirinya sendiri.
"Dia udah nyakitin Lo, Shen." Sambung Shena dengan wajah sedihnya. "Dia selingkuh dan bikin perasaan Lo sakit! Lo seharusnya tampar dia atau apapun itu. Lo enggak boleh ingat-ingat dia lagi." Tandas Shena yang berusaha untuk menyandarkannya dari semua perasaan tidak nyaman ini.
Cewek itu berjalan ke arah ranjang, mencari sesuatu di bawah bantal; tetapi tidak ada! Shena membulatkan matanya karena tidak menemukan barang yang dicarinya. Dengan cepat, Shena membongkar tumpukan bantal di ranjangnya untuk menemukan sesuatu itu. Sayangnya, tidak ada sama sekali. Bahkan di dalam laci, di tas sekolahnya, dan di tempat yang biasanya tidak dirinya gunakan pun sudah dicarinya—sayangnya tetap tidak ada. Sampai terdengar suara pintu dibuka dari luar.
Klek. Seorang perempuan masuk ke dalam kamarnya dengan menatap penuh ke arah Shena. Terlihat sekali kamar Shena yang berantakan karena pencarian benda itu.
"Apa yang terjadi dengan kamar kamu, Shen?" Tanya perempuan itu lalu meletakkan segelas s**u di atas meja samping ranjang Shena. "Hm ... Bunda bawakan s**u hangat untuk kamu. Bunda tahu kamu tidak suka kalau Bunda masuk ke kamar kamu tanpa ijin, tapi Bunda hanya ingin memastikan kamu tidak apa-apa." Sambung perempuan yang menamai dirinya dengan sebutan Bunda itu.
Melia—nama perempuan itu—yang menatap Shena serius. Bahkan cewek itu tidak memperhatikannya sama sekali, memilih untuk berdiri dengan kesal menghadap jendela kamarnya. Shena tidak ingin berbicara dengan Melia walaupun perempuan itu tampak sangat menyayanginya. Bagi Shena, sebaik apapun Melia padanya, tidak akan pernah berarti apa-apa. Karena perempuan yang baik, tidak akan merebut pasangan perempuan lainnya.
"Kamu mencari sesuatu sampai membuat kamarmu berantakan begini?" Tanya Melia yang mendapat tatapan tajam dari Shena.
Cewek itu melipat tangannya di da-da dengan ekspresi kesal, "mau sampai kapan kamu memperlihatkan sifat sok keibuanmu? Mau berusaha sekeras apapun, aku tidak akan pernah menghargai usahamu!"
Melia tersenyum tipis ke arah Shena dan mengeluarkan sebuah botol yang sempat dicarinya tadi.
"Lo..." Bentak Shena sambil menatap tajam ke arah Melia. "Berani banget Lo ambil barang punya orang lain! Memangnya Lo siapa? Kembalikan!" Sambung Shena yang sudah tidak menggunakan sopan-santun lagi. Melupakan bahwa Melia lebih tua darinya dan tidak sepantasnya menggunakan Lo-gue kepada Ibunya sendiri; walaupun hanya ibu tiri.
Perempuan itu tampak tertegun, namun berusaha untuk bersikap tenang di depan Shena yang sangat marah.
"Bund—" ucapan Melia terputus ketika Shena mengambil paksa botol berisi obat tidur itu dari tangannya.
Shena buru-buru memasukkannya ke dalam saku piyama tidurnya, "sudah mulai lancang rupanya! Mengambil barang milik orang lain itu namanya mencuri! Bukannya itu yang selalu Lo katakan sama anak-anak TK itu?"
Melia memandang wajah Shena yang memerah, "sejak kapan kamu minum obat tidur, Shena? Apa Papi tahu?"
"Apa peduli Lo?" Bentak Shena.
"Shen ... Bunda enggak mau kamu ketergantungan sama obat kaya gini untuk tidur. Kamu bisa cerita sama Bunda apa yang membuat kamu merasa enggak nyaman. Atau kita datang ke dokter aja. Gimana?" Ucap Melia khawatir.
Shena tersenyum sinis, "mendingan Lo pergi sekarang, sebelum gue melakukan hal yang lebih kurang ajar daripada ini!"
Melia menatap Shena—mengapa mereka selalu bertengkar? Bahkan sudah bertahun-tahun lamanya, namun tidak ada kesempatan untuk dirinya sedikitpun.
"Baiklah," ucap Melia mengalah karena tidak mau membuat Shena semakin membencinya. "Bunda akan keluar dari kamar kamu dengan satu syarat, kamu minum susunya dulu. Biar Bunda sekalian letakkan gelas bekas kamu di dapur." Sambungnya dengan tersenyum tulus.
Tanpa basa-basi, Shena langsung meminum s**u itu sampai tandas. Lalu meletakkan gelas bekas s**u itu di atas nampan yang dibawa Melia.
"Udah! Sekarang Lo bisa pergi," ucap Shena dengan penuh penekanan.
Melia mengangguk singkat, lalu keluar dari kamar Shena dengan cepat—sebelum cewek itu semakin marah padanya. Padahal, maksudnya mengambil obat itu hanya untuk sekedar bertanya kepada Shena; memastikan bahwa putrinya tidak kecanduan obat tidur. Jika sampai semuanya terjadi, Melia harus tahu alasannya, mengapa Shena sampai tidak bisa tidur! Walaupun dia bukan ibu kandung Shena, namun tetap saja dirinya adalah Ibu dari Shena sekarang.
Karena terkadang, ikatan darah tidak terlalu penting. Yang paling penting adalah ikatan batin... Perhatian dan kasih sayang yang lebih utama dari sebuah ikatan darah murni.
•••••