53

1097 Words
TITIK TEMU [53] Meminta maaf untuk apa? ______________________________ Langkah kaki Albi berhenti ketika berada tepat di depan pintu ruang rawat Ibunya. Cowok itu memilih mundur beberapa langkah; tidak jadi masuk ke dalam. Albi mendudukkan dirinya di kursi tunggu di mana Indi dan Dean duduk tadi. Mereka berdua sedang berada di dalam dan Albi tidak ingin bertengkar lagi. Dia kehabisan tenaga untuk meneriaki Kakaknya—mengungkit masa lalu kelam yang membuat hubungan mereka berdua mulai merenggang. Padahal, mereka sangat dekat, dulu. Albi selalu ingat tentang semua kenangan dirinya dan Indi ketika jaman dulu. Sayangnya, Albi menguburnya dalam-dalam saat ini. Albi membenci Indi! Entah membenci dalam artian apa. Namun, setiap kali melihat Indi, Albi merasa dunianya yang indah dan menyenangkan kini hancur berkeping-keping. Albi yang dulu seperti kehilangan nyawa dan digantikan dengan Albi yang baru—tanpa nyawa. Dia merasa seperti robot dengan remote control yang bisa disetir kemana-mana. Rasanya sangat menyesakkan sekali! Disaat Albi yang membutuhkan motivasi, dorongan, semangat, dan pelukan ketenangan, tidak ada satupun yang bisa memberikannya. Bahkan orang yang paling Albi percayai, Indi. Selama orang tuanya tidak akur dan sering bertengkar, Indi yang selalu menenangkannya dan mengajaknya bermain di luar. Waktu itu, umurnya belum genap sepuluh tahun. Dulu, Albi hanyalah anak periang yang suka bermain bola. Bukan Albi yang kutu buku dan juara kelas. Karena pada waktu itu, Indi adalah harapan yang selalu diharapkan kedua orang tuanya. Bahkan yang sangat dia harapkan. Indi sangat pintar, sering mengikuti banyak olimpiade dan selalu keluar sebagai juara. Indi mendapatkan banyak sekali penghargaan atas prestasinya. Lalu, kadangkala saat Indi mendapatkan uang pembinaan, dia sering membelikan jajan atau bola baru kepada Albi. Sesekali Indi akan mengajak Albi makan bakso atau membeli kaos bola yang Albi suka. Semuanya begitu membekas dan lekat di dalam ingatannya. Tanpa sadar, dengan mengingat potongan masa lalu saja sudah membuat Albi meneteskan air matanya kembali. Albi merasa berat ketika menyuarakan perasaannya selama ini. Albi hanya ingin ada orang yang mau mendengarkan semua ceritanya tanpa memberikannya saran yang tidak berguna. Albi benar-benar lelah sekarang. Krit. Pintu digeser dan menampakkan seorang laki-laki yang keluar dari kamar rawat inap Ibunya. Dengan cepat, Albi menghapus air matanya dengan telapak tangannya—memilih untuk diam walaupun laki-laki itu duduk disampingnya. Terdengar helaan napas panjang dari laki-laki itu. "Keadaan Ibuk sudah membaik. Tinggal tunggu beliau siuman saja. Operasi lancar dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Ucap laki-laki dengan kemeja abu-abu itu, Dean. Albi tidak menjawab, dia sangat membenci laki-laki disampingnya ini. Karena dari semua masalah yang ada di dalam keluarganya, Dean sangat patut untuk disalahkan. Laki-laki ini lah yang sudah membuat masa depan Kakaknya hancur. Bahkan, remaja sepintar Indi harus berakhir menjadi lulusan SMP. "Tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri! Mas sudah bilang sama Mbak Indi kalau semua ini memang murni musibah. Bukan salah siapa-siapa!" Sambungnya dengan tersenyum ke arah Albi. Dean berusaha untuk menenangkan Albi sebisanya. Walaupun dia tahu bahwa Albi sangat tidak menyukai dirinya. Terlihat dari tatapan cowok itu yang menajam. "Maaf," ucap Dean akhirnya. Albi menoleh, menatap laki-laki yang baru saja mengucapkan kata maaf kepadanya. "Maaf untuk apa?" Tanya Albi dengan nada sinis. "Maaf karena membuat keluarga kami semakin berantakan?" Sambung Albi dengan menatap Dean serius. "Mas memang salah dan kamu pantas membenci Mas, kok! Hubungan Mas dan Mbak Indi memang terjadi tidak semestinya. Maaf karena membuat kamu kehilangan sosok Kakak ketika kamu membutuhkannya. Maaf untuk semua hal yang Mas lakukan tanpa sadar. Mas sudah berusaha ... tapi semuanya sudah terlanjur, Bi. Mas tidak bisa mengembalikan masa lalu, tapi mas berusaha memperbaiki masa depan." Tandas Dean dengan sungguh-sungguh. Albi tersenyum sinis, "lalu ... apa untungnya meminta maaf jika tidak bisa mengembalikan masa lalu? Aku sudah kehilangan banyak hal, untuk apa aku menyesalinya, 'kan? Toh, aku baik-baik saja tanpa permintaan maafmu!" "Selama ini, kita tidak pernah bicara berdua seperti ini. Mas hanya ingin meluruskan semuanya. Supaya kamu enggak selalu menyalahkan Mbak Indi atas semua masalah yang terjadi pada kita semua. Hidup Mbak Indi juga berat, Bi. Apalagi ketika kami berdua kehilangan anak kami waktu itu." Ucap Dean yang mengenang kembali masa-masa sedih saat mereka harus merelakan anak mereka yang meninggal dalam kandungan. Albi mengusap wajahnya kasar dan menatap Dean, "orang tuaku menjaga Mbak Indi mati-matian. Memberikan segala yang terbaik dan membuatnya selalu bahagia. Kenapa kamu datang dan tiba-tiba merusaknya. Mengapa kamu sebagai seorang laki-laki tidak bisa menjaga kehormatannya. Jika memang kamu mencintai Mbak Indi, apa mungkin kamu menghamilinya dan membuat masa depannya hancur lebur. Lihat ... dia kehilangan semua mimpi besarnya! Kita sebagai seorang laki-laki mungkin tidak akan rugi atas apapun. Tapi perempuan? Rugi habis-habisan. Aku bicara begini karena aku adalah adik dari orang yang pernah dirusak. Dan aku tahu rasanya!" Dean terdiam, dia sudah berusaha menjelaskan. Namun semua yang dia jelaskan seakan tidak masuk akal untuk Albi. Dean memang salah, dia mengakuinya. Namun, apa yang bisa dia lakukan untuk menebus semua kesalahannya? "Aku tahu kalian berdua anak baik. Kalian berprestasi! Kalian berdua adalah orang-orang ambisius yang ingin menjadi juara dan meraih mimpi setinggi-tingginya. Bahkan semua orang membicarakan kalian berdua; pasangan sempurna. Kalian adalah pasangan yang diidamkan oleh banyak orang. Lalu ... apa yang sebenarnya kalian usahakan? Kamu bisa bebas bersekolah, kuliah, dan akhirnya menduduki perusahaan Ayahmu. Sedangkan Mbak Indi? Dia di rumah, tidak bisa bersekolah, tidak diperbolehkan ikut kursus apapun, tidak bisa melakukan hobi dan kesenangan yang dia lakukan dulu. Dia depresi, kecewa, dan marah sendirian. Kamu tidak tahu itu, 'kan?" Albi seperti meluapkan semua amarahnya kepada Dean. Laki-laki itu seperti tertegun mendengarkan semua penuturan Albi. "Tapi ... Indi tidak pernah bicara hal itu dengan Mas." Ucap Dean dengan bingung. Albi tertawa pelan, "tanyakan saja pada keluargamu yang kaya raya itu. Bukankah orang miskin seperti kami adalah keset untuk kalian? Memang apa yang bisa Mbak Indi katakan? Memangnya kamu mampu untuk melawan kehendak orang tuamu? Enggak 'kan?" Albi memang sering mendengarkan cerita Indi yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang tua Dean. Indi selalu dilarang ini dan itu. Membatasi semua gerakan Indi dan memintanya selalu patuh. Padahal, ketika anak pertamanya meninggal, Indi ingin sekali melakukan kegiatan lain yang membuatnya lebih tenang. Sayangnya, orang tua Dean tetap bersikeras agar Indi tetap di rumah. Mereka sering mengatakan hal tidak pantas ketika Indi meminta uang untuk membeli sesuatu kepada Dean. "Kamu bilang ... itu kesalahanmu, 'kan? Kenapa orang tuamu selalu menyalahkan Mbak Indi? Kenapa kamu tidak tahu bahwa istrimu sendiri kesulitan berada di rumahmu yang besar?" Marah Albi kepada Dean yang hanya bisa bungkam. "Aku mungkin membenci Mbak Indi. Tapi aku juga tidak terima jika kalian memperlakukan Kakakku seperti itu. Jika memang semua kesalahanmu ... bisakah kamu mengembalikan masa lalu?" Dean menatap Albi sekilas dan mengangguk pelan. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD