42

1117 Words
TITIK TEMU [42] Mencoba berperasaan! ___________________________ Hujan malam ini membuat suasana menjadi lebih dingin. Cafe baru saja tutup sekitar satu jam yang lalu. Albi dan Nandan pun baru saja selesai membersihkan seluruh sudut ruangan sampai bersih. Setelah itu, barulah mereka menikmati waktu beristirahat sebentar. Terlihat ada beberapa tumpukan buku di atas meja counter yang sempat Albi letakkan di dekat rak dan Nandan baru memindahkannya karena takut terkena minuman atau berbagai kemungkinan lain yang bisa merusak buku kesayangan Albi itu. Nandan pun merasa heran dengan Albi. Padahal cowok itu sudah sangat gigih belajar, bahkan sampai rela menggunakan waktunya untuk les bimbel hanya karena salah satu nilainya ada yang kalah dari teman lainnya. Tentu saja Nandan tahu mengapa Albi melakukan semuanya. Semua itu karena Ibunya yang terus memaksa Albi untuk menjadi orang yang selalu sempurna. Membuat Albi pusing dan merasa stress terkadang. Namun, Nandan atau sahabatnya yang lain, tidak bisa berbuat banyak karena semua itu sudah masuk ke dalam urusan pribadi yang mungkin tidak boleh mereka campuri tanpa ijin Albi. Terlihat sekali wajah lelah Albi yang beberapa hari ini terlalu keras belajar sampai lupa menjaga pola makannya, istirahatnya, bahkan terlihat sangat stress karena mempunyai banyak sekali tuntutan. Walaupun sudah bersahabat baik dengan Albi, tidak semua rahasia atau kehidupan Albi, mereka tahu. Terkadang, Albi sangat tertutup dan menyimpan semuanya sendirian. Albi bukan tipe orang yang sering menceritakan masalahnya. Namun sesekali, apabila memang sudah sangat lelah, Albi akan memulai bercerita walaupun tidak lengkap. "Lo mau balik sekarang?" Tanya Albi yang menatap Nandan yang sudah mengenakan jaketnya. "Masih hujan di luar. Lo bawa jas hujan, enggak?" Sambung Albi yang memang sangat perhatian kepada semua temannya. Apalagi kepada Nandan yang selalu membantunya tanpa tahu lelah dan tidak mengharapkan apapun darinya sama sekali, kecuali contekan jika diperlukan. Nandan menggeleng pelan dan menarik salah satu kursi untuk dia duduki, "dingin! Makanya pakai jaket gue. Kalaupun bawa jas hujan, gue males pulangnya kalau hujan kaya gini. Mendingan tidur di sini aja." "Lo mau nginep?" Tanya Albi sambil menatap Nandan. Nandan mengangguk dengan sangat cepat, "gue enggak mau kehujanan di jalan. Terus ... di rumah baru banyak saudara gue dari jauh. Males kalau ditanyain dari mana terus dinasehati ini-itu tanpa tahu masalahnya apa. Nyebelin!" "Bilang aja mau kabur," sindir Albi yang rupanya tepat sasaran. Nandan hanya tertawa pelan, dia memang malas berinteraksi dengan saudara-saudara jauhnya yang sejak kemarin sibuk membahas bisnis dan sekolah anak-anaknya yang ada di luar negeri. Hanya karena pintar, mereka dengan mudahnya langsung membanding-bandingkan dengan dirinya. Namanya juga beda nasib, mau sekolahnya jauh pun belum tentu juga bernasib baik di masa depan. Orang-orang yang sekolah di tempat bagus pun belum menjamin masa depan yang gemilang. "Kesel gue kalau dikatain kurang pintar lah, kurang rajin lah, kurang belajar lah. Walaupun kenyataannya begitu, mereka enggak berhak 'kan ngomong kaya gitu. Melabeli gue dengan seenaknya dan men-judge orang tua gue yang terlalu santai menangani gue. Katanya gue terlalu dibebaskan dalam melakukan apapun. Apalagi pas tahu kalau selama ini gue kerja, mereka malah semakin gencar ngomongin yang macam-macam. Dasar orang tua kuno! Tahunya sukses cuma karena dapat nilai sepuluh atau A di kertas." Sambung Nandan yang sebenarnya tepat sekali dengan apa yang Albi rasakan kali ini. Albi hanya menganggukkan kepalanya, "ya udah ... Lo boleh nginep di sini sementara waktu sampai saudara jauh Lo itu pada pulang. Memangnya ada acara apa mereka datang ke rumah Lo?" "Silaturahmi katanya," jawab Nandan dengan santai. "Tapi, silaturahmi sama pamer 'kan beda tipis." Sambung Nandan dengan mengangkat kedua bahunya. Albi hanya tersenyum saja, tidak menanggapi ucapan Nandan lebih lanjut. Cowok itu berjalan ke arah gantungan untuk melepaskan apron yang menggantung di lehernya. Sedangkan Nandan sibuk duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Namun tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Baik Nandan maupun Albi menoleh ke arah laki-laki berjas hitam yang baru saja masuk ke dalam cafe. "Maaf, cafe kami sudah tutup." Ucap Nandan yang beranjak dari duduknya. Laki-laki itu mengangguk pelan seraya tersenyum, "maaf karena saya lancang masuk ke dalam padahal ada tulisan close di depan pintu. Tetapi saya datang ingin membeli secangkir minuman untuk Nona saya. Apakah Anda bisa membantu saya? Saya hanya ingin memberikannya hadiah kecil saja. Dan saya tahu bahwa Nona hanya menyukai racikan Anda." "Tap—" ucapan Nandan terputus karena dihalangi Albi. "Biar saya yang membuatkan. Anda bisa menunggu di kursi yang itu." Ucap Albi menunjuk salah satu kursi yang tidak jauh dari tempat Nandan duduk. Nandan langsung menyusul Albi ketika cowok itu berjalan menuju meja counter untuk membuatkan minuman yang dipesan laki-laki ber-jas hitam itu. "Bukannya itu pengawalnya Shena? Yang sering nganterin Shena terus yang ada di depan pintu rumahnya waktu itu?" Tanya Nandan dengan setengah berbisik. "Jadi ... minuman itu maksudnya buat Shena?" Tanya Nandan penasaran. Albi menatap Nandan yang berada disampingnya, "mendingan Lo yang bikin! Shena suka buatan Lo." "Lah, kenapa gue? Lo yang cowoknya 'kan?" Tandas Nandan menatap Albi yang sibuk menuliskan sesuatu di kertas. "Bi ... gue mau tanya dong!" Sambung Nandan yang membuat Albi penasaran. "Apa?" Nandan menatap Albi serius, "Lo sama Shena, sama-sama suka?" "Kenapa tanya begitu?" Tanya Albi balik. "Karena di mata Lo dan di mata Shena, enggak ada tatapan cinta! Bahkan, Lo adalah cowok yang sama, yang bilang sama gue enggak butuh cinta. Lo lebih memilih untuk hidup sendiri. Terus setelah itu, Shena datang dan mengatakan kalau cinta bersifat merusak. Lalu ... dalam kurun waktu beberapa jam, kalian berdua pacaran. Memangnya, itu enggak aneh?" Tanya Nandan sambil menuangkan americano racikannya ke dalam cup dengan logo Rainbow cafe. Albi menarik minuman itu dari tangan Nandan dan meletakkan di dalam plastik dan memberikannya kepada laki-laki ber-jas hitam yang diketahui sebagai Simon itu. Lalu setelah itu, Albi kembali ke meja counter untuk membersihkan barang-barang yang mereka gunakan untuk membuatkan pesanan dari laki-laki tadi. "Bi ... Lo enggak berniat jawab pertanyaan gue?" Tanya Nandan dengan wajah penasaran. Albi menggeleng, cowok itu lebih memilih untuk menatap Simon yang melebarkan payungnya lalu berjalan masuk ke dalam mobilnya. Mengapa laki-laki itu selalu berada disekitar Shena? Mengikuti Shena dan selalu mengantar-jemput Shena setiap hari. "Laki-laki itu aneh," ucap Nandan sambil menatap kepergian Simon dari Rainbow cafe. Albi mengangguk pelan, "Lo tahu enggak sih, tujuan utama orang pacaran itu apa?" "Hm ... supaya bisa saling memiliki? Supaya punya pasangan?" Tanya Nandan kepada Albi. "Menurut gue, itu bukan tujuan." Ucap Albi bingung. Nandan mengerutkan keningnya bingung, "jadi ... tujuan Lo pacaran sama Shena apa? Bukan buat yang aneh-aneh, 'kan? Maksud gue, Lo enggak akan melakukan hal-hal~" Bugh. Albi memukul lengan Nandan dan membuat cowok itu meringis kesakitan. "Tujuan gue pacaran sama dia adalah untuk memastikan apakah gue punya perasaan atau enggak! Puas Lo?" Seorang Albi yang dikenal dingin, tidak peduli pada perasaan siapapun, tiba-tiba mencoba untuk menjadi orang yang berperasaan? Apakah semuanya wajar? •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD