TITIK TEMU
[36] Perjalanan menyenangkan!
_______________________________
Terkadang, kita perlu melewati hari yang berbeda dari hari biasanya—menikmati perbedaan itu sehingga memberikan jeda kepada kebiasaan. Sama dengan halnya Albi yang baru pertama kalinya bolos sekolah dalam sejarah pendidikannya. Biasanya, dia anti dengan bolos sekolah. Jangankan bolos sekolah, bolos pelajaran saja sudah membuatnya uring-uringan. Takut jika sampai ketinggalan pelajaran lah, atau yang paling penting dari yang terpenting adalah kalah saing dengan yang lain dalam hal nilai. Sebenarnya, bukan Albi yang takut dengan naik-turunnya nilai, tetapi sang Ibu lah yang selalu menekannya; seperti biasa.
Shena mengajak Albi melewati beberapa lorong gelap, mereka mencari jalan keluar dari sekolah dengan mengendap-endap. Kadang Albi kelepasan tersenyum lebar dan begitu menikmati aksi mereka yang mirip mata-mata di dalam film. Ada perasaan cemas karena takut jika sampai ketahuan. Namun, rasanya tetap saja penasaran ingin segera keluar dari sekolah. Albi sangat menantikan perasaan itu, perasaan ketika kakinya benar-benar keluar dari lingkungan sekolahnya tanpa ijin.
Tanpa sadar, Shena menarik tangan kanan Albi untuk meminta cowok itu berjalan lebih cepat karena terdengar suara langkah kaki dari ruangan yang ada di belakang sekolah. Diam-diam mereka bersembunyi dibalik pintu untuk mendengarkan pembicaraan muda-mudi yang tengah cek-cok. Shena tersenyum lebar, senyuman yang sama seperti yang Albi perlihatkan sekarang. Mereka memandang satu sama lain dan kembali berjalan dengan sangat terburu-buru. Hanya butuh beberapa saat, mereka telah sampai di luar sekolah. Tepatnya mereka berada di belakang lingkungan sekolah, di mana perkampungan kumuh terlihat dengan jelas.
Baik Shena maupun Albi tidak akan menyangka bisa sampai di tempat seperti ini. Mereka memandang perkampungan itu, banyak sekali orang yang berlalu-lalang dengan pakaian yang jauh dikatakan baik. Mungkin inilah yang mereka lihat; pemandangan orang-orang yang kurang beruntung dibandingkan mereka. Beberapa anak-anak kecil dengan pakaian kumel melewati mereka berdua, berlarian dengan temannya lalu bercanda tawa tanpa beban.
"Seketika gue jadi merasa bersalah karena bolos sekolah setelah melihat anak-anak kecil yang hidupnya jauh dari kata mampu." Ucap Albi yang tanpa sadar masih menggenggam tangan Shena, juga.
Shena tersenyum tipis, "mendingan kita langsung jalan ke halte bus atau cari taksi di depan gang sana. Tapi ... kalau Lo berubah pikiran, balik aja ke sekolah."
Albi menggelengkan kepalanya dengan cepat, "kapan lagi gue bisa keluar sebebas ini? Gue akan pergi, karena ini kesempatan yang mungkin enggak akan pernah bisa gue lakuin lagi."
Shena menganggukkan kepalanya, mengiyakan apa yang Albi katakan. Mana mungkin Simon akan begitu saja melepaskannya jika sampai kabur-kaburan seperti ini? Simon adalah tipe pengawal yang sangat hapal dengan semua tempat yang sering sekali Shena kunjungi. Maka dari itu, dia tidak akan mudah bersembunyi dari laki-laki itu.
Mereka berjalan pelan, melewati gang-gang sempit tanpa saling bicara sama sekali dan tentunya dengan tangan yang masih saling bertautan satu sama lain. Sesekali Shena akan melirik Albi, begitupula sebaliknya. Mereka lalu tersenyum bersamaan ketika saling berpandangan. Tidak lama kemudian, mereka sampai di depan gang. Mungkin beberapa meter lagi sudah sampai di halte tujuan mereka.
"Bi," panggil Shena yang menarik tangan Albi yang masih dia genggam.
Keduanya menunduk, menatap tangan mereka yang bertautan lalu saling menarik tangan masing-masing dengan terburu-buru.
"Jangan naik bus!" Tandas Shena yang berusaha mengalihkan pembicaraan karena tangan mereka yang sempat bergandengan tangan. Walaupun maksudnya memang begitu; tidak ingin naik kendaraan umum.
Albi mengerutkan keningnya, "lah, kenapa? Jangan bilang Lo enggak pernah naik bus sebelumnya?"
"Hm ... begitulah!" Jawab Shena dengan jujur. "Mana pernah gue pakai angkutan umum? Pastinya panas, bau, desak-desakan, banyak kasus pelecehan juga. Gue ngeri!" Sambung Shena menjelaskan.
Albi menghela napas panjang, "terus mau pesan taksi online?"
Shena mengangguk dengan cepat. Mungkin naik taksi online adalah pilihan yang sangat-sangat tepat daripada harus naik bus.
"Gue terlalu sayang sama duit gue. Mendingan naik bus, Shen. Enggak akan terjadi apa-apa. Lo 'kan sama gue! Ada gue yang jagain Lo nanti. Jangan parnoan deh!" Tandas Albi yang menarik tangan Shena kembali agar mau berjalan ke halte.
Cewek itu kembali menggeleng dengan cepat, "bahaya, Albi! Nanti kalau ada orang jahat, terus mereka ngerampok kita gimana? Barang gue mahal semua, tahu!"
"Lo jangan kebanyakan halu deh! Bus-bus jaman sekarang udah banyak berubah juga, Shen. Enggak bakalan kepanasan, enggak bakalan pakai desak-desakan, enggak bakalan ada perampokan juga. Percaya deh, sama gue!" Ucap Albi meyakinkan Shena agar ikut dengannya. "Lo 'kan udah ngajak gue bolos dan menikmati rasanya hidup yang sesungguhnya. Jadi, gue bakalan ngajarin Lo buat naik bus yang katanya panas, bau, desak-desakan, ada kasus pelecehan itu. Kita buktiin opini Lo, gimana?" Sambung Albi lagi.
Shena menggigit bibir bawahnya, seperti menimbang apa langkah yang harus dia lakukan sekarang. Padahal, hubungan mereka tidak baik. Namun mengapa mereka saling berbagi hal istimewa padahal bukan pasangan. Albi yang biasanya tertutup pun sangat santai berinteraksi dengan Shena kali ini. Begitupun Shena yang ketus dan judes berubah menjadi cewek yang tenang dan begitu mudah diatur.
"Beneran aman, 'kan?" Tanya Shena yang mendapatkan anggukan kepala dari Albi. "Kalau gitu, jangan lepas tangan gue sampai nanti." Sambung Shena yang mengulurkan tangan kanannya kepada Albi.
Albi menatap Shena serius, "Lo enggak semanja itu, perasaan! Lo masih punya kaki dan tangan yang utuh, manfaatkan itu!"
"ALBI!" Teriak Shena dengan kesal karena cowok itu berjalan lebih dulu darinya.
Dengan wajah kesal, Shena berjalan di belakang Albi sampai halte bus. Mereka duduk bersebelahan namun tidak saling bicara lagi. Shena fokus dengan ponselnya dan Albi menatap jalanan yang berada di depannya; menunggu bus yang sudah tampak dari kejauhan.
"Berdiri!" Ajak Albi dengan menatap Shena yang tampak ogah-ogahan.
"Lo nyebel—"
Albi menyodorkan tangan kanannya ke arah Shena, "katanya mau pegang tangan gue! Pegang!"
Shena menatap tangan kanan Albi dengan curiga, "Lo mau ngerjain gue, ya?"
Bus berhenti tepat di depan mereka dan tanpa basa-basi, Albi langsung menggenggam tangan Shena dan mengajaknya untuk naik ke bus. Shena yang ditarik oleh Albi pun hanya bisa diam karena kaget. Albi mengeluarkan uang dari dalam saku seragamnya dan memberikannya kepada kondektur bus yang berjaga di depan pintu. Setelah itu mengajak Shena untuk duduk di bangku paling belakang.
"Bus sekarang udah canggih kaya di luar negeri. Bus jaman sekarang juga mengedepankan kenyamanan dari penumpang. Ada AC-nya, wangi kaya mobil pribadi, nyaman karena dibatasi penumpangnya, ada tombol bahaya juga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Ucap Albi yang menjelaskan kepada Shena satu-persatu.
Shena menganggukkan kepalanya dengan cepat, "iya, paham! Gue juga lihat kok! Masih agak jauh 'kan, ya? Gue mau tidur dulu. Jangan ganggu."
Albi tidak membalas ucapan Shena. Cewek itu memejamkan matanya dengan cepat dan terlelap begitu saja. Perlahan, Albi merasakan bahunya terasa berat—Shena menyandarkan kepalanya di bahu Albi. Membuat Albi kehilangan kata-kata. Bahkan untuk menyingkirkan kepala Shena agar tidak membebani pundaknya pun rasanya tidak tega.
"Kenapa gue terjebak sama Shena sekarang? Bukannya gue benci sama dia?" Batin Albi sambil menghela napas panjang.
•••••