32

1150 Words
TITIK TEMU [32] Punya pelukan nyaman ____________________________ Seano Aradillo, biasa dikenal dengan Sean. Cowok idaman satu sekolah—itu gelarnya. Dia dikenal sebagai mantan kapten tim basket sekolah selama dua tahun berturut-turut. Sean juga dikenal sebagai cowok dingin yang irit bicara, sebelas dua belas lah dengan Albi. Namun, Sean seperti melupakan gelarnya tentang cowok dingin nan cuek setelah nama Shena mulai terkenal dikalangan teman-temannya. Sean tiba-tiba berani mengungkapkan rasanya untuk mengajak Shena berkencan, namun ditolak cewek itu tanpa berpikir sama sekali. Semua perubahan Sean itu tidak mampu diterima beberapa fans-nya, seperti Patricia. Mereka tidak siap dengan status baru Sean suatu saat nanti. Apalagi orang yang Sean pilih adalah cewek yang baru saja masuk ke sekolah mereka. Apalagi semua pemandangan yang baru saja mereka lihat tadi; ketika Sean membantu Shena, ketika Sean memeluk Shena, ketika Sean menggunakan kata aku-kamu untuk pertama kalinya kepada seorang cewek, ketika Sean merangkul Shena, ketika Sean membentak banyak orang karena menyakiti Shena. Jadi, bukankah semuanya terlihat jelas? Bahkan Sean duduk di depan Shena, mengelap darah yang keluar dari hidung Shena. Cowok itu tampak sangat telaten dan melarang para perawat di ruangan UKS untuk mendekati Shena. Bukan apa-apa, namun Sean sangat menunggu momen-momen ini; bisa berdua dengan Shena. Apalagi Shena terus menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan. Mungkinkah Shena akan berubah pikiran untuk menerima ajakannya berkencan? Setelah perawat memastikan keadaan Shena yang baik-baik saja, Sean baru bisa bernapas lega. Cowok itu terus memandang Shena, sesekali dirinya akan merapikan anak rambut Shena yang menutupi area wajahnya. Sean benar-benar bahagia walaupun tubuhnya juga terasa sakit karena terkana lemparan bola basket dari teman-teman cewek sekelasnya. "Boleh gue jujur?" Ucap Shena dengan menatap Sean yang berada tepat di depannya. Sean mengangguk, "jujur aja! Aku bakalan dengerin dengan serius." "Lo," ucap Shena menggantung yang membuat Sean penasaran. "Punya pelukan yang nyaman." Sambung Shena tanpa malu sama sekali. Sean tersenyum tipis, "kalau kamu butuh pelukan, aku akan kasih untuk membuat kamu merasa nyaman. Aku akan selalu jagain kamu~" "Cukup untuk hari ini! Gue enggak mau berbasa-basi," tandas Shena yang beranjak dari duduknya. "Gue bilang pelukan Lo nyaman. Tapi bukan berarti, Lo berhak meluk gue!" Sambung Shena sambil mendorong tubuh Sean dari hadapannya. Seperti biasa, Shena tidak berkata apapun—terimakasih pun tidak sama sekali. Padahal, seharusnya dia harus berterimakasih kepada Sean karena sudah menolongnya. Bahkan cowok itu hampir saja membuatnya merasa sedikit berbeda. Sebenarnya, Shena tidak begitu mengenal cowok yang dirinya dengar namanya tadi, Sean. Nama yang unik untuk cowok yang cukup ganteng. Shena tidak mau munafik, karena kenyataannya memang begitu. "Shen," panggil Sean sebelum Shena menghilang dari pandangannya. Shena membalikkan tubuhnya ke arah Sean, "gue enggak mau bilang terimakasih atau apapun, kalau Lo minta itu!" Sean menggelengkan kepalanya pelan, mendekat ke arah Shena yang tidak sepenuhnya baik-baik saja. "Aku yang terimakasih," ucap Sean lalu mengelus kepada Shena dan berjalan meninggalkannya lebih dulu. Shena menatap kepergian Sean, dia bingung dengan maksud cowok itu. Mengapa jadi Sean yang mengatakan terimakasih? Bahkan Shena sampai tidak sadar bahwa UKS lumayan terisi hari ini. Ah iya ... banyak yang sakit ketika upacara. Pantas saja suasana UKS cukup ramai dengan beberapa orang yang melihat ke arahnya saat bersama dengan Sean tadi. "Shena! Lo enggak pa-pa? Ada yang sakit? Hidung Lo udah diobatin? Kita ke rumah sakit? Lo but—" ucapan Nandan dihentikan Shena dengan membekap mulut cowok itu. Beberapa detik kemudian Shena melepaskan telapak tangannya dari mulut Nandan perlahan, "gue enggak pa-pa, baik-baik aja! Ngapain Lo ada di sini? Bukannya jam olahraga belum selesai, ya? Dicariin guru olahraga, nanti." "Enggak! Gue mau memastikan kalau Lo baik-baik aja. Gue khawatir sama Lo, Shen. Sorry karena gue, Rilo, dan Albi datangnya telat. Kita enggak tahu kalau Lo, Liliana, dan Sofya dikerjain sama Patricia." Ucap Nandan dengan wajah menyesal. "Kalau gue tahu lebih awal, setidaknya gue bisa laporan ke guru." Sambung Nandan. Shena menepuk bahu Nandan beberapa kali, "enggak pa-pa, kok. Kalau gitu, Lo balik aja ke lapangan. Gue mau sendiri dulu!" "Gue temen—" "Bye, Nandan!" "Yakin enggak mau ditemenin sama gue?" "Bye," Shena berjalan menjauh dari UKS maupun tidak kembali ke lapangan untuk olahraga. Shena memilih untuk mencari tempat sepi yang ada di sekolah ini untuk menyendiri. Tapi tidak ada tempat yang seperti itu. Sehingga Shena memilih untuk berada di perpustakaan. Setidaknya suasana perpustakaan sangat sepi karena sekarang masih jam pertama. Shena mengambil sebuah buku—sebagai formalitas saja. Dia memilih tempat duduk yang berada diantara dua rak buku tinggi-tinggi, sehingga dirinya tidak terlalu kelihatan dari luar. Kejadian hari ini memang luar biasa. Namun Shena penasaran, darimana orang-orang mendapatkan video itu; video kekerasan yang menyebutkan namanya. Bagaimana mungkin mereka menyimpulkan tanpa tahu wajah asli yang ada dibalik video tersebut. Shena heran, mengapa semua orang selalu menyimpulkan sesuatu tanpa mencaritahu terlebih dahulu. Dengan penasaran, Shena membuka ponselnya yang sudah tidak dia buka selama beberapa hari karena mendengarkan saran dari Simon. Entah mengapa dia ingat tentang Simon yang mengajaknya pergi kemarin atau ucapannya yang memintanya untuk tidak berangkat sekolah hari ini. Shena tersenyum kecut, ternyata Simon menyingkirkan video itu sebelum dirinya melihat. Namun baginya, ini adalah masalah besar. Bagaimana mungkin dia tidak tahu tentang masalah yang terjadi saat ini dan membuatnya harus ikut terseret dalam masalah ini, lagi. Shena sangat kesal dan bertekad untuk melakukan sesuatu. Apalagi ketika melihat akun sosial medianya yang mulai panen hujatan. "Kenapa video itu bisa nyebar?" Tanya seorang cowok yang tiba-tiba muncul dari balik rak buku sambil membaca buku yang dipegangnya. Shena menaikkan kedua bahunya acuh, "gue enggak peduli tentang itu semua!" "Hm ... mengelak tidak akan menyelesaikan masalah. Lo akan mendapatkan banyak hujatan yang kadangkala lebih menyakitkan dan tidak manusiawi, terkadang." Jawab cowok itu lagi sambil meletakkan bukunya di atas meja. Shena melipat tangannya di da-da dengan wajah sebal, "sampai kapan Lo akan seperti ini? Gue selalu takut karena mendapatkan pesan teror itu setiap hari. Lo gimana? Masih bisa hidup dengan tenang?" "Sampai Lo sadar kalau gue yang terbaik untuk Lo! Sampai Lo mau menerima gue karena kita ini sama, Shena! Cuma gue yang tahu tentang kejadian itu. Bahkan sampai saat ini gue masih bisa diam. Karena apa? Karena gue suka sama Lo," tandas cowok itu sambil menatap Shena dalam-dalam. "Lo udah sinting?" Tanya Shena dengan ekspresi wajahnya yang sudah berubah. Cowok itu mengangkat kedua bahunya acuh, "Lo seharusnya cepat-cepat move on dari Arbani. Cowok kaya dia enggak pantas sama Lo! Gue juga enggak mau bersaing sama saudara gue sendiri. Terlalu gampang untuk membodohi dia, bukan?" "DIAM LO!" Bentak Shena yang membuat suasana menjadi tegang. Cowok itu tersenyum, "gue selalu menunggu waktu yang tepat untuk bisa mendapatkan Lo, Shen. Karena sampai kapanpun, hanya gue yang cocok sama Lo. Kita satu spesies, kita satu aliran; breng-sek!" Shena benar-benar ingin memukul cowok di depannya. Namun sebelum itu terjadi, cowok itu sudah pergi lebih dulu. Mengapa dia harus terjebak seperti ini? "Pikirkan cara untuk keluar dari situasi ini, Shena." Batin Shena dari dalam hati. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD