TITIK TEMU
[44] Satu alasan bertahan.
__________________________
Erlangga menenggak minumannya dengan tersenyum sinis. Siapapun yang berani bermain-main dengan putrinya, akan hancur menjadi debu begitu saja. Beberapa hari yang lalu, Simon memberitakan kabar tentang sebuah video yang muncul di media sosial dan mendadak viral. Video itu adalah video yang memperlihatkan seorang cewek sedang menendang perut cewek lainnya. Bahkan ketika wajah keduanya di-blur, netizen masih dapat berkomentar atau berspekulasi bahwasanya salah satu cewek di dalam video adalah Shena; beauty vlogger yang namanya sedang naik akhir-akhir ini.
Banyak sekali komentar jahat dan juga cemoohan yang mampir di akun media sosial Shena. Sampai-sampai, Simon harus mengajak Shena untuk berlibur singkat tanpa memegang ponsel sambil menunggu video di media sosial itu lenyap. Sayangnya, setelah video lenyap dari media sosial, rumor itu tidak hilang dan semakin merebak. Simon pun tahu bahwa Shena mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa murid lain karena dianggap sebagai pelaku kekerasan. Sehingga membuat seorang Erlangga geram dan memilih untuk membatalkan acaranya agar bisa menangani masalah putrinya.
Walaupun terlihat angkuh, cuek, dan tidak peduli kepada Shena. Erlangga tetap seorang Ayah yang melakukan segala cara untuk melindungi sang anak yang terkena masalah serius. Erlangga tidak segan untuk keluar dari sangkarnya dan membuat perhitungan dengan manusia tidak tahu malu yang menyebarkan video itu dan membuat putrinya terkena masalah.
"Semuanya sudah saya bereskan, Tuan! Termasuk klarifikasi yang akan ditayangkan secara ekslusif sekitar pukul enam pagi nanti," ucap Simon memberikan laporan.
Erlangga tersenyum penuh dengan kemenangan, "bagaimana dengan hadiahnya? Sudah kau berikan kepadanya?"
"Tentu saja sudah, Tuan Besar. Dia sangat berterimakasih kepada Tuan Besar." Jawab Simon dengan wajah serius.
Erlangga menganggukkan kepalanya dengan cepat, "kau memberikannya tunai, bukan? Setidaknya polisi tak akan curiga jika kita membayarnya untuk membuat sebuah pernyataan palsu."
"Iya, Tuan Besar. Saya memberikan hadiah itu secara tunai. Semuanya sudah saya rencanakan dengan rapi dan kita tinggal menunggu beberapa saat sampai nama Nona bersih kembali." Sambung Simon dengan senyuman tipisnya.
Erlangga menepuk bahu Simon berulang kali, "kau memang paling bisa ku andalkan, Simon. Kau boleh cek rekeningmu, ada bonus dariku. Sekarang kau bisa pergi ... jangan katakan apapun kepada Shena soal ini. Katakan saja kau tidak tahu tentang pelaku itu. Kau mengerti, bukan?"
Simon mengangguk, "terima kasih banyak, Tuan Besar. Dan saya tidak akan mengatakan apapun tentang pelaku itu. Saya permisi!"
Simon keluar dari ruangan kerja Erlangga. Laki-laki itu membuka pintu dan berpapasan dengan Shena yang berjalan sendirian melewati ruangan Erlangga.
"Ngapain Lo di ruangan Papi?" Selidik Shena karena melihat Simon yang keluar dari ruangan Erlangga.
"Hanya pembicaraan kecil, Nona." Jawab Simon dengan santainya dan tanpa beban sama sekali. "Saya akan mengantarkan Nona ke sekolah nanti. Jadi ... mobil mana yang ingin Nona pakai hari ini?" Sambung Simon bertanya.
Shena menatap tajam ke arah Simon yang memang tidak mencurigakan sama sekali, "terserah mobil yang mana!"
"Baik, Nona. Saya akan segera mempersiapkan mobil yang akan Nona pakai. Saya permisi!" Pamit Simon sambil menundukkan tubuhnya sedikit ke arah Shena lalu berjalan pergi.
Karena merasa ada yang aneh dari semuanya, Shena memilih untuk masuk ke dalam ruangan Papinya. Cewek itu penasaran, apa Simon menyembunyikan sesuatu darinya?
"Kamu bisa ketuk pintu terlebih dahulu," tegas Erlangga sambil membaca berkas yang ada di mejanya.
Shena menggeleng pelan dan duduk di kursi yang berada di depan Papinya, "apa yang sedang Papi dan Simon rencanakan?"
"Tidak ada!" Jawab Erlangga dengan cepat. "Lebih baik kamu mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Kalau ada masalah, langsung katakan kepada Papi atau Bundamu." Sambung Erlangga yang meletakkan berkasnya di atas meja.
Shena tersenyum sinis, "Bunda? Bunda apanya?"
"Shen," panggil Erlangga dengan menatap kedua mata Shena yang tampak menajam. "Papi enggak tahu apa yang kamu pikirkan sekarang. Tapi suatu hari nanti, kamu akan memahami kalau Papi menyayangi kamu lebih dari apapun." Sambung Erlangga dengan tersenyum tipis.
Shena melipat tangannya di da-da dengan wajah sebal, "meninggalkan Mami dan memisahkan aku dengan Kak Agas, definisi menyayangi aku? Begitu? Kalau Papi menyayangi aku atau keluarga kita, tentunya Papi tidak akan pernah meninggalkan Mami. Papi hanya peduli kepada perasaan perempuan itu!"
"SHENA!" Bentak Erlangga dengan nada tinggi. "Kamu tidak mengerti apapun tentang kehidupan kita semua. Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti. Kamu—" ucapan Erlangga terputus ketika Shena meninggalkan ruangannya begitu saja.
Maminya, Kakak cowoknya, dan semua kejadian yang telah berlalu sekitar enam tahun yang lalu terus menghantuinya. Shena mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia tidak bisa berbuat banyak, bahkan sampai saat ini. Dia hanya marah pada keadaan yang terjadi, tanpa bisa memperbaiki apapun. Shena langsung masuk ke dalam kamarnya, bersiap-siap untuk berangkat sekolah.
Simon sendiri sedang memanaskan mesin mobil. Laki-laki itu menatap ke arah Shena yang tumben-tumbenan sudah selesai bersiap-siap. Cewek itu langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam—tanpa dibukakan oleh Simon. Padahal biasanya, Shena akan menunggu siapapun orang yang mengantarkannya untuk membuka pintu. Namun hari ini, Shena tidak mengatakan apapun dan langsung masuk ke dalam mobilnya. Simon yang cukup kaget hanya bengong karena bingung.
"Ayo, berangkat!" Ucap Shena yang membuka kaca mobilnya, meminta Simon untuk segera mengantarkan dirinya ke sekolah.
"Eh, iya, Nona." Jawab Simon gelagapan dan langsung masuk ke dalam mobil.
Shena hanya menghela napas panjang, sepertinya hari ini adalah hari terajin untuknya. Seorang Shena bisa berangkat lebih awal daripada hari biasanya?
"Sudah dipasang seatbelt-nya, Nona?" Tanya Simon memastikan sambil menatap Shena lewat kaca depan.
"Hm," jawab Shena hanya dengan deheman saja.
Simon segera melajukan mobilnya sebelum terkena semprotan ocehan Shena karena kelemotannya. Cewek itu kalau sudah mengomel, tidak ada habisnya. Apalagi kalau sampai dia marah, Simon akan jauh kesulitan daripada menghadapi Shena yang cerewet dan menyuruhnya ini dan itu.
"Tumben berangkat agak awal, Nona?" Tanya Simon yang tidak ditanggapi Shena sama sekali. "Ada acara apa? Atau ada ulangan yang belum Nona pelajari? Ada PR yang harus Nona kerjakan? Ada~" ucapan Simon kembali di-stop oleh Shena dengan decakan cukup keras.
"Ck,"
Simon menutup mulutnya dengan rapat, "maafkan saya, Nona. Tetapi hari ini Nona tampak sangat berbeda. Nona penuh dengan semangat, tidak murung lagi, dan jauh lebih baik dari hari biasanya. Saya senang karena semuanya baik-baik saja, Nona."
"Kasih gue satu alasan kenapa Lo betah kerja di rumah gue dan mau jadi pengawal gue? Padahal banyak pengawal yang keluar karena enggak betah dan enggak mampu untuk menangani gue!" Tanya Shena serius.
"Karena gajinya besar, Nona." Jawab Simon yang seratus persen jujur.
Shena bertepuk tangan mendengar jawaban Simon, "Lo memang mata duitan."
"Selama menjadi pengawal Nona Shena, gaji saya dua kali lipat lebih besar daripada menjadi pengawal di tempat lain. Jadi ... sesulit apapun, saya akan tetap berada disamping Nona." Sambung Simon dengan sungguh-sungguh.
Shena tertawa dengan keras, "gue enggak tahu harus terharu atau mengabsen nama penghuni kebun binatang karena mendengar kejujuran Lo itu."
Simon tersenyum, dia senang menggoda Shena. Apalagi ketika melihat tingkah Shena yang kadang seperti anak kecil. Setidaknya, hari ini, Shena bisa bahagia.
•••••