TITIK TEMU
[38] Patah hati parahku
________________________
Kadangkala, kita akan merasakan yang namanya patah hati. Namun, patah hati itu tidak melulu berasal dari lawan jenis yang menjalin cinta dengan kita. Patah hati yang lebih parah, bahkan terkadang sangat mempengaruhi mental berasal dari orang-orang terdekat kita. Siapakah mereka? Jawabannya keluarga. Mereka yang paling dekat lebih berpotensi membuat patah hati parah, ketimbang mereka yang tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan kita lalu meninggalkan begitu saja.
Baik Albi dan Shena merasakan perasaan kosong yang disebabkan oleh parahnya patah hati yang selama ini mereka rasakan dari orang yang sangat dekat dengan mereka. Tetapi, mereka tidak bisa mengatakan satu hal pun untuk membela diri karena dianggap masih remaja. Anggapan bahwa remaja selalu salah dan orang tua selalu tahu segalanya, tidak murni benar. Terkadang, remaja juga akan banyak melakukan pembelaan terhadap sesuatu yang mereka anggap benar, namun tidak sepenuhnya salah.
"Lo merasa hidup di dalam sangkar sekarang?" Tanya Shena yang sejak tadi mendengarkan cerita Albi dari awal sampai sekarang. "Lo merasa bahwa apa yang Ibu Lo lakuin saat ini, sangat mengganggu?" Sambung Shena menoleh ke arah Albi yang akhirnya menganggukkan kepalanya.
Albi menghembuskan napasnya dengan kasar, "gue memang sangat kesal dengan sikap Ibuk yang selalu menyetir segalanya. Tapi gue tetap enggak bisa bertindak seenaknya karena gue tahu dan gue melihat, bagaimana kerasnya Ibuk mencari uang untuk biaya sekolah gue. Dan gue enggak mau menutup mata dengan usaha orang tua gue yang berusaha dua kali lipat lebih keras, untuk memastikan gue bisa dapat segala hal yang sama dengan teman gue di sekolah."
Tentu saja Albi merasa terkurung, mendapatkan semua perlakuan anak sepuluh tahun yang tidak bisa untuk mencari jalan keluar atas masalah yang dia hadapi sendiri. Namun, dengan kesadaran penuh, Albi pun tahu perjuangan Ibunya yang harus mengambil banyak pekerjaan hanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak malu di sekolah. Memastikan Albi mempunyai seragam yang layak, mendapatkan uang saku yang cukup setiap hari, mempunyai alat tulis yang lengkap, mengikuti kegiatan sekolah dengan baik, dan segalanya dengan sempurna.
Bahkan Albi memahami mengapa Ibunya selalu bersikap keras kepada dirinya. Semua itu karena Ibunya tidak mau Albi gagal seperti Indi, tidak mau jika Albi menjadi bahan ejekan saudara-saudara Ibunya yang kaya raya itu, dan tidak mau jika masa depan Albi tidak cerah. Albi memaklumi semua itu, namun dia juga remaja yang ingin menikmati sesuatu atas dasar keputusannya sendiri. Sesekali, Albi tidak ingin menjadi burung dalam sangkar. Dirinya ingin terbang bebas dan kembali lagi ke sangkarnya jika akhirnya bosan berkelana tanpa tujuan.
"Lo sendiri~" ucap Albi yang sempat terpotong karena ragu menanyakan hal ini kepada Shena. "Hm ... apa Lo sering terkena serangan panik kaya waktu di sekolah?" Sambung Albi penasaran.
Shena menatap Albi yang sedang menunggu jawabannya, "Lo ... tahu darimana tentang serangan panik?"
"Gue pernah mengalami serangan panik beberapa tahun. Susah banget menghilangkannya, karena rasanya selalu tiba-tiba; tanpa alasan yang jelas. Tadi kadangkala, muncul saat gue merasa tertekan, ketakutan, dan merasa cemas berlebihan." Cerita Albi yang menceritakan tentang kejadian yang menimpanya. "Serangan panik datang pertama kali saat gue tahu bahwa Ayah meninggal bunuh diri. Gue mendadak menggigil, takut, ingin muntah, jantung berdetak enggak beraturan. Gejala-gejala yang ada awalnya membuat gue berpikir itu adalah serangan jantung." Sambung Albi mendeskripsikan perasaannya.
Shena menggigit bibir bawahnya dengan kuat, "terus ... kenapa Lo akhirnya tahu kalau serangan itu namanya serangan panik? Gimana caranya Lo bisa sembuh?"
Kali ini Albi benar-benar duduk di depan Shena, menatapnya dengan serius. Menurut Albi, masalah yang dia hadapi mempunyai kemiripan dengan Shena. Mereka bahkan bisa mempunyai gangguan bernama serangan panik.
"Waktu SMP, gue pernah kumat—anggap saja begitu! Waktu itu jam olahraga, main bola, dan tiba-tiba rasanya gelisah tanpa alasan sama sekali. Gue langsung keringat dingin dan seperti orang ketakutan tanpa sebab. Guru olahraga gue dengan sigap membawa gue ke tempat yang teduh dan nyaman; jauh dari teman sekelas gue. Guru gue ini rupanya sadar kalau ada yang enggak beres sama gue. Sampai gue cerita kalau gue sering mengalaminya tapi takut cerita dengan siapapun. Gue bilang kalau mungkin, gue bermasalah sama jantung sehingga seperti ini. Terus pada hari berikutnya, guru gue ini ngajak gue keluar waktu jam pelajaran dengan alasan yang gue lupa apa. Intinya gue pergi sama guru gue itu." Cerita Albi dengan runtut.
Albi kembali mengingat-ingat tentang potongan kenangan yang tersimpan rapi di dalam otaknya, "terus ... gue ingat banget dibawa ke rumah sakit. Terus ketemu sama dokter penyakit dalam gitu. Ditanya ini-itu, cek-cek, dan gue sehat-sehat aja. Enggak ada penyakit apapun. Tapi guru gue ini enggak habis akal dan dengan arahan dari dokter spesialis ini, gue langsung diarahkan ke psikiater. Awalnya gue menolak dong! Gue selalu memahami bahwa orang yang datang ke psikiater itu adalah orang-orang gila. Gue teriak, gue nangis, dan gue bilang kalau gue enggak gila. Tapi tetap aja 'kan guru gue ngajak kesana. Dan mulai hari itu ... semuanya lebih baik."
"Kadangkala ... gue pengen cerita tentang apa yang gue rasakan pada saat itu. Bagaimana takutnya gue, kekhawatiran dan kegelisahan yang gue rasakan, perasaan yang muncul tiba-tiba dan membuat gue merasa akan mati saat itu juga, kenyataan tentang semuanya baik-baik aja pun gue anggap sebagai hal yang enggak wajar. Gue selalu berpikir, kenapa gue harus merasakan hal seperti ini. Sesuatu yang bahkan orang lain enggak mengalaminya sama sekali. Gue merasa, gue adalah orang yang berbeda." Ucap Albi sambil tersenyum akhirnya.
Shena menatapnya dengan serius. Semua yang Albi katakan kepadanya adalah hal yang selalu Shena rasakan beberapa kali tanpa tahu alasannya. Shena bahkan ketakutan tanpa sebab dan rasa yang tidak nyata setiap kali serangan itu muncul tanpa diminta. Bahkan sekarang dadanya terasa sangat sesak, membuatnya kesulitan untuk bernapas. Albi yang sadar dengan kondisi pun langsung memegang kedua tangan Shena, mengatakan hal-hal menenangkan seperti saat itu.
"Lo aman!"
"Lo nyaman!"
"Lo sehat!"
"Ada gue di sini!"
"Gue enggak siap pergi ke psikiater." Tandas Shena dengan raut wajahnya yang memerah.
Albi mengangguk pelan, "kalau Lo siap, kapanpun itu, gue akan anterin Lo. Gue akan nemenin Lo!"
Shena menganggukkan kepalanya pelan, "andaikan, orang lain enggak menganggap hal yang gue ceritakan berlebihan. Andaikan orang lain tahu gimana tersiksanya hidup seperti ini. Apa mereka akan tetap menganggap kalau selama ini gue terlalu heboh dan mendramatisir keadaan? Gue sakit, tapi enggak tahu bagian mana yang sakit."
Albi menepuk bahu Shena beberapa kali dan tersenyum. Everything's gonna be okay.
••••••