TITIK TEMU
[33] Albi si pendendam
_______________________
Cowok berseragam rapi dengan sebuah buku di tangannya itu baru saja meletakkan segelas es teh di atas meja kantin. Belum sempat dirinya meminumnya, seorang cewek yang datang entah dari mana langsung meraih gelas itu dan meminumnya sampai habis. Albi menurunkan bukunya, menatap Liliana yang datang dengan tiba-tiba dan tanpa permisi menghabiskan minuman yang baru dipesannya. Terlihat keringat membasahi kening cewek dengan seragam yang sama dengan dirinya namun dibalut jaket merah muda.
Seperti biasa, Albi yang sangat irit bicara hanya memandangi Liliana tanpa protes sama sekali; perkara es teh yang habis. Albi memilih untuk menutup bukunya dan meletakkan buku itu di atas meja, berada tepat disamping buku yang sempat Liliana tenteng tadi. Setelah itu, Liliana pun duduk dengan meletakkan gelas yang sudah kosong di atas meja. Menatap Albi dengan cengiran tanpa dosanya.
"Makasih Albi," ucap Liliana dengan tersenyum ke arah Albi. Toh, teman seperti Albi tidak akan membuang energi untuk memarahinya. Kecuali teman semacam Nandan yang akan langsung protes dan memintanya untuk membelikan lagi.
Albi menarik tisu yang berada di dalam kotak dan menyodorkannya kepada Liliana, "lap mulut Lo pakai ini! Sama sekali keringat Lo!"
Liliana menerima tisu itu dengan cepat, sadar bahwa penampilannya berantakan kali ini. Apalagi dirinya baru berlari-lari dari lantai bawah ke lantai atas untuk menjangkau kantin di mana Albi berada.
"Nandan sialan," marah Liliana dengan memasang wajah kesal saat selesai mengelap keringat dan sisi minuman di mulutnya.
"Kenapa sama Nandan?" Tanya Albi yang sebenarnya tidak ingin tahu—tetapi basa-basi saja. Albi selalu bisa menempatkan dirinya ketika sedang bersama dengan teman ceweknya. Dalam hal ini Liliana dan Sofya.
Liliana menghela napas panjang lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, "Nandan dengan tidak berkemanusiaan nyuruh gue buat nganterin jas almamaternya ke ruang OSIS. Kelas kita dari pojok ke pojok ruangan OSIS. Kesel banget gue!"
"Nandan ada rapat OSIS? Dia bilang mau nganterin Lo balik?" Tanya Albi mengerutkan keningnya.
Liliana mengangguk pelan, "tadinya, iya! Tiba-tiba di lorong kelas sepuluh itu, ada anak OSIS yang bilang sama Nandan kalau ada masalah. Enggak tahu deh masalahnya apa! Terus dia diminta jangan pulang dulu. Apesnya, dia minta tolong ambilin jasnya dan gue diminta nunggu. Dianya minggat enggak tahu kemana!"
"Oh," jawab Albi yang berdiri dari duduknya setelah mendengarkan curhatan Liliana yang marah-marah karena kesal kepada Nandan.
Liliana pun ikut berdiri, "Lo mau ninggalin gue? Tega banget sih Lo!"
Albi menghela napas panjang dan tidak menggubris ucapan Liliana. Cowok itu mendekat ke arah Ibu kantin untuk membayar minuman yang tidak diminum olehnya. Setelah itu, Albi mengambil dua botol minuman dan membayarnya.
"Bi," rengek Liliana dari kursinya karena menganggap bahwa Albi terlalu tega kepadanya. "Setidaknya temenin gue sebentar sampai Kakak gue bisa jemput." Sambungnya dengan wajah memelas..
Albi menyodorkan satu botol minuman yang dipegangnya kepada Liliana, "gue anterin Lo pulang! Kalau nunggu Nandan, kelamaan."
Tanpa basa-basi, Albi mengambil buku yang sempat dibawa Liliana; mengambil alih dibawanya sendiri. Liliana tersenyum tipis lalu berjalan disamping Albi untuk meninggalkan kantin. Selama perjalanan melewati lorong-lorong, Albi hanya menjawab sapaan dari beberapa orang karena mereka mengenalnya. Albi memang bukan siswa paling populer, namun cowok itu cukup pintar. Maka dari itu banyak yang mengenalnya. Walaupun pada kenyataannya, Albi tidak terlalu suka menjawab sapaan orang asing.
Tepat ketika sampai di depan perpustakaan, Albi dan Liliana berpapasan dengan Shena yang kebetulan keluar dari sana.
"Shena," heboh Liliana karena sejak tadi tidak menemukan Shena. Shena memang tidak masuk kelas sama sekali dan memutuskan untuk berada di perpustakaan.
Shena hanya memasang senyuman tipisnya ke arah Liliana, "Lo mau pulang?"
"Ayo kita pulang!" Ketus Albi tanpa menatap Shena sama sekali. Tangan kanannya menarik lengan Liliana, meminta cewek itu untuk segera berjalan.
Albi seperti alergi dengan adanya Shena disampingnya. Bukan tanpa alasan, namun banyak sekali kejadian yang membuat Albi dan Shena tidak bisa akur. Sehingga, lebih baik saling menghindari, bukan?
"Bentar," tandas Liliana yang menarik lengannya. "Barengan sama Shena sekalian. Kenapa sih?" Ketusnya dengan tatapan tajamnya yang diarahkan kepada Albi.
Shena menatap Albi yang tampak sangat malas berjalan beriringan dengannya. Namun itulah yang terjadi sekarang, mereka bertiga berjalan bersalam. Lebih tepatnya lagi, Albi berjalan di belakangan keduanya. Liliana sibuk bertanya tentang kondisi Shena setelah apa yang terjadi pada Shena di lapangan tadi.
Setelah sampai di dekat parkiran, terlihat sebuah motor yang ternyata adalah motor Kakak Liliana. Cewek itu menatap Albi yang menunggu keputusannya.
"Bi, gue pulang sama Kakak gue. Ternyata sudah dijemput. Kalau Lo sendiri, bareng Shena aja. Kayanya dia belum dijemput." Ucap Liliana memberikan ide. "Oke ... bye Albi, Shena. Gue duluan ya!" Sambung Liliana sambil menaik-turunkan alisnya menggoda keduanya.
Baik Shena maupun Albi tampak tidak berbicara. Mereka berpisah begitu saja di parkiran. Albi langsung menuju ke motornya dan Shena pun pergi dari sana. Hubungan mereka tampaknya memang cukup buruk. Tidak ada yang mau mengalah sama sekali. Albi yang keras kepala dan Shena yang gengsian, membuat mereka tidak bisa se-ide.
Albi menaiki motornya, melewati Shena tanpa menawarkan cewek itu tumpangan sama sekali. Mungkin, Albi tidak akan sejahat itu jika saja Shena tidak membuat masalah dengannya. Sayangnya, Albi adalah tipikal pendendam. Lagipula Shena tampak tidak membutuhkan dirinya sama sekali. Jadi, untuk apa Albi menawarinya 'kan?
Tidak lama kemudian, Albi sampai di cafe-nya yang masih tutup. Cowok itu membuka pintu cafe-nya lalu masuk ke dalam. Hari ini, Albi berencana untuk membolos bimbel. Lagipula Nandan sedang ada pekerjaan lain, mungkin tidak bisa mengurus cafe. Jadi biarkan dirinya yang mengurus cafe hari ini. Sebelum membuka cafe, Albi mula-mula membersihkan semua sudut cafe-nya agar tidak ada sedikit saja debu yang menempel di sana.
Rainbow cafe, buka!
Ting! Seorang cowok dengan mengenakan kaos warna abu-abu masuk ke dalam cafe-nya. Albi hanya tersenyum tipis; hanya formalitas saja kepada pelanggan. Cowok itu tidak membalas senyumannya, bersikap dingin dan mendekat ke arah meja counter untuk memesan.
"Hot matcha latte satu," pesan cowok itu dengan menatap Albi tidak biasa.
"Oke! Ada pesanan lain?" Tanya Albi yang berusaha seramah mungkin, dia berusaha mensusgesti diri bahwa orang di depannya adalah pelanggan yang harus dilayani dengan baik.
Cowok itu menggeleng pelan, "gue cuma mau tanya satu hal."
"Iya," jawab Albi seadanya. Dia tahu jika pertanyaan yang akan ditanyakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pesanan.
Cowok itu tersenyum tipis, "Lo atau teman-teman Lo, enggak ada yang punya hubungan lebih dari sekedar teman sama Shena, 'kan?"
"Enggak!" Jawab Albi dengan cepat dan tanpa ragu sama sekali. "Dan Lo perlu tahu kalau dia bukan teman gue atau teman dari teman-teman gue!" Sambung Albi memasang wajah kesal.
"Bagus!" Jawab cowok itu lalu berjalan menjauh dari meja counter dan kembali duduk di meja yang paling pojok, dekat dengan pintu.
Sesekali Albi menatap ke arah cowok yang sedang duduk sendiri sambil memasang earphone ke telinganya. Albi heran, mengapa cowok itu bisa datang ke cafe-nya? Apa hanya untuk bertanya perihal Shena?
"Bodo amat!" Ucap Albi kepada dirinya sendiri.
•••••