39

1165 Words
TITIK TEMU [39] Jangan ganggu cewek gue! _________________________________ Percayalah! Semua hal yang indah seperti bergandengan tangan, naik bus, bercerita satu sama lain, saling berjanji untuk tidak saling pergi, dan merasa lega karena saling memiliki—terasa sangat nyata. Sampai suara Nandan membangunkan Shena dan Albi kepada kenyataan. Kenyataan bahwa semua itu hanyalah bagian halusinasi mereka berdua untuk bersama. Walaupun tidak saling terbuka, namun mereka mempunyai satu keinginan yang sama; saling mempercayai. Sayang ... tangan tak sampai. Semuanya hanya sekedar khayalan yang sukar untuk diwujudkan. Nandan sebagai pihak yang telah membangunkan mereka dari mimpi indah pun hanya memasang wajah tanpa dosa. Toh, Nandan tidak tahu bahwa keduanya sedang halusinasi tentang kejadian manis apabila bisa berjalan bersama. Namun, apakah akan semanis yang ada di dalam bayangan mereka? Shena maupun Albi bungkam, seperti ada dorongan kuat untuk saling melirik satu sama lain. Walaupun halusinasi, tetapi semua terasa sangat nyata. Apalagi ketika mereka saling bercerita, rasanya seperti ada yang begitu lega dalam da-da. Tapi sudah lah, semua hanya sekedar keinginan di dalam hati masing-masing yang mungkin hanya sekedar bayangan. "Pada kenapa sih? Malah bengong enggak jelas? Gue ajak ngomong dari tadi malah pada melamun." Tanya Nandan yang merapikan buku-buku yang akan dibawanya ke kelas. "Ya udah, selamat mengerjakan tugas! Jangan kebanyakan melamun kalian berdua." Sambung Nandan dengan tersenyum menggoda. Jujur, Shena malu sekali jika sampai Albi tahu bahwa dirinya melamun tentang berjalan bersama dengan Albi. Padahal, Shena tahu bahwa seorang Albi sangat terkenal murid teladan yang tidak akan mungkin bolos sekolah dengan alasan apapun. Sedangkan Albi pun merasakan hal yang sama seperti Shena, malu. Dia pun membayangkan bisa bercerita dengan bebas kepada Shena perihal masalahnya selama ini. Dan terlihat, keduanya memang berpikiran hal yang sama. Hanya saja, mereka gengsi mengakuinya. "Kita kerjain tugasnya," canggung Shena yang sebenarnya tidak tahan berada dalam satu ruangan bersama dengan Albi karena benar-benar malu. Apalagi dia membayangkan bisa memegang tangan Albi dan tertidur di pundak cowok itu. Bahkan, mengingat apa yang dia bayangkan saja, sudah sangat memalukan. Albi menoleh ke arah Shena dan mengangguk singkat. Tidak ada satu kata yang keluar dari bibir Albi untuk menjawab Shena. Cowok itu seperti kehabisan kata-kata. Tidak seperti ketika di kelas, yang menyuarakan semua marahnya dan akhirnya pun mendapatkan hukuman seperti ini. Sayangnya, Albi berharap bahwa Shena akan mengajaknya bolos sekolah—seperti yang sempat dia bayangkan. Mereka naik bus dan dirinya bisa bercerita panjang kali lebar. Baik Shena maupun Albi sibuk mengerjakan bagian masing-masing. Mereka diam, namun sesekali saling melirik. Tidak ada jeda mengerjakan sama sekali karena mereka sangat canggung tanpa alasan. Antara Albi dan Shena, sama-sama tidak mau mengakui bahwa semuanya pun mempunyai harapan kepada yang satunya. Albi berharap kepada Shena, dan Shena berharap kepada Albi. Mereka hanya tidak mau mengakui keinginan itu. Toh, mereka juga tak akur selama ini, bukan? Mana bisa seperti itu? "Gue mau keluar sebentar, cari udara segar!" Ucap Shena yang beranjak dari duduknya. Albi mengangguk singkat, "hm ... oke!" "Lo mau nitip sesuatu kalau gue ke kantin?" Sambung Shena kepada Albi yang terus menggambar. Albi menggeleng, "enggak ... makasih!" "Oh, oke!" Shena berjalan keluar dari ruangan perpustakaan. Mungkin udara segar akan membuat pikirannya menjadi jernih. Shena bingung, mengapa dia bisa berpikiran seperti itu? Apakah hidupnya sangat kosong sampai dia ingin Albi mengisinya? Sebenarnya apa yang dia rasakan kepada Albi? Apa yang dia inginkan dari seorang Albi yang bahkan tampak sangat membenci dirinya. Shena tidak mengerti mengapa tiba-tiba bisa memikirkan Albi dalam waktu yang tepat tidak terduga. Sama halnya dengan Albi yang berada di dalam perpustakaan. Cowok itu memutar-mutar pensilnya, seperti sedang mencari jawaban yang terus membuatnya kebingungan. Mengapa Albi mempunyai dorongan keinginan untuk menceritakan masalahnya kepada orang yang mempunyai satu pemikiran yang sama dengannya. Aneh, bukan? "Shena," panggil seorang cowok yang baru saja muncul dari balik koridor dan berdiri tepat di depan Shena. Cewek itu menatap cowok itu dari atas sampai bawah, "sejak kapan Lo tahu nama gue?" "Sejak kamu pertama kali datang ke sekolah ini." Jawab cowok itu dengan tersenyum manis ke arahnya. "Kamu ada waktu nanti sore? Sebenarnya aku mau ngajak kamu nonton film di bioskop. Suka?" Sambung cowok itu. Shena menatap name tag di da-da cowok itu, Sean. Cowok yang telah menyelamatkan amukan cewek kelas dua belas waktu itu. Yang melindungi dirinya dari bola basket dan mungkin saja mempunyai maksud yang lain. Walaupun orang-orang mengatakan bahwa Sean pendiam dan jarang sekali terlihat mendekati cewek, namun Shena tidak semudah itu mengiyakan ajakan orang lain untuk pergi bersama. "Sorry, gue ada banyak urusan hari ini. Papi juga enggak bakal memberi ijin untuk keluar." Sambung Shena dengan wajah yang dibuat menyesal. Sean mengangguk pelan, "begitu, ya? Sayang sekali kalau gitu. Oke, enggak pa-pa! Mungkin kita bisa pergi lain kali. Hm ... mau makan di kantin sama-sama?"  "Sorry, Kak, Shena-nya udah janji mau makan siang sama kita!" Shena menoleh ke kanan, mendapati tangannya digandeng Sofya dan juga Liliana. Mereka tersenyum ke arah Shena yang hanya menganggukkan kepalanya. "Hm ... lain kali kalau gitu! Aku duluan, Shen." Pamit Sean sambil melambaikan tangannya ke arah Shena. Shena menganggukkan kepalanya saja. Untunglah cowok itu cepat pergi dan membiarkan Shena sendirian di sini. "Beres, 'kan?" Tanya Sofya sambil menatap Shena. "Lo enggak pa-pa 'kan kalau kita bilang begitu? Habisnya muka Lo kelihatan enggak suka begitu." Ucap Liliana memastikan bahwa tindakan yang diambilnya benar. Shena mengangguk, "terimakasih sudah bantuin gue." Terimakasih. Hal sederhana yang setidaknya jarang atau mungkin tidak pernah terlintas dalam pikiran Shena untuk diungkapkan. Shena selalu menganggap bahwa mengatakan kata terimakasih adalah penghinaan untuknya. Semua orang selalu membutuhkannya, jadi tidak wajar jika dirinya mengucapkan kata terimakasih kepada orang lain. "Makan siang bareng, yuk? Biar enggak kelihatan bohong-bohong banget." Ucap Liliana yang disambut dengan anggukan Sofya. "Oke," jawab Shena seadanya dan melirik ke arah perpustakaan di mana Albi sedang mengerjakan tugasnya sendirian. Sofya yang paham kemana arah pandangan Shena pun merangkul pundak Shena, "tenang aja, biar gue sama Liliana yang minta ijin ke Albi kalau Lo mau makan siang. Kasihan gue sama Lo, bisa-bisa kerempeng gara-gara satu kelompok sama Albi. Gue yang selama ini jadi temannya aja suka miris sama diri sendiri—gimana yang lainnya? Iya, 'kan, Lil?" "Betul!" Ucap Liliana setuju dengan pendapat Sofya. "Gue ajakin dia juga deh! Mukanya kaya tertekan begitu." Sambung Liliana yang masuk ke dalam perpustakaan dengan santainya dan mendekati Albi. Sofya mengelus pundak Shena dengan pelan, "kalau Albi sering ngomong kasar, dimaafin ya Shen. Dia suka begitu orangnya, tapi aslinya baik kok. Enggak kaya yang selalu Lo pikirin. Suatu saat, dia pasti akan menerima Lo juga." "Iya ... lagipula gue sama sekali enggak tertarik berteman sama dia. Jadi, enggak masalah kalau dia mau ngomong apaan aja." Tandas Shena yang melihat Albi berjalan keluar bersama dengan Liliana. "Mentang-mentang ditolong sama Nandan dan Kak Sean, pede-nya sampai ke awang-awang. Gini nih kalau batu dikasih nyawa. Enggak punya hati!" Sindir seorang cewek yang berjalan melewati mereka. "Videonya viral, dianya masih santai aja. Kaya enggak punya dosa aja!" "Muka tembok ya gitu!" "Cewek enggak benar!" Shena terdiam di tempat, tidak bisa mengatakan apa-apa. "STOP! Jangan ganggu cewek gue!" •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD