52

1082 Words
TITIK TEMU [52] Menemani Albi ____________________ Kopi yang awalnya panas dengan uapnya yang mengepul pun sudah terlanjur dingin. Shena tidak ingin meminum kopi lagi setelah melihat Albi menangis di pelukannya. Cowok itu, walaupun sekeras batu—tetap saja bisa menangis. Shena baru tahu fakta itu. Shena selalu berpikir jika semua orang berjenis kelamin cowok adalah manusia-manusia yang kebal dengan segala macam perasaan. Dan bagi Shena, cowok juga tidak punya sifat empati atau kebaikan sedikitpun di dalam pikiran Shena. Mungkin karena banyaknya kesalahan orang kepadanya, membuat Shena tidak percaya pada cowok. Namun untuk saat ini, Shena bisa sedikit percaya kepada Albi. Cowok itu yang membuatnya merasakan kehangatan sebuah pelukan, lebih daripada pelukan siapapun saat ini. Bahkan, Shena tidak ingat kapan terakhir kalinya dirinya memeluk Papinya. Mungkin sudah lama sekali, sampai Shena menganggap bahwa memeluk Albi lebih baik. Albi yang lebih memahami perasaannya dari siapapun karena mereka pun hidup dengan perasaan yang sama—penuh masalah, yang belum diketahui satu sama lain apa masalahnya. Albi sendiri sudah mulai tenang, tak lagi terdengar suara isakan tangis sama sekali. Sekarang, Albi hanya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil menatap ke depan. Sebenarnya Albi merasa malu jika harus melakukan kontak mata dengan Shena yang masih duduk disampingnya tanpa bertanya. Albi pun sempat menceritakan kronologi tentang; mengapa dirinya berada di sini. Shena menjadi tahu tentang betapa runyamnya keluarga Albi ketika cowok itu menceritakan masalah hidupnya satu-persatu. Albi yang dimarahi Kakaknya habis-habisan karena tidak mengangkat telepon Ibunya yang kesakitan karena jatuh dari kursi karena mengganti lampu di dapur. Albi merasa bersalah dan merasa sangat kesal. Dia merasa bersalah karena membahayakan nyawa Ibunya jika sampai Kakaknya tidak datang ke rumah dan membawa Ibunya ke rumah sakit. Namun dia juga marah karena disalahkan oleh Kakaknya yang menurutnya mempunyai dosa yang lebih besar. "Maaf, ada kiriman barang dari toko Barlington atas nama Mbak shena." Ucap seorang laki-laki yang muncul secara tiba-tiba di depan mereka. Shena tersenyum tipis, "saya Shena, Pak!" "Oh iya, baik. Barangnya sudah diterima ya, Mbak. Tolong difoto barangnya di aplikasi pemesanan Mbak Shena dan jangan lupa untuk klik tombol terima!" Ucap laki-laki itu dengan ramah. Shena mengangguk dan melakukan apa yang diintruksikan oleh laki-laki yang mengantarkan barang kepada dirinya. "Baik ... sudah ya, Mbak Shena! Kalau begitu saya pamit dan semoga bisa belanja kembali di Barlington." Albi menatap kepergian laki-laki yang mengantarkan barang pesanan Shena tadi. Dia penasaran apa yang Shena beli semalam ini. Padahal masih ada hari esok untuk sekedar berbelanja. Mengapa harus semalam ini, bahkan sudah hampir tengah malam. Tetapi, tidak ada niatan untuk bertanya. Dia bukan orang yang se-kepo itu, dan bukan orang yang suka mengurusi urusan orang lain sampai se-detail itu. Shena menatap isi paper bag yang berada dipangkuannya, lalu setelah memastikan semuanya lengkap—menyodorkannya kepada Albi. "Apaan?" Tanya Albi bingung karena Shena memberikan paper bag itu kepadanya. "Gue beliin baju ganti buat Lo. Gue enggak tahu style seperti apa yang Lo mau. Tapi ... menurut gue, ini bagus kalau Lo yang pakai." Ucap Shena sambil meraih tangan kanan Albi untuk menerima pemberiannya. "Gue enggak menerima pemberian barang apapun dari siapapun!" Jawab Albi yang hendak menolaknya. Shena menggeleng pelan, "gue 'kan pacar Lo! Lagipula, gue males lihat Lo pakai seragam begini. Ini udah tengah malam, dan Lo belum mandi. Tolong, hargai pemberian gue." Albi menoleh ketika Shena menggunakan kata 'tolong'. Satu kata yang selama ini sangat sulit keluar dari mulut Shena atau mungkin dianggap Shena sebagai kata tak berguna karena dirinya tidak akan membutuhkannya. Shena selalu berlaku seenaknya, karena dia menganggap bahwa semua orang membutuhkannya. Bukan dirinya yang butuh mereka. "Oke!" Jawab Albi dengan pasrah sambil menatap Shena. "Thank's, Lo baik banget sama gue." Sambung Albi tersenyum tipis. Shena mengelus kepala Albi pelan, membuat cowok itu menatap ke arah atas—melihat tangan Shena yang ada di kepalanya. Shena menarik tangan kanannya dengan buru-buru, lalu menatap Albi yang tampak bingung. "Gue kurang aja, ya?" Tanya Shena dengan wajah gelisah. Albi menggeleng pelan, "enggak kok! Gue suka!" "Gue mau nemenin Lo di sini," ucap Shena yang disambut gelengan kepala oleh Albi. Mana mungkin dia akan membiarkan Shena bersamanya selama semalaman di sini. Apa kata Ibunya nanti? Bisa semakin kena marah dia. "Kenapa?" Tanya Shena penasaran. Albi menatap Shena, "intinya, Lo harus pulang! Gue enggak mau Lo dicariin sama orang rumah. Apalagi Lo datang ke rumah sakit pakai acara kabur segala. Gue anterin balik!" "Tapi, Bi—" "Enggak ada tapi-tapian. Besok 'kan kita ketemu lagi. Gue enggak mau Lo kena marah dan gue juga berusaha menyelematkan diri gue sendiri." Jujur Albi serius. Shena menghela napas panjang dan akhirnya mengangguk, "kalau gitu ... Lo harus mandi dulu! Gue sekedar mau memastikan kalau Lo enggak akan membuang baju yang udah gue kasih." "Oke ... Nona Shena!" Ucap Albi yang mengikuti ucapan Simon. Shena memukul lengan Albi pelan dan ditanggapi dengan tertawaan dari cowok itu. Tawa yang sebenarnya sangat jarang atau bahkan tidak pernah terlihat di wajah cowok itu. Setelah itu mereka masuk kembali ke rumah sakit. Shena duduk di kursi tunggu, menunggu Albi keluar dari kamar mandi sambil memejamkan matanya karena mengantuk. Tidak butuh waktu lama, Albi keluar dengan mengenakan pakaian yang sudah dibelikan Shena. "Puas?" Tanya Albi kepada Shena sambil merentangkan tangannya. Shena yang sudah mengantuk pun hanya mengangguk sekilas lalu tersenyum. Baru lah setelah itu, Albi mengantar Shena pulang. Cewek itu tidak pernah naik motor sama sekali. Shena selalu mengatakan bahwa naik motor hanya akan merusak tatanan rambutnya yang sudah rapi. Tetapi malam ini, dengan ditemani dinginnya angin malam, Shena duduk diboncengan motor Albi. Melingkarkan kedua lengannya di perut cowok itu sambil menyandarkan kepalanya di bahu Albi. Rasanya lebih nyaman dari apapun, mobil mahal sekalipun. Apalagi aroma parfum Albi yang menempel pada jaket yang saat ini dia kenakan pun semakin menambah kesan nyaman. Shena merasakan tangan kirinya digenggam oleh Albi sesekali, terasa begitu sangat hangat. Shena tidak bisa menyembunyikan senyumannya saat ini, dia hanya bisa berharap bahwa malam ini tidak akan cepat berlalu. Sampai akhirnya Shena sampai di gerbang belakang rumahnya. Saat itulah mereka berpisah. Albi pun melesat pergi dengan motornya setelah melambaikan tangannya ke arah Shena. Sedangkan Shena pun langsung beraksi untuk masuk ke dalam rumahnya dan memasuki kamarnya. Sesampainya di kamar, Shena langsung merebahkan dirinya di ranjang. Perlahan namun pasti, matanya memejam. Shena akhirnya bisa tertidur tanpa menggunakan obat tidur—masih dengan pakaian yang dibawanya ke rumah sakit. Shena benar-benar bisa tidur tanpa harus mengganti pakaian yang dia kenakan sekarang. Suatu kemajuan, bukan? Setidaknya satu hal yang cukup menyenangkan, Shena bisa bersama Albi semalaman ini. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD