TITIK TEMU
[26] Tentang Pesan Teror!
__________________________
Setelah pulang dari les yang sangat membosankan, Albi masuk ke dalam kamarnya. Beruntung karena Ibunya tidak ada di rumah, sehingga tidak perlu ada sapa-menyapa yang akan berujung cekcok, seperti biasanya. Albi meletakkan tasnya di atas meja belajarnya dan mengeluarkan semua buku-buku paket yang dibelikan Ibunya beberapa hari yang lalu. Katanya, hadiah karena Albi sudah bekerja keras selama ini. Padahal, bayangan hadiah untuk Albi adalah sebuah waktu rehat tanpa adanya buku. Sayangnya, Ibunya tidak tahu tentang itu. Ibunya benar-benar tidak tahu. Tetapi mungkin saja, tidak mau tahu.
Kepalanya rasanya berat karena mengantuk. Beberapa hari ini, dia sedang mengalami kelelahan yang hebat. Albi bingung membagi waktu antara sekolah, ekstrakurikuler, organisasi, les, dan juga cafe. Semua jadwalnya rasanya penuh dengan pikiran. Albi tidak pernah bisa merasa enjoy dan senang dalam lingkup apapun kecuali, cafe. Dia sangat mencintai usahanya yang sebenarnya hidup segan mati tak mau. Namun dengan segala upaya, Albi berusaha untuk tetap menjaga cafe-nya agar tetap hidup. Karena Albi percaya, kesuksesan harus diupayakan. Bukan untuk ditunggu.
Cowok itu kembali menatap sticky note warna kuning yang ditempelnya di dinding dekat meja belajarnya. Di sana tertata dengan rapi jadwal yang harus dirinya lakukan setiap hari dan ada juga kata-kata motivasi yang dia buat untuk dirinya sendiri. Namun tatapan Albi mengarah kepada satu sticky note dengan warna merah—berbeda dengan yang lain. Albi mencabutnya, lalu menatap deretan angka yang membentuk nomor telepon seseorang. Bukan hanya satu nomor saja, namun beberapa nomor yang berbeda.
"Sebenarnya, siapa orang ini? Ada masalah apa? Dan kenapa berbuat sampai sejauh ini?" Tanya Albi pada dirinya sendiri. "Ah ... kenapa gue harus peduli? Gue udah bilang sama diri gue sendiri kalau ini semuanya bukan urusan gue!" Tandas Albi yang membuang sticky note warna merah itu ke dalam tempat sampah.
Namun beberapa langkah menjauh dari tempat sampah itu, Albi kembali mengambil sticky note yang telah dia buang tadi. Cowok itu menempelkan kembali sticky note itu di dinding dengan benar.
"Sejak kapan gue hobi ngurusin urusan orang?" Tanyanya kembali dengan wajah frustasi. "Mendingan malam ini gue tidur di cafe aja. Gue enggak lama-lama di rumah." Ucap Albi yang memasukkan buku-buku pelajarannya untuk besok ke dalam tasnya dan memasukkan seragamnya.
Setelah semua selesai, Albi pun bergegas untuk keluar dari kamar. Cowok itu menatap ke arah seorang perempuan yang berada di lantai bawah, sedang menggendong bayi. Disampingnya ada laki-laki yang membawa tas bayi. Albi menghela napas panjang, tidak mempedulikan perempuan itu.
"Albi," panggil perempuan itu dengan hati-hati, Indi.
Albi menghentikan langkahnya tepat di depan Indi, kakak perempuannya. Sedangkan disamping Indi adalah suaminya, Jefan. Mereka tiba-tiba datang ke rumah, jika Albi tahu Kakaknya akan datang. Mungkin dirinya tidak akan pulang untuk sementara.
"Biar aku yang gendong," ucap Jefan yang mengambil alih bayi yang ada dalam dekapan Indi dan buru-buru masuk ke dalam kamar mereka.
Indi menatap Albi yang sudah lama tidak pernah mau bicara dengannya. Albi yang dulu sangat sayang dan peduli padanya, tiba-tiba sangat membencinya.
"Aku enggak ada waktu untuk lihat drama hari ini," tandas Albi dengan pedas. "Aku enggak mau ngomong sama Mbak! Lain kali, kalau datang kesini, kabarin! Biar aku enggak pulang, biar kita enggak ketemu. Paham?" Sambung Albi dengan wajah datarnya.
Indi menahan isakannya, "kenapa kamu masih marah sama Mbak? Semuanya sudah terjadi, 'kan? Kita bisa memperbaiki semuanya. Kita bisa memulai semuanya dari awal. Mbak akan bantu kamu untuk bisa masuk ke kedokteran. Mas Jefan, dia bisa bantu kita. Dia bisa biayai uang kuliah kamu. Mas Jefan udah bil—"
"Enggak usah! Enggak perlu! Aku pernah ada bilang mau kuliah kedokteran?" Bentak Albi dengan marah.
"Ha? I-Ibuk yang bilang," jawab Indi dengan terbata-bata karena takut dengan tatapan Albi kepadanya.
Albi tertawa pelan, "Mbak enggak usah sok peduli sama masa depanku. Mbak bahagia 'kan seperti ini? Bisa hidup enak, kaya raya, tinggal minta sama suami, enggak capek kerja, dan bisa menuruti kemauan Mbak yang enggak tercapai saat di rumah ini. Aku enggak minta apapun tentang poin-poin yang aku sebutkan tadi. Semua kekayaan, uang, dan segala yang Mbak tawarkan itu, aku sama sekali enggak butuh. Tapi bisa enggak Mbak kembalikan masa-masa remajaku yang terenggut begitu saja?"
"BISA ENGGAK?" Teriak Albi dengan nada frustasi.
Indi tidak bisa menahan air matanya kali ini. Dia benar-benar menangis sesenggukan. Wajahnya memerah, tangannya menutup mulut dengan rapat agar isakannya tidak begitu terdengar.
Albi menatap wajah Indi, "kalau Mbak bisa mengembalikan masa remajaku yang terenggut, mungkin aku bisa maafin Mbak!"
Setelah mengucapkan itu, Albi bergegas untuk keluar dari rumah. Cowok itu mengendarai motonya meninggalkan halaman rumahnya dengan terburu-buru. Mungkin, Albi keterlaluan karena mengatakan hal yang tidak sepantasnya kepada Indi, saudara kandungnya sendiri. Tetapi Indi yang membuat semuanya seperti ini. Andaikan saja Indi tidak hamil di luar nikah. Setidaknya Ibunya tidak akan menjadikannya boneka hidup yang bisa dimainkan kapan saja.
Namun ketika sampai di depan cafe, ada teman-temannya di sana. Albi melepaskan helm-nya dan langsung mendapatkan pelukan dari kedua teman ceweknya; Liliana dan Sofya. Albi tidak tahu mengapa mereka berdua memeluknya, namun Albi menikmati pelukan itu. Terasa sangat hangat dan menyenangkan. Padahal tadinya, kepalanya ingin meledak dan dia sedang marah.
"Kenapa Lo enggak cerita sih kalau sempat kecelakaan?" Tanya Liliana sambil menghapus air matanya pelan.
"Kalau Lo ada masalah lagi, jangan sungkan buat cerita. Kita pasti mau dengerin kok." Ucap Sofya dengan isakan pelan.
Albi yang tahu kemana arah pembicaraan teman-temannya itu langsung menoleh ke arah Rilo yang sedang menyandarkan tubuhnya ke bodi mobilnya. Cowok itu pura-pura tidak melihat, karena takut terkena amukan Albi.
"Lo yang cerita?" Tuduh Albi kepada Rilo dengan wajah galak.
"M-Mereka yang maksa! Gue kalau enggak dipaksa, mana mungkin ember." Bela Rilo pada dirinya sendiri sebelum mendapatkan ocehan panjang dari Albi.
Nandan langsung memeluk Albi dan juga kedua teman ceweknya itu, "ah, nyaman banget begini!"
"Modus Lo!" Ketus Albi yang sambil mendorong tubuh Nandan tetapi tidak bisa lepas juga.
Rilo pun akhirnya ikut memeluk mereka semua, "gue sayang banget sama kalian."
"Jijik gue dengarnya!" Tandas Sofya dengan ketus.
Liliana mengangguk, "sama, gue juga! Enggak tersentuh sama sekali."
"Kalian nih, pro cuma kalau sama Albi doang. Pilih kasih banget, sih!" Ketus Rilo tidak terima.
Albi diam-diam tersenyum, "udah ... gue enggak bisa napas tahu enggak."
Mereka melepaskan pelukannya dari tubuh satu sama lain. Liliana dan Sofya sibuk mengamati tubuh Albi dari atas sampai bawah. Memastikan bahwa cowok itu sudah sembuh.
"Enggak ada luka?" Tanya Liliana penasaran?
Albi menggeleng, "sekarang enggak ada. Kalau kemarin ada, dikit. Tapi udah sembuh. Kalian enggak perlu khawatirin gue. Sorry karena gue enggak bilang. Rilo tahu pun karena ditelepon sama pihak rumah sakit. Gue sebenarnya enggak mau kasih tahu juga."
"Lain kali jangan gitu, Bi. Kita harus saling bantu dalam keadaan apapun. Namanya setia kawan!" Ucap Nandan sok bijak.
"Iya," jawab Albi seadanya.
"Eh ... kalian semua tahu enggak? Beberapa jam yang lalu ada video kekerasan gitu. Tapi gambar oknum yang ada di dalam video itu di blur. Jadi enggak tahu mukanya kaya apa. Terus yang semakin bikin viral itu, katanya pelakunya Shena." Ucap Liliana kepada teman-temannya.
"Shena? Maksud Lo Shena teman baru kita?" Tanya Rilo penasaran.
Sofya mengangguk, "iya! Tapi 'kan belum tentu benar atau salah. Kita enggak bisa langsung menarik kesimpulan gitu aja. Lagipula mukanya juga di blur. Kita enggak tahu siapa yang nyebar video kaya gitu di internet. Siapa tahu mereka cuma enggak senang dengan kepopuleran Shena 'kan bisa."
"Kalau gitu, kasihan Shena." Ucap Nandan menanggapi.
Albi sendiri hanya diam, dia tidak bereaksi apapun.
•••••