TITIK TEMU
[35] Menikmati masa SMA
__________________________
Beberapa orang yang Shena kenal, akan mendefinisikan 'cinta' sebagai hal yang manis. Namun baru kali ini, Shena mendengarkan arti kata cinta yang sama dengan pemikirannya dan itu semua keluar dari mulut seorang Albi—cowok yang sangat dibencinya. Rupanya Albi mempunya prinsip yang mungkin beda tipis dengan dirinya tentang tanggapan sebuah pernikahan. Nyatanya, menikah tidak selalu serta-merta menjadi sebuah patokan yang membuat kedua orang tersebut bahagia. Terkadang, dengan menikah: kepahitan, kepedihan, luka, depresi, muncul dari sana.
Mungkin, bagi mereka yang tidak mengalami pahitnya menjadi anak yang kurang kasih sayang sepertinya, tidak akan tahu rasanya kepedihan tanpa bisa mengatakannya. Kadang, orang-orang akan berpikir bahwa broken home adalah mereka-mereka yang hidup dengan kedua orang tua yang bercerai. Namun untuk Shena sendiri, broken home adalah hidup dengan keluarga utuh namun tidak ada kehangatan di dalamnya. Dan mungkin, makna itu sama dengan yang Albi rasakan.
"Menurut Lo, kenapa cinta harus dimusnahkan dari diri sendiri?" Tanya Shena yang menarik salah satu kursi dan mendudukinya.
Albi menatap Shena dengan cukup serius, "cinta itu sifatnya sementara. Iya enggak, sih? Orang dewasa akan sering mengatakan kata-kata cinta, bahkan setiap hari kepada pasangan yang katanya dia cintai. Tetapi saat mereka menikah, semuanya berubah. Tidak seperti yang selalu mereka katakan setiap hari. Menurut gue sendiri, cinta itu tidak ubahnya besi yang terkena korosi."
"Lama-kelamaan akan menjadi karatan!" Ucap Shena yang dengan mudah menerjemahkan maksud dari Albi.
"Yaps!" Jawab Albi sambil menjentikkan jarinya ke udara.
Mereka saling pandan karena tiba-tiba bisa nyambung. Padahal biasanya mereka akan diam seribu bahasa karena saling membenci satu sama lain. Namun hari ini, mereka merasa seperti orang yang tengah menemukan potongan puzzle yang sudah lama tidak mereka temukan. Terkadang, orang yang senasib akan lebih mengerti ketimbang orang terdekat yang selalu mendengarkan cerita kita.
"Kita harus jawab sama-sama tentang apa yang akan gue tanyakan kali ini. Gue cuma mau memastikan kalau kita punya patah hati yang sama." Ucap Albi yang ditanggapi Shena dengan anggukan. "Dalam hitungan ketiga! Satu ... Dua ... Tiga!" Sambung Albi dengan lantang.
"Keluarga!" Jawab keduanya dengan kompak.
Lalu tidak lama kemudian, mereka tertawa dengan sedikit kencang karena mengingat di mana posisi mereka sekarang. Entah mengapa, image keduanya yang seperti tikus dan kucing hilang sudah. Keduanya seperti menemukan satu sama lain dalam kegelapan dan saling membantu untuk keluar dengan sebuah senter sebagai penerangan.
"Lo berdua udah gila?" Bingung Liliana yang masuk ke perpustakaan bersama dengan yang lain untuk memastikan keduanya—Albi dan Shena—yang ternyata jauh dari kata-kata; bertengkar, berdebat, marah-marah, saling tuduh, seperti biasanya.
Rilo mengerutkan keningnya, "gue enggak bisa memahami satupun pemandangan di depan gue ini. Bukannya, Albi benci sama Shena. Dan Shena benci sama Albi. Tapi kenapa kalian bisa ketaw— awh~ sakit!"
Rilo menatap ke arah Sofya yang tampak tidak berdosa padahal baru saja mencubit pinggangnya. Nandan menepuk bahu Rilo—memberikan dukungan moril kepada sahabatnya itu karena mendapatkan cubitan gratis yang sering diterimanya dari cewek bernama Sofya.
Shena menatap Albi yang berada di depannya. Dia baru saja sadar bahwa terlalu akrab dengan Albi beberapa menit yang lalu. Bahkan mereka sempat saling mengatakan rahasia patah hati masing-masing; keluarga. Mungkin orang di luaran sana, selalu mengatakan bahwa keluarga Shena adalah keluarga yang sempurna. Namun baginya, keluarganya tidak ubahnya permainan rumah-rumahan yang seringkali dimainkan anak perempuan.
"Ehm," dehem Shena yang mulai menetralkan ekspresi wajahnya. Berbeda dengan Albi yang sudah sejak tadi bersikap seperti biasanya, cuek dan bodo amat dengan omongan orang lain.
Sofya menarik kursi tepat di depan mereka berdua, "jadi ... kalian berdua udah baikan, nih? Enggak ada yang bakalan perang kalau ketemu, 'kan?"
"Hm ... begitulah!" Jawab Albi yang tidak Shena percaya. "Gue sama dia banyak ngobrol dan mungkin kita berdua punya beberapa kesamaan. Jadi, buat apa bermusuhan lebih lama, 'kan?" Sambung Albi yang melirik ke arah Shena.
Shena menatap Albi serius, "ya ... mungkin begitu!"
"Wah ... bagus dong!" Ucap Nandan sambil merangkul Shena dan Albi bersamaan. "Kalau gitu, kita semua bisa jadi satu geng dong!" Sambung Nandan girang.
Baik Liliana, Sofya, dan Rilo pun mengangguk. Mereka seperti tidak punya penghalang untuk mengajak Shena masuk circle persahabatan mereka.
"Kalau gitu, mendingan kalian yang pergi deh! Gue sama dia mau lanjut ngerjain tugas. Kalian datang kesini mau bantuin atau gimana?" Sindir Albi yang membuat Nandan langsung mengangkat kedua tangannya dari bahu Albi dan Shena.
"Gue harus rapat OSIS," ucap Nandan dengan buru-buru.
"Gue juga harus ke ruangan drama." Lirih Liliana yang menyusul Nandan keluar.
"Hm ... gue juga ada urusan bisnis sama Bokap." Jawab Rilo dengan cengengesan dan begitu saja pergi.
"Gue sebenarnya enggak ada acara apa-apa. Tapi, gue enggak mau bantuin Lo!" Tandas Sofya tanpa basa-basi dan pergi.
Sekarang hanya tinggal Shena dan Albi yang duduk bersebelahan. Tidak ada yang memulai pembicaraan sama sekali karena tiba-tiba mereka sangat canggung. Shena pun mengeluarkan dua botol minuman dari dalam tasnya dan menyodorkan satu botol minumannya kepada Albi.
"Minuman buat Lo," ucap Shena tanpa menatap ke arah Albi sama sekali. "Gue enggak tahu Lo suka minuman apa. Jadi, gue beliin air mineral." Sambung Shena sambil menarik buku biologi yang ada di depan mereka.
Albi mengambil botol minumannya itu, "oke! Makasih minumannya."
Setelah itu, mereka hanya diam karena fokus dengan pekerjaan masing-masing.
"Bi," panggil Shena yang sebenarnya terasa sangat asing. Biasanya dia tak pernah memanggil Albi dengan nama panggilan sama sekali. Bahkan Shena tidak pernah memanggil, Albi.
Albi pun menoleh ke arah Shena yang memanggilnya, "kenapa?"
"Lo ingat enggak kalau kita pernah ketemu disebuah tempat selain di sekolah?" Tanya Shena kepada Albi.
Albi mengangguk, "di danau waktu itu? Waktu Lo kabur enggak jelas?"
"Enggak usah diingat bagian itu," ketus Shena yang membuat Albi mengangguk-angguk kepalanya dengan pelan. "Lo mau kesana?" Sambung Shena yang membuat Albi mengerutkan keningnya heran.
"Lo mau kesana? Ngajak gue?" Tanya Albi.
Shena mengangguk, "gue pengen datang kesana. Di sana juga lebih tenang."
"Oke!" Ucap Albi menyetujui saran dari Shena. "Shen, Lo pernah bolos sekolah enggak?" Sambung Albi.
"Pernah, beberapa kali waktu di sekolah yang lama. Gue terkadang bosen dengan pelajaran dan bakalan cabut diam-diam. Bolos itu rasanya lebih menyenangkan karena di situ skill bolos kita digunakan." Jawab Shena antusias. "Lagipula, gue juga sering kabur dari pengawasan pengawal gue." Sambung Shena bangga.
Albi tersenyum tipis, "gimana kalau hari ini kita bolos?"
"HAH?" Kaget Shena.
"Katanya, masa SMA itu harus dinikmati sebelum benar-benar berakhir. Gue enggak pernah bolos dan pengen tahu rasanya bolos itu kaya gimana. Lo bisa ajak gue bolos dari sekolah?" Ucap Albi dengan sungguh-sungguh.
Bolos? Mungkinkah seorang Albi—siswa teladan—akan bolos dari sekolah?
••••••