TITIK TEMU
[25] Terlalu lelah!
___________________
Tatapan Albi mengarah kepada seorang laki-laki dengan jas hitam yang berada di depan rumah Shena; bodyguard yang seringkali mengikuti Shena kemana-mana. Albi menunduk pelan dan disambut dengan anggukan kepala dari laki-laki itu. Sebenarnya, Albi tidak mengenalnya. Hanya saja, Albi pernah melihat bodyguard itu datang ke cafe-nya beberapa kali untuk memesan pesanan yang sama. Bodyguard itu selalu memesan americano, minuman yang menurut Albi sendiri adalah kesukaan Shena. Dulu, sebelum mereka bermasalah dan mungkin dua kali pesan. Shena memilih americano.
Sayangnya, dia tidak mau peduli tentang hal itu. Mau Shena suka dengan americano atau tidak, Albi tidak punya urusan apa-apa. Bahkan Albi lebih berharap jika Shena tidak pernah muncul di cafe-nya dan me-review cafe-nya. Karena apa? Karena mengenal Shena adalah sebuah kesialan tersendiri untuk dirinya. Albi sangat membenci cewek itu. Tidak hanya karena sikapnya yang kurang ajar. Namun semua yang ada dalam diri Shena, Albi sangat membencinya.
Dia pulang sendirian karena ketiga temannya meminta untuk tinggal di rumah Shena sampai tugas mereka selesai. Albi tidak masalah tentang hal itu. Toh, hari ini sedang banyak sekali kegiatan untuknya. Padahal sekarang hari libur, namun Ibunya tak pernah memberikan waktu untuk istirahat sama sekali. Padahal, banyak sekali hal yang ingin Albi lakukan ketika libur. Albi ingin menikmati waktu senggang untuk menggambar atau jalan-jalan santai saja, tidak perlu lama-lama. Namun, Ibunya sama sekali tidak memperbolehkannya untuk melakukan banyak hal seperti remaja seusianya. Tuntutan hidupnya hanyalah belajar, belajar, belajar, dan terus-menerus belajar.
Sesekali Albi ingin menertawakan nasib sialnya. Mengapa dia tidak bisa melakukan banyak hal yang sangat menyenangkan seperti temannya yang lain. Sesekali dia juga ingin duduk-duduk bersama dengan teman-temannya. Bercerita dan tertawa lepas tanpa memikirkan banyak hal seperti harus sukses dengan masuk kedokteran.
Tin. Sebuah klakson terdengar begitu nyaring. Membuat Albi yang tadinya berjalan sambil melamun, terlonjak kaget. Cowok itu ingin mengumpati orang dibalik kemudi mobil itu. Dia benar-benar kesal karena memang banyak sekali oknum pengendara mobil yang seenaknya membunyikan klakson kepada pejalan kaki. Ah, memangnya mereka siapa? Hanya karena mempunyai mobil, langsung serta-merta menghilangkan hal warga negara yang lainnya untuk berjalan santai.
"Albi," panggil cowok pemilik mobil hitam itu, melongokkan kepalanya dari jendela.
Albi menoleh ke arah cowok itu dengan wajah sebal, "ternyata Lo pengemudi kurang ajar yang suka banget klakson orang kalau di jalan? Udah berapa kali Lo klaksonin gue kalau jalan?"
Cowok itu tertawa pelan, "gitu aja ngambek Lo. Yuk, gue anterin ke cafe. Mau pergi ke cafe, 'kan? Gue soalnya mau kesana."
Albi berjalan mendekat ke arah mobil itu, membuka pintu penumpang dan duduk disamping cowok itu; Rilo. Hari ini Rilo memang absen untuk tidak ikut belajar bersama. Dia juga meminta Nandan untuk memberikan bagian tugas kepadanya karena ada urusan penting yang beberapa hari lalu dia ceritakan kepada Albi. Ya, meskipun bagi Rilo sendiri, semua tidak penting sama sekali. Namun, orang tuanya selalu memikirkan tentang bisnis dan bisnis. Yang katanya lagi, akan diwarisi oleh dirinya suatu saat nanti.
"Pakai seatbelt Lo," ucap Rilo yang tidak dijawab oleh Albi, namun tetap dilakukannya.
"Ngapain Lo mau ke cafe?" Tanya Albi kepada Rilo dengan wajah penasaran.
Rilo menatap ke arah spion mobilnya dan segera melakukan mobilnya.
"Gue lagi badmood, aja. Sebenarnya mau nenangin pikiran dan berusaha untuk ber-positif thinking. Menurut gue, dengan ngobrol sama Lo akan membuat perasaan negatif dalam diri gue bisa sedikit hilang." Jujur Rilo sambil memperhatikan jalan.
Albi menoleh ke arah Rilo, "Lo kenapa enggak coba jujur aja sama Bokap Lo kalau Lo sebenarnya enggak mau dijodohin?"
Rilo hanya mengangkat kedua bahunya dengan tersenyum, "mau sekeras apapun gue menolak, semua enggak akan pernah ada artinya. Gue terkadang berpikiran kalau orang tua gue, melahirkan gue, hanya sebatas untuk mendapatkan penerus. Supaya apa yang mereka bangun tetap abadi dengan adanya penerus itu. Kalau Lo menganggap hubungan orang tua gue harmonis, itu salah. Mereka memang enggak pernah bertengkar, tapi bukan berarti mereka saling cinta kaya yang dalam cerita-cerita romance tentang perjodohan. Kebahagiaan setelah dijodohkan itu hanya mitos!"
"Hm ... rencana Lo ke depan apa?" Tanya Albi penasaran. "Lo kaya dan punya posisi penting di perusahaan orang tua Lo. Tapi Lo enggak bisa seenaknya jatuh cinta? Iya 'kan?" Sambung Albi dengan menatap ke arah depan.
Rilo mengangguk pelan, "keturunan Megantara memang punya kutukan kayanya."
"Kutukan apaan?" Cerocos Albi yang memang tidak pernah percaya pada hal-hal mitos seperti kutukan, sihir, dan masih banyak hal tidak masuk akal lainnya. Ingat, Albi adalah orang yang paling rasional diantara semua teman-temannya.
Rilo diam beberapa saat, "cinta itu hanya sebuah mitos untuk mereka. Bisa ... bisa merasakan cinta, tetapi juga tidak bisa memilikinya. Kadang gue pengen banget hidup sebebas dan setenang Nandan. Mungkin problem kita enggak jauh beda, Bi. Gue sama Lo, selalu ingin hidup yang Nandan punya. Walaupun hidup sederhana, tetapi keluarga yang paling besar dukungannya. Gue iri banget sama dia. Gue pengen ada di posisi dia, walaupun harus mengorbankan segalanya."
Sekarang Albi yang gantian diam, semua yang dikatakan Rilo memang benar. Cowok itu melamun dengan pikiran yang semakin semrawut. Memang, kehidupan yang Nandan jalani adalah kehidupan yang indah. Albi juga mau berada diposisi Nandan yang mempunyai keluarga sederhana namun menyayanginya. Berbeda dengan keluarganya, keluarga yang berantakan.
"Btw, Lo bakalan pergi ke tempat les nanti sore?" Tanya Rilo yang mulai mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau larut dalam perasaan sedih dan sendiri lagi.
Albi mengangguk, "kalau gue enggak les, bisa ngamuk kali Ibuk gue. Lebih baik les untuk menghindari semua pertengkaran! Gue lagi capek dan enggak ada tenaga untuk adu mulut. Tapi kalau udah enggak capek lagi, gue bisa pertimbangan untuk enggak berangkat les lagi."
"Terus, yang lain pada kemana? Lo kok pulang sendirian?" Tanya Rilo yang baru sadar dengan tak adanya teman-temannya yang lain
"Di rumah cewek itu,"
Rilo mengerutkan keningnya, "Lo sama Shena belum baikan juga?"
"Memangnya gue berantem sama dia? Kenapa harus baikan," sebal Albi saat orang-orang menyebut nama Shena.
"Tapi ... sebenarnya dia cantik juga lho. Lo enggak ada perasaan sama doi gitu?"
Albi menatap tajam ke arah Rilo yang sudah mulai kambuh cerewetnya. Padahal baru saja Rilo mengatakan kata-kata yang lebih penting daripada Shena. Kenapa sekarang malah sibuk membahas Shena?
"Perasaan? Perasaan apaan? Kesal, marah, benci. Itu perasaan gue yang pantas untuk cewek sinting kaya dia. Enggak usah bahas dia terus. Capek gue dengarnya!" Kesal Albi dengan mengusap wajahnya kasar.
Rilo diam-diam tersenyum karena mendengar respon Albi yang cukup meledak-ledak ketika membahas tentang Shena.
"Gue penasaran," ucap Rilo yang membuat Albi menghentikan langkahnya untuk turun dari mobil Rilo. "Kenapa waktu itu, di kantin, Lo langsung narik Shena gitu aja. Lalu setelah itu, Shena enggak berangkat selama dua hari karena sakit. Terus yang gue dengar dari Nandan, Lo beberapa hari itu berdiri di depan gerbang buat cari angin?" Sindir Rilo yang menekankan pada kata 'cari angin'.
Albi mengalihkan pandangannya dari Rilo, "gue cuma ... bantuin dia."
"Bantu? Buat?"
Albi menghela napas panjang, "hm, intinya bantuin dia. Yuk, turun dari mobil sekarang! Gue enggak mau orang mikir aneh-aneh karena kita kelamaan di dalam mobil."
"Hm ... alasan! Siapa yang mau berpikiran begitu?"
Albi buru-buru keluar dari dalam mobil Rilo dan membuka pintu Rainbow cafe.
"ALBI? Siapa yang bakalan berpikiran begitu?" Teriak Rilo yang diabaikan sepenuhnya oleh Albi.
•••••