47

1071 Words
TITIK TEMU [47] Mau bicara denganku? ____________________________ Shena melepaskan heels-nya, lalu menentengnya ketika akan menaiki anak tangga untuk menuju rooftop di gedung ini. Cewek itu nekad pergi meninggalkan acara reunian SMA sang Papi karena merasa bosan dengan semua pembahasan yang tidak jauh dari perusahaan, saham, pewaris, kekayaan, kekuasaan, dan segala t***k-bengeknya. Shena pikir, reuni SMA yang seharusnya diisi dengan kenangan masa lalu ketika jaman SMA malah berujung pamer kesuksesan. Percayalah, reuni hanya seputar itu. Jarang sekali Shena melihat reuni yang benar-benar murni reuni—bertemu teman lama dan mengingat kenangan jaman dulu ketika bersama. Seharusnya, dia di rumah saja dan menikmati waktunya sendirian di kamar. Sayangnya, Papinya selalu mengajaknya ketika hendak pamer. Siapa sih yang tidak kenal dengan Shena? Cewek itu seakan menjadi pembicaraan hangat selama muncul di Layarkaca dan Watching sebagai seorang beauty vlogger yang cukup dikenal dikalangan remaja bahkan dewasa. Beberapa anak dari teman SMA Papinya pun berebut ingin berkenalan dengan cewek itu dan berharap bisa mempunyai hubungan yang dekat suatu saat nanti. Namun sayang, Shena yang tidak mudah akrab dengan orang lain—terlebih orang-orang yang ada hubungannya dengan Papinya—membangun dinding pertahanan setinggi mungkin. Shena tidak mau hidup dalam kepalsuan dengan berteman atau mungkin menjalin hubungan dengan orang-orang yang sama seperti Papinya. Dunia bisnis terlalu kejam untuk mendeklarasikan sebuah pertemuan yang murni. Semuanya harus ada timbal-balik. Bahkan kadangkala, anak dilahirkan pun harus ada feedback untuk orang tuanya. Memang ironis! Namun terkadang semua itu benar adanya. Orang tua selalu berharap lebih kepada anaknya karena orang tua sudah melakukan yang terbaik untuk kehidupan sang anak. Walaupun begitu, anak bukan sebuah barang yang bisa diatur dan dipindahkan sesuka hati. Anak tetap manusia yang punya perasaan. Sama seperti orang tua, mudah terluka dan mudah patah. Karena semua sama, manusia. Dengan sedikit melamun, Shena menaiki anak tangga menuju ke rooftop. Setelah sampai di anak tangga paling atas, terlihat pintu rooftop yang terbuka—ada orang yang datang lebih dulu darinya. Shena berjalan pelan, melongokkan kepalanya ke dalam pintu dan merasakan udara dingin langsung mengenai kulitnya. Terlihat seorang cowok tengah menghadap ke langit lepas, berdiri di belakang sebuah pembatas sambil menghisap rokoknya. Terlihat asap mengepul tipis walaupun Shena tidak bisa melihat wajah cowok itu. Walaupun tidak melihat wajah cowok itu, Shena dapat menerka siapa dia. Sayangnya, Shena tidak ingin peduli walaupun mereka saling mengenal sekalipun. Shena melangkah kembali untuk menjangkau rooftop. Berjalan ke sisi lain untuk menikmati suasana malam yang menyebalkan. Andaikan saja dia berada di rumah; rutuknya selama menginjakkan kakinya di gedung ini. Shena merasa lelah dan kesal karena terlalu sering bertemu dengan orang-orang bermulut besar yang mengatakan tentang betapa kayanya mereka. Semua itu sangat membosankan! "Mau bicara denganku?" Suara cowok itu memecah keheningan di atas sini. Shena pun tidak berharap akan mendengarkan suara cowok itu, lagi. Sayangnya, cowok itu sudah berjalan mendekat ke arahnya setelah meninggalkan puntung rokok yang diinjaknya. Cowok itu berdiri tidak jauh dari Shena yang tengah memandang jalanan yang masih padat-merayap malam ini. Shena tidak menjawab, tidak menoleh, dan tidak menganggap keberadaan cowok itu. "Kamu baik-baik saja?" Tanya cowok itu dengan menatap ke arah Shena yang tidak menjawabnya. "Kamu tidak ingin bicara denganku, lagi?" Sambung cowok itu sambil tersenyum tipis. Shena masih diam, tidak menjawab apalagi menoleh ke arah cowok yang mengenal dirinya itu. Cowok itu melepaskan jasnya dan memakaikannya ke pundak Shena yang terbuka karena mengenakan dress tanpa lengan. Shena cukup kaget dengan perlakuan cowok itu, selalu membuatnya merasa aneh karena sikap tidak terduganya. "Gue enggak butuh—" "Pakai aja ... enggak baik terlalu lama kena angin malam. Apalagi di sini anginnya kencang banget." Tandas cowok itu dengan menatap ke arah Shena. "Sudah beberapa bulan kita enggak pernah bertemu lagi. Kamu pasti bahagia dengan kehidupan di sekolah barumu. Iya, 'kan?" Sambung cowok itu lagi. Shena mengangguk sekilas, "kenapa Lo bisa ada di sini? Seharusnya yang datang kesini 'kan adik Lo?" "Entahlah," jawab cowok itu seadanya. Tidak bisa Shena pungkiri bahwa, orang disampingnya ini adalah orang yang pernah mewarnai hidupnya dan menemaninya setiap saat. Cowok ini juga yang membuatnya jatuh cinta sedalam itu dan akhirnya kecewa dengan luka yang sampai detik ini belum sembuh. Shena membenci cowok ini, namun tidak bisa dia pungkiri bahwa cowok inilah yang membuatnya mengenal kehangatan cinta, yang memberikannya sebuah kenyamanan, membuatnya sadar bahwa setiap manusia memerlukan kasih sayang. Sayangnya, cowok ini juga lah yang membuat tidak lagi percaya makna mencintai dan dicintai. "Arbani," "Hm," Mereka saling berpandangan, kembali. Setelah beberapa bulan lamanya tidak saling bertemu karena keadaan. Arbani ... nama itu seakan tidak asing didengar oleh sebagian orang. Apalagi orang-orang di sekolah lama Shena. Mereka dikenal sebagai best couple di sekolah. Keduanya menjadi idaman bagi pasangan lainnya. Shena yang cantik dan Arbani yang populer. Keduanya adalah pasangan yang tepat untuk satu sama lain. Sampai akhirnya, badai itu berhembus dan memporak-porandakan hubungan keduanya. "Lebih baik, kita pura-pura saling asing! Gue berusaha mati-matian untuk enggak bertemu dengan Lo, lagi. Lagipula, gue udah punya pacar. Gue enggak mau dia salah paham karena kita ngobrol." Ucap Shena dengan susah payah. Arbani mengangguk pelan, "aku enggak akan mengganggu hubungan kamu dengan pacar baru kamu kok. Aku cuma mau berteman, seperti sebelum kita memutuskan untuk pacaran. Bisa?" "Enggak!" Tandas Shena dengan cepat. Arbani mengerutkan keningnya bingung, "kenapa enggak? Sebelum pacaran, kita sahabatan. Bahkan sejak kecil kita selalu sama-sama. Kamu enggak ingat kalau dulu kita janji untuk tetap berteman walaupun sudah putus." "Itu 'kan sebelum Lo memilih selingkuh sama Arinda! Kalau Lo enggak selingkuh sama dia, mungkin hubungan kita masih baik-baik aja sampai sekarang. Gue enggak akan pindah dari sekolah yang lama dan gue enggak akan menerima semua pesan teror itu selamanya! Semua yang terjadi sama gue, karena Lo!" Teriak Shena dengan emosi yang sudah tidak bisa ditahan lagi. "Lo enggak akan pernah tahu apa yang gue alami selama ini. Lo cuma bisa berandai-andai tentang semua hubungan kita yang baik-baik aja. Berteman? Lo pikir gue bakalan mau berteman dengan orang yang bikin gue sakit hati? Enggak akan pernah! Gue enggak akan mau berteman sama Lo!" Sambung Shena dengan marah. Shena melepaskan jas milik Arbani, memberikannya kepada cowok itu dan berjalan meninggalkan rooftop, meninggalkan Arbani yang masih mematung di sana. Dia tidak pernah berpikir bahwa semuanya akan sesulit ini. Shena benar-benar tidak bisa memaafkannya. Bahkan saat dirinya masih sangat mencintai Shena, juga. Sayangnya, Arbani tidak bisa mengatakannya. Arbani tidak ingin melukai Shena lebih dalam. Sayangnya, kenyataan bahwa Arbani selingkuh pun menjadi tamparan keras untuk Shena. Kurang sempurnakah, seorang Shena untuk Arbani selama ini? •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD