43

1225 Words
TITIK TEMU [43] Nona tidak boleh terluka! ______________________________ Shena menghela napas panjang saat mendengarkan suara rintikan hujan yang semakin lama semakin deras. Shena tidak suka hujan. Hujan selalu mengingatkan kepada kenangan yang terkadang tidak ingin dia ingat. Ah, memang terlalu berlebihan ketika menyalahkan suatu fenomena alam yang wajar seperti hujan. Namun, beberapa orang pun akan merasakan hal yang sama; mengingat potongan kenangan manis, buruk, kekecewaan, kesepian, atau perasaan aneh yang tidak mampu didefinisikan. Terlalu mengecewakan ketika nyatanya hujan membuat seseorang tidak ingin kembali ke masa lalu. Tumpukan buku disampingnya pun tampak membosankan karena sudah berulangkali dia baca. Shena tidak ingin membaca lagi. Cewek itu pun menutup bukunya rapat-rapat dan meletakkannya di tumpukan buku yang lain. Beberapa hari ini Shena merasakan hidupnya begitu sangat membosankan. Tepatnya semua itu terjadi karena Simon tidak ada disekitarnya. Laki-laki itu sedang mengikuti Papinya ke luar kota—katanya ada kunjungan bisnis yang penting. Dan biasanya, Erlangga memang membawa Simon untuk ikut serta sebagai pengawal pribadinya. Sebenarnya Shena merasa sangat kesal karena selalu dikawal Simon kemanapun. Bahkan ruang geraknya tidak bisa sebebas remaja-remaja seumurannya. Namun, Simon yang sering menemaninya. Laki-laki itu walaupun sangat membosankan, namun perhatian kepadanya. Yang rela dimarahi karena menuruti kemauannya. Shena benar-benar bosan sekarang, kendati punya pacar sekalipun. Ah, Shena tidak punya nomor ponsel Albi atau semua yang berhubungan dengan Albi. Shena hanya tahu nama panjang cowok itu. Itu pun karena namanya tertera di kertas; ditulis olehnya sendiri. Meskipun mereka katanya pacaran, namun tidak ada suatu indikasi yang mengarah pada kata pacaran itu sendiri. Shena dan Albi tetap saja dua orang asing yang berusaha bersama. Bahkan Albi bisa dikatakan kaku dan terlalu pendiam. Kadangkala benar-benar diam dan sangat cuek. Namun, Albi sangat tepat dijadikan sebagai pasangan, menurut Shena. Sifat Albi yang to the point, membuatnya merasa cukup pas bersama dengan seorang Almaidan Albiyan Mahameru. Shena menatap air yang jatuh di kolam renang, mengingat semua kejadian manis dan pahit yang kadangkala terlintas di kepalanya. Bahkan Shena mengingat tentang belajar kelompok yang mereka lakukan di gazebo yang saat ini dia duduki dengan berteman tumpukan buku-buku kesukaannya. Biasanya, tempat ini adalah ruang baca yang nyaman untuk Shena daripada di kamar. Shena bisa menikmati kesunyian, anggap saja tempat ini yang paling sepi dibandingkan tempat lain disudut rumahnya. Tiba-tiba suara pintu digeser pun membuatnya menolehkan kepala. Seorang laki-laki dengan jas hitam melebarkan payungnya dan berjalan mendekat ke arah Shena. Cewek itu sedikit kaget, namun cukup merasa senang melihat kehadiran pengawal yang beberapa hari ini tidak dia lihat, Simon. "Selamat malam, Nona!" Sapa Simon yang berdiri tepat di depan Shena. "Americano?" Ucap Simon sambil mengangkat sebuah plastik berisi minuman yang dibelinya tadi. Shena menatap logo Rainbow cafe di sana. Cewek itu langsung mengambil minuman itu dan meminumnya. Tak ada ucapan terimakasih atau apapun itu. Shena selalu begitu, tidak pernah mengatakan kata-kata sederhana yang biasanya dikatakan setelah menerima sesuatu. "Kenapa Lo udah pulang?" Tanya Shena yang menggeser duduknya, menyuruh Simon untuk masuk ke dalam gazebo sebelum hujan akan membasahi jas kakunya. Simon mengangguk sekilas lalu tersenyum tipis, "semua pekerjaan memang sudah selesai, Nona. Tuan Besar dan Nyonya Besar harus datang ke acara pernikahan salah satu putra teman bisnis Tuan Besar. Sehingga saya bisa pulang lebih dulu." "Lo beli ini di Rainbow cafe?" Tanya Shena yang diangguki oleh Simon. "Permintaan maaf saya," ucap Simon jujur. Shena mengerutkan keningnya bingung, "minta maaf untuk apa?" Simon menghela napasnya kasar. Sebenarnya dia bingung harus mulai dari mana, namun semua itu Simon lakukan untuk kanaikan Shena, bukan? "Hm ... sepertinya gue tahu apa yang mau Lo omongin." Ucap Shena yang menatap tajam ke arah Simon. "Lo enggak memberitahu gue tentang video yang tersebar di internet. Alasan Lo ngajak gue pergi ke pantai saat itu, karena Lo berusaha untuk menghapus semua video yang beredar 'kan?" Sambung Shena dengan penasaran. Simon mengangguk pelan, "maaf karena tidak jujur, Nona. Tetapi saya tidak mau Nona sampai terluka dan kesulitan karena adanya video itu. Tapi ... apa Nona baik-baik saja? Maksud saya, apakah ada orang yang menyakiti Nona karena video itu?" "Enggak ada!" Jawab Shena berbohong. Bahkan banyak sekali orang yang menyalahkannya tanpa alasan, membencinya dan terus memojokkannya. Tiba-tiba, suasana menjadi hening. Baik Shena maupun Simon tidak saling bicara. "Beberapa bulan ke depan, gue enggak mau upload video apapun di Watching. Lo bisa urus semuanya 'kan sama manajemen?" Tanya Shena kepada Simon. "Tentu saja bisa, Nona. Saya akan pastikan bahwa pihak manajemen tidak akan memaksa Nona membuat video dalam waktu dekat ini. Untuk prosesnya, serahkan kepada saya." Sambung Simon dengan serius. "Oke!" Simon mungkin paham dengan apa yang sedang Shena alami sekarang. Cewek itu bahkan sedang merasa tidak nyaman dengan dunianya yang terganggu dengan video viral tentang kekerasan itu. "Jika semuanya memburuk, Nona boleh mengatakannya kepada saya. Saya akan urus semuanya secepat mungkin. Saya akan menghilangkan semua orang yang menghalangi Nona. Saya benar-benar ingin melindungi Nona apapun yang terjadi." Ucap Simon dengan sungguh-sungguh. Shena menatap Simon yang seperti sudah paham dengan isi kepalanya yang ribut, "gue enggak pa-pa, kok. Intinya, jangan sembunyikan apapun dari gue." Simon hanya mengangguk singkat. Dan Shena beranjak dari duduknya, cewek itu berjalan menembus hujan tanpa menggunakan payung untuk menghalau air hujan mengenainya. Simon sempat ingin mendekat, tapi Shena melarangnya. Cewek itu pun berjalan menuju kamarnya dengan keadaan basah kuyup, membawa sebuah plastik berlogo Rainbow cafe yang sempat Simon bawakan tadi. Shena masuk ke dalam kamarnya, mandi sebentar sebelum tidur dan duduk di atas tempat tidur dengan menyilangkan kakinya. Shena pun mengambil sebuah kertas yang terselip di sana, sebuah deretan angka yang Shena yakini sebagai nomor ponsel Albi. Shena memasukkan nomor itu ke kontaknya dan menuliskan nama lengkap Albi di sana. Setelah itu, Shena menuliskan sebuah pesan untuk orang yang saat ini mungkin belum tidur. "Selamat istirahat, Bi." Ucap Shena yang membaca tulisannya sendiri. Namun setelah pesan itu terkirim, Shena benar-benar ingin segera menghapusnya karena malu. Namun, belum sempat menghapus pesan itu, Albi sudah membacanya lebih dulu. Lalu tidak lama kemudian sebuah panggilan pun masuk ke ponselnya. Shena membulatkan matanya ketika Albi meneleponnya. Shena segera mengangkat telepon itu dengan perasaan yang campur aduk. "Halo," ucap Shena dengan jantung yang tidak bisa dikendalikan lagi. "Kenapa belum tidur?" Tanya Albi to the point. Shena tidak bisa menyembunyikan senyumannya, "hm ... habis minum americano." "Misalkan Lo mau minum americano lagi, datang langsung ke cafe. Masih apal jalannya, 'kan?" Tanya Albi yang hanya diangguki Shena, walaupun Albi tidak akan melihatnya. "Takut diusir sama pemilik cafe yang galak." Jawab Shena seadanya. "Hm ... kali ini, gue enggak akan galak sama Lo." Shena tersenyum lebar, "ke—napa?" "Gue enggak galak sama pacar gue." Jawab Albi yang berhasil membuat pipi Shena memanas. "Udah malam, tidur sana! Gue juga mau tidur. Capek banget hari ini." Sambung Albi. "Bi," panggil Shena. "Hm," "Gue ... mau~" ucapan Shena menggantung karena bingung bagaimana cara menyampaikannya kepada Albi. "Gue ... mau minta maaf soal cafe Lo." Sambung Shena serius. Albi terdiam sejenak, "permintaan maaf Lo diterima! Selamat malam dan selamat istirahat, Shena." Nut ... Nut ... Nut ... Panggilan diakhiri! Shena tersenyum penuh arti, "apa seperti ini rasanya punya teman yang bisa diajak ngobrol kapanpun? Saat gue benar-benar enggak tahu harus cerita sama siapa, apa mungkin Albi orang yang tepat untuk mendengar semuanya? Nyatanya ... ngobrolin sesederhana itu aja, gue bahagia banget! Gue senang! Sesederhana itu." Hari ini adalah hari yang manis, tentang Simon yang berusaha untuk melindunginya dan Albi yang terus membuatnya bahagia. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD